Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

 


Saya tidak tahan lagi; bangsat. Mohon maaf, pikiran saya sudah sangat kacau. Akibatnya, kata itu tidak bisa lagi saya bendung. Kata itu, pada dasarnya menolak untuk dikatakan. Tapi, harus dan terpaksa dikatakan.

Saya teringat belasan tahun silam. Ketika, masih aktif di kampus dulu. Salah seorang senior, sering mengeluarkan kalimat satir. “Tidak perlu kau mati bunuh diri dengan meminum racun Bung tapi cukup kau tutup pintu kamar kost-mu lalu merenungkan bagaimana kau memperbaiki negara ini,” katanya. Kini kalimat itu, layak jadi pertimbangan --barangkali. Hihi.

Hari-hari ini, dan hari-hari sebelumnya --dalam kurung 1 dekade ini. Kita rasanya tidak pernah bisa mendapati seorang negarawan sejati itu; sulit betul, yang cita-citanya membawa bangsa ini seperti burung garuda --terbang ke angkasa raya dengan menggenggam kejujurn dan keadilan untuk kesejahteraan rakyat.

Dulu, pernah saya mengharapkan itu kepada seorang Fahri Hamzah. Saya terpikat betul kepadanya. Tiap ada wacana publik yang sedang hangat diperbincangkan, saya selalu mencari-cari Fahri. Saya melihatnya sebagai oase di tengah gurun demokrasi yang kian memburuk --The Economist Intelligence Unit (EUI), menguatkan itu.

Wacana-wacana yang sering digaungkan Fahri selalu menarik. Bahkan, cenderung melawan arus. Saya ingat betul ketika Fahri Hamzah dipecat partainya; Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tahun 2016 silam. Fahri tidak tinggal diam, tapi melawan secara elegan.

Saya juga tidak bakal lupa soal Fahri yang dengan berapi-api ingin membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak hanya sekali atau dua kali, Fahri bahkan berkali-kali dengan gagah berani menyampaikan itu di depan publik. Fahri seakan-akan ingin menggalang sebuah gerakan, agar idenya itu didukung dan dibenarkan.

Terus terang, saya bertentangan dengan Fahri, sejak ide membubarkan KPK itu. Saya dengan sangat tegas mencibirnya, ketika hadir di Kota Makassar tahun 2018 lalu. Di depannya langsung, saya menolak idenya itu. Fahri hanya tersenyum lalu tidak menanggapi pertanyaan saya. Padahal, kritik saya hanya sederhana. Kenapa selalu tajam kepada KPK, tapi seperti tumpul kepada Polri dan Kejaksaan.

Barulah sekarang ini, saya dapat menduga-duga senyum Fahri waktu itu. Tepatnya pada Mei lalu, ketika Fahri datang menghadiri acara Q and A di Metro TV. Ketika ditanya, terkait situasi terkini dengan KPK, apakah idenya untuk membubarkan KPK masih ingin diperjuangkan? Eh jawaban Fahri tidak nyambung.

Hanya Fahri yang tahu, apakah ide tentang pembubaran KPK itu, murni dari dalam pikiran dan nuraninya atau dari diri orang lain. Tapi, jika melihat sikap Fahri sekarang ini, saya dan kita patut menduga jika lidah Fahri telah tertanam jutsu Danzo dalam serial animasi Naruto.

Apalagi, kini Fahri dengan gagah berani mendukung Gibran sebagai Cawapres Prabowo. Bahkan, Fahri bermain kata-kata --menyebut jika pencalonan Gibran tidak menabrak konstitusi --lucu bin ajaib. Tidak menabrak konstitusi --ya benar. Tapi, menggunakan instrumen Mahkamah Keluarga eh Mahkamah Konstitusi (MK) --semua orang tahulah itu.

Karena itu, Fahri tidak lagi seperti dulu, dimana kata-katanya di depan publik dapat menginspirasi. Fahri kini layaknya politisi yang hanya mengincar kekuasaan --tidak lagi berdasarkan kosep melawan arus-- melalui partai baru yang dibentuknya bersama Anis Matta. Dan, pentolan politisi PKS lainnya. Gerakan dan pikirannya tidak semurni dulu.

Bahkan ketika KPK sedang sekarat integritas, Fahri tetap membisu sambil meliuk-liuk di lingkaran istana --mencari posisi aman lagi nyaman. Saya kira, ini bisa jadi bukti jika demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Kita memang melihat kepala daerah, anggota DPR dan presiden terpilih dari hasil demokrasi. Tapi, kelakuan dan kebijakannya setelah terpilih jauh dari kata demokrasi.

Fahri pun begitu. Fahri memang terpilih secara demokratis sebagai anggota DPR selama tiga periode. Tapi, berdasarkan pengakuannya sendiri, Fahri tidak lagi punya lagi seragam --tidak boleh lagi menyuarakan ide pembubaran KPK.

Ini menjadi pertanda, jika demokrasi telah mati. Seperti yang dituliskan oleh Steven Livitsky dan Daniel Ziblat. Demokrasi adalah menu dalam bernegara khusus untuk orang-orang tertentu yakni mereka yang berseragam seperti anggapan Fahri itu. Dan, rakyat yang tidak punya seragam itu. hanya terus-terusan menjadi korban; bangsat bukan? Aku mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya