Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Gambar
  Saya tidak tahan lagi; bangsat. Mohon maaf, pikiran saya sudah sangat kacau. Akibatnya, kata itu tidak bisa lagi saya bendung. Kata itu, pada dasarnya menolak untuk dikatakan. Tapi, harus dan terpaksa dikatakan. Saya teringat belasan tahun silam. Ketika, masih aktif di kampus dulu. Salah seorang senior, sering mengeluarkan kalimat satir. “Tidak perlu kau mati bunuh diri dengan meminum racun Bung tapi cukup kau tutup pintu kamar kost-mu lalu merenungkan bagaimana kau memperbaiki negara ini,” katanya. Kini kalimat itu, layak jadi pertimbangan --barangkali. Hihi. Hari-hari ini, dan hari-hari sebelumnya --dalam kurung 1 dekade ini. Kita rasanya tidak pernah bisa mendapati seorang negarawan sejati itu; sulit betul, yang cita-citanya membawa bangsa ini seperti burung garuda --terbang ke angkasa raya dengan menggenggam kejujurn dan keadilan untuk kesejahteraan rakyat. Dulu, pernah saya mengharapkan itu kepada seorang Fahri Hamzah. Saya terpikat betul kepadanya. Tiap ada wacana publi

Enigma Rencana

Gambar
  Siapa yang mampu mengatur waktu? Tentu tidak ada. Sebab, kita hanya berjalan di dalamnya. Dan terus-terusan begitu. Kita hanya menjalani waktu itu --sebagian kecilnya kita rencanakan, sebagian besarnya adalah misteri. Rencana juga, tidak semua mengatur waktu. Kadang, rencana hanya tinggal rencana. Dan begitulah awal pertemuan saya dengan Bang Hikmat Darmawan. Jumat pagi lalu, saya bangun seperti biasa --dengan rencana-rencana yang dibuat. Hari sebelumnya, saya berdiskusi dengan mahasiswa kampus mengajar --SMPN 1 Sesean. Di Toraja Utara. Jaraknya cukup menguras kesabaran, butuh waktu 30 menit, dengan kendaraan roda dua. Belum lagi jalannya --berlubang dan berliku. Saya berangkat --sedikit terburu-buru. Di rumah, saya belum sempat sarapan --nanti di depan Rektorat UKI Toraja. Di situ, ada dua penjual gado-gado. Juga penjual bubur kacang hijau. Langganan saya. Penjualnya sangat hangat, baik dan ramah. Walau, kami tidak saling tahu nama. Persetan soal nama, apalagi agama. Terpenting,

Bagaimana Hukum Menuju Kematian

Gambar
  Dalam catatan Yuval Noah Harari; Sapiens --sejarah singkat umat manusia, penulis kelahiran negara apartheid Israel itu mendeskripsikan secara detail, bagaimana manusia itu bermula. Tepatnya, perubahan dasar dari sebuah evolusi; binatang ke manusia --berkat daya khayal atau imajinasi. Lalu, pelan dan pasti mengikat kelompok kecil. Lalu, kelompok besar. Dan seterusnya, hingga kini.  Dari situ pulalah bermula politik dan hukum itu. Dan, terus mengalami evolusi; filsafat, sejarah, bentuk, ukuran dan tujuannya. Bahkan, masih terus tumbuh dan berubah. Terus-terusan begitu. Ada yang pesimis --hukum masuk dalam ranah privat-- yang sebenarnya tidak perlu terikat. Karena, ia berada dalam jarak asasi --tiap orang dan tiap kepala punya hak. Tapi, ada juga yang progresif dan radikal. Mempertimbangkan keadilan gender. Utamanya perempuan. Semacam gerakan kesetaraan --mengintip patriarki yang kebanyakan ada kuasa gender tertentu disitu. Sangat menarik --sayang, itu bukan Indonesia. Sekarang, k

Maqbul Halim Caleg Yang Callege-lege

Gambar
  Saya tidak tahu persis waktunya; untuk pertama kali saya bertemu Maqbul Halim atau MH. Seingat saya, antara 2017 atau 2018. Hanya itu yang terlintas. Tapi, sejak saat itu, saya benar-benar melihat MH ini, sebagai politisi yang agak lain. Agak lain dalam perspektif etis. MH seperti punya magis-nya sendiri --di mata saya. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos. Kadang-kadang, melawan arus, dari alur pikir pada umumnya. Seringkali, mengambil diksi yang membuat jurnalis berkerut. Seperti, ketika saya wawancara dulu, soal kader Golkar pindah partai. MH menyebut jika kader itu ibarat kanker. Jika tidak dioperasi, akan berbahaya. Tidak salah, Golkar pernah menunjuk MH sebagai Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini. Kupikir pertimbangannya jelas. Lagian, secara kapasistas dan legal standingnya, MH tepat disitu. Lalu, terjadi banyak diorama politik. Membuat MH menyingkir dari Golkar, hingga kini. Tapi, MH tetaplah MH --punya daya magisnya sendiri. Pilwalkot Makassar 2018, jadi babak baru

