Mengenang Munir


Di atas langit, Munir mengangkasa. Tepatnya diketinggian 40.000 kaki di atas Rumania. Pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-947 yang lepas landas tanggal 7 September 2004, resmi membawa satu jenasah menuju Amsterdam, Belanda, tujuan akhir Munir, yang sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan Universitas Utrecht, lalu pulang ke tanah air bukan sebagai manusia yang tidak bernyawa.

Munir lahir dari keluarga sederhana dari seorang Bapak bernama Said Thalib dan Ibu bernama Jamilah. Anak keenam dari tujuh bersaudara. Buyut Munir dari ibunya adalah keturanan Arab Hadhrami yang lahir di Singapura Umar Muhammad Thalib dan Salmah Said Bajerei.

Munir sendiri lahir di Malang, Jawa Timur pada tanggal 8 Desember 1965. Sempat terlibat aktivis muslim ekstrim tapi kemudian berbalik menjadi tokoh yang sangat toleransi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, kadang juga berlawanan secara ekstrim untuk menegakkan kebenaran seperti berhadapan dengan kekuasaan, pemerintah, hingga militer.

Semasa kuliah, Munir banyak aktif terlibat dalam berbagai organisasi. Di kampusnya, Universitas Brawijaya Malang, Munir merupakan pentolan aktivis yang sangat aktif melakukan berbagai advokasi. Pernah tercatat sebagai Ketua Senat mahasiswa Fakultas Hukum, tempatnya pertama kali bersentuhan dengan ilmu hukum yang digelutinya seumur hidupnya.

Tidak hanya itu, Munir juga tercatat sebagai koordinator wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, sekretaris dewan perwakilan mahasiswa hukum, juga pernah menjadi bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta banyak lagi yang lain. Karena itu, jejak rekamnya sebagai aktivis tidak pernah diragukan. Itulah Munir.

Meski aktif diberbagai lembaga dan organisasi, baik di Brawijaya maupun nasional, Munir tetap rendah hati. Tidak pernah sekalipun Munir merasa gemerlap atas berbagai prestasinya itu. Munir tidak pernah sekalipun cawe-cawe meski Ia bisa saja melakukan itu. Malah sebaliknya, Munir terus berkutat dengan hal-hal yang orang kebayakan untuk diabaikan; berjuang bersama rakyat kecil dan tertindas. Makanya Munir memilih masuk LBH Malang.

Jika Munir mendengar kasus-kasus hukum yang bersentuhan dengan orang-orang kecil. Munir selalu hadir terdepan membela secara hukum. Ketika mendengar kabar tentang kasus Marsinah misalnya di tahun 1994; seorang tokoh buruh perempuan yang tidak dikenalnya, Munir merelakan diri untuk menjadi pembelanya secara hukum. Walau ketika itu, Munir harus berhadapan dengan militer yang kita tahu jejak rekamnya sangat berkuasa dan berbahaya pada masa orde baru. Tapi, selangkah pun Munir tidak mundur, Ia tidak gentar sekali pun.

Setahun sebelumnya, atau tahun 1993, Munir juga terlibat secara lengsung dengan menjadi pembela hukum warga Nipah di Madura dalam kasus pembunuhan petani oleh militer. Bendungan yang kini kokoh dan menampung air itu ditopang oleh pondasi darah dan air mata. Nyawa para petani pada 25 September itu melayang terpaksa karena desing peluru militer. Akibatnya, empat petani meregang nyawa. Sementara yang lain lari terbirit-birit dan jungkir balik menghindari auman senjata.

Kabar mengenai tragedi berdarah itu sampai di telinga Munir. Darahnya seketika mendidih tapi tidak Dia tumpahkan kepada kemurkaan amarah. Tapi Munir memilih marah secara elegan dengan melawan secara legal. Ia kemudian terlibat aktif, baik sebagai penasehat hukum maupun kegiatan advokasi lainnya. Mengkonsolidasi berbagai forum dan diskusi.

