Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

Eksistensi Benda dan Kebebasan Berpikir

Gambar
  Lagi-lagi manusia. Iya lagi-lagi manusia yang menjadi segala sumber segala sesuatu. Dalam keterangannya sebagai kebebasan berpikir, manusia melahirkan pemberontakan sekaligus penghancuran pada keadaan-keadaan hari ini.   Entah sampai kapan, padahal kebebasan berpikir pada dasarnya berujung pada kesadaran. Akan tetapi, tidak semua manusia menemukan itu. Tidak semua manusia mencapai dalamnya kedalaman itu. Sekali lagi, tidak semua. Sebab itu adalah kompleksitas yang butuh perenungan ke dalam diri.   Kebebasan berpikir pada umumnya hari ini hanya