Kegamangan Negara Hukum

Gambar
  Equality Before the Law; semua orang sama di mata hukum. Kalimat sederhana dan abstrak ini dipercaya semua orang --bahwa hukum telah dan akan berlaku adil, seadil-adilnya. Tanpa ada alasan yang membuatnya berat sebelah. Dan atau mengacungkan pedang dan mengeksekusinya tanpa mengintip. Negara ini, mengacungkan diri dan memutuskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagai pembuktian akan keberanian itu, negara lalu mengilhami diri ke dalam empat hal. Yang pada pokoknya, dituangkan di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman; Bagian menimbang huruf a dalam KUHP; Pasal 3 ayat (2) UU HAM. Apa yang terjadi dari keberanian itu; negara mengalami kegamangan. Sebuah kegamangan yang pada faktanya diciptakan sendiri. Lalu, ditafsirkan sendiri-sendiri oleh pemerintah; polisi, jaksa dan hakim. Dalam tatanan demokrasi hari ini, kegamangan itu semakin menjadi-jadi. Di sisi lain, menghendaki kebebasan berbicara, tapi kemudian meminta kritik dengan sopan. Berangkat d

Don’t Stop Komandan

Gambar
  Hukum negara tanpa etika, apa bedanya dengan hukum rimba. Jika hukum telah menjadi arena rimba, maka hukum tidak lagi ber-asas pada keadilan. Hukum tidak ber-asas pada keadilan, maka hukum akan menjadi kekuatan kekuasaan dalam melakukan kesewenangan. "Korupsi bukan hanya persoalan hukum saja, tapi sudah masuk fenomena politik dan sosial" Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.  Dalam perspektif awam, bagi saya hukum itu kejujuran. Jika dalam proses hukum, kepada siapapun, kejujuran harus menjadi pedangnya. Seorang filsuf moral dan politik Amerika, Profesor John Rawls, dalam bukunya A Theory Of Justice membuat kalimat sederhana tentang keadilan “tidak ada keadilan tanpa kejujuran”. Singkat, padat dan jelas. Dalam kasus Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang kini hangat diperbincangkan. Saya haanya ingin melihat dari kacamata awam tadi; kejujuran --saya ingin menghindari perdebatan kompleks-- soal politik atau kriminalisasi jelang pemilu. Karena itu, mari kita mulai dari perjalana

Sains, Kentut dan Tai

Gambar
www.klikdokter.com Kentut dan rasa malu. Dua hal yang tidak berhubungan. Tapi, kadang berdampak sosial lebih dari yang diperkirakan --sosiologi kadang memang membingungkan. Begitu juga dengan tai. Baik kentut maupun tai, sifatnya natural. Dan siapa yang mampu menolak yang natural itu. Jika pun ada, itu berarti Ia menolak dirinya sendiri. Pekan lalu, saya mengajar mata kuliah pengantar filsafat di UKI Toraja. Di awal perkuliahan, saya meminta kepada mahasiswa untuk menggunakan otaknya untuk berpikir. Saya mensyaratkan itu secara wajib. Pertama-tama, saya meminta mereka untuk kritis kepada diri meraka sendiri. Saya katakan, jika mereka tidak kritis kepada diri sendiri, maka akan sulit untuk belajar filsafat. Sebab dari berangkat kritis kepada diri sendiri maka akan bermuara pada mengenali diri sendiri. Saya kemudian memulai berbicara tentang kentut dan tai. Semua mahasiswa tertawa. Saya diam dan tidak menanggapi tawa mereka. Saya bertanya, kenapa tertawa? Apakah kentut dan tai itu se

Akademi HAM Makassar

Gambar
Jika ingin serius dalam belajar. Akan selalu ada saja jalannya. Dan kadang tiba-tiba, begitu saja terjadi. Pun sekali-sekali tidak terduga datangnya --datang dari orang yang tidak kita kenal. Sama seperti tahun 2015 itu. Tahun dimana saya haus-hausnya akan belajar. Bahkan, kini pun bisa dikata begitu. Tapi sejujurnya, tahun itu adalah tahun segalanya dimulai. Saya senang berkenalan dengan orang baru. Siapapun dia dan bagaimana pun latar belakangnya. Terpenting bagi saya adalah saling berbagi pengalaman. Dan itu adalah pelajaran yang sangat berharga. Selain karena saya dapat belajar banyak dari pengalaman orang baru itu. Juga tentu saja saya dapat curi-curi ilmu. Dan dengan tanpa memandang siapa dan latar belakangnya, maka jadilah saya banyak perspektif. Dan, ya, itu sangat berharga. Tahun 2018, ketika saya sudah mulai bekerja sebagai jurnalis. Saya aktif pada berbagai diskusi. Pelaksananya tidak penting; mahasiswa, NGO, pemerintah dan siapa saja. Saya datang dengan semangat; mend

Mengoreksi Pramodya Ananta Toer

Gambar
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” Pramoedya Ananta Toer.   Kalimat Pram di atas itu menghentak saya tahun 2015. Tahun, dimana saya memaksa diri untuk terus membaca. Dasarnya, saya memang suka membaca. Tapi, tidak se-intens di tahun 2015 itu hingga sekarang. Di tahun itu pula saya belajar menulis. Topiknya apa saja yang saya pikirkan. Lalu, membaca dan menulis ini membawa saya pada pekerjaan. Ya, sebagai jurnalis. Memulainya juga tidak mudah. Sebab dulu, kata banyak orang, saya memulai dari media yang abal-abal --tidak legal. Tapi, bagi saya itu buka soal. Pokok pikirannya, belajar. Bukankah belajar itu dapat dimana saja tanpa harus melihat legal dan tidak legalnya. Toh, dari sanalah semuanya dimulai hingga saya berada dititik ini. Maka utang jasa orang kepada saya, sangat banyak. Saya tidak dapat menghitungnya. Untuk membalasnya, hanya satu yang bisa saya

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya

Gambar
Tidak ada anak yang minta dilahirkan. Kupikir kalimat pendek ini jadi peringatan tegas. Tapi, kadang tidak menjadi bagian dari prinsip banyak orang. Yang ada dan umum kita dengar hanya prosesnya. Bahasa kasarnya “anu enak ini bos” --mau enaknya, tidak mau anaknya. Jika sudah begitu, lepaslah tanggungjawab itu. Dalam perjalanan bus ke Toraja, Minggu 24 September malam. Saya ingin bercerita dengan sesama penumpang di samping saya-- seperti yang sering saya lakukan sebelum-sebelumnya. Tapi, rasanya itu sulit. Seorang yang disamping saya itu barangkali umurnya masih belasan. Sibuk pula video call dengan seorang perempuan. Barangkali, itu pacarnya. Perkiraan saya, telah beberapa lama menjaling hubungan jarak jauh alias LDR. Jadilah saya saksi kalimat-kalimat manja dan menggemaskan itu. Maka tidak ada alternatif lain selain daripada membuka sosmed di handphone. Lalu, saya melanjutkan membuka beberapa group WA. Dalam sebuah group orang Sinjai yang diperantauan. Saya mendapati sebuah link beri

Kebetulan, Sains dan Ojol

Gambar
Tidak ada yang kebetulan. Beberapa orang percaya kalimat pendek ini. Diantara beberapa orang itu, saya bisa dikata salah satu diantaranya. Kebetulan bukan hukum yang pasti. Maksudnya, kebetulan tidak dapat dibuktikan bahwa kebetulan itu memang hanya kebetulan. Ada ruang yang kosong disitu dan ruang kososng itu sangat mendasar yakni pembuktian dan virifikasi. Jika kita kebetulan bertemu teman lama di jalan raya ketika sedang berkendara. Itu bukan kebetulan tapi itu adalah sesuatu yang telah terencana secara hukum alam. Dalam bahasa sains, itu adalah hukum ukur mengukur. Anggaplah teman tinggal disebuah perumahan di Gowa. Dan kamu tinggal di wilayah Maros. Titik pertemuan di pertigaan lampur merah Jalan AP. Pettarani dan Boulevard. Temanmu telah janjian bersama temannya yang lain di sebuah café di Jalan Boulevard. Sedang kamu dalam perjalanan ke Mall Panakkuang bersama keluargamu. Maka secara hukum dalam sains, pertemuan itu bukan sebuah kebetulan. Ia dapat diukur secara akurat ole