Tidak hanya itu, kasus-kasus lain yang melibatkan Munir juga banyak lagi. Diantaranya kasus Araujo yang mendapat tuduhan sebagai pemberontak untuk kemerdekaan Timor Timur (sekarang Timur Leste), kasus kerusuhan di PT. Chief Samsung, kasus Muhadi seorang sopir yang dituduh melakukan penembakan kepada seorang polisi di Madura, tragedi Tanjung Priok 1984-1998, kasus penembakan mahasiswa Semanggi I dan Semanggi II, dan kasus lainnya.

Kasus yang paling banyak menarik perhatian yang ditangani Munir adalah kasus penghilangan orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998. Kasus ini pula yang membuat Munir untuk menginisiasi pembentukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Imparsial. Sebuah lembaga yang secara aktif mengadvokasi secara legal sejumlah kasus yang dinilai sangat sensitif terhadap pemerintah.

Selain kasus penghilangan paksa aktivis 1997 dan 1998, Kontras juga aktif melakukan kerja-kerja kemanusiaan untuk peristiwa-peristiwa tragis lain. seperti kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh, Papua, Maluku, Sambas, Sampit, Poso hingga Timor Timur. Dari sinilah, Munir terus tersorot mata dan kamera. Bahkan, mungkin dari sini jugalah orang-orang jahat mulai mengintai Munir secara intens dan terstruktur. Apalagi data-data yang dikumpulkannya sangat kuat membuat siapa saja dapat tergoyang, termasuk para petinggi militer dan pemerintah.

Sederet capaian, mulai dari aktivis hingga gerakan advokasi inilah, Munir mendapat banyak pengakuan. Tidak hanya nasional tapi juga internasional. Apalagi sikapnya yang sederhana, jujur, berani dan konsisten menegakkan kebenaran menambah khasanah kedirian Munir. Maka tidak heran kemudian, jika Munir banyak mendapat penghargaan.

Di dalam negeri, meski sering terlibat konfrontasi dengan aparat pemerintah, Munir didaulat sebagai Man Of The Year tahun 1998 oleh majalah UMMAT. Kemudian, almamaternya, Universitas Brawijaya memberinya Pin Emas sebagai lulusan tersukses, dan dinobatkan sebagai tokoh paling fenomenal abad 20 Majalah Forum Keadilan.

Sementara di luar negeri, Munir didapuk sebagai As Leader for the Millennium oleh Asia Week tahun 2000, The Right Livelihood Award --merupakan alternatif peraih nobel-- untuk kategori HAM dan kontrol sipil atas militer di Stockholm tahun 2000, dan yang paling membanggakan adalah An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize di Paris tahun 2000.

Tapi tunggu, apakah prestasinya itu membuat Munir berubah jadi jumawa? Tentu tidak. Munir tidak seperti itu. Munir tidak gila harta dan jabatan. Baginya, penghargaan yang dialamatkan kepadanya hanya bonus atas kerja kerasnya dalam membela mereka yang patut dibela dan diperjuangan. Terutama dan utama adalah mereka rakyat biasa yang tidak berdaya.

Ketika mendapat hadiah atas prestasinya, Munir tidak rakus memilikinya sendiri. Tapi, hadiah itu dibagi dua dengan Kontras, sebuah lembaga yang dibentuknya sendiri. Pun selama hidupnya tidak pernah bermewah-mewah.

Kendaraan pribadi yang sering dipakainya hanya Honda Astrea Grand tahun 1996. Munir baru punya mobil tahun 2003 yakni Toyota Mark II berwarna putih, sedan keluaran 1980-an. Mobil itu bukan baru tapi bekas dan dibeli dengan cara dicicil.

Sebuah pernyataan dari Munir yang sangat saya kenang adalah "aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut". Salam untukmu dan berbahagialah Munir. Percayalah, Kau akan tetap ada dan berlipat ganda di hati kami yang mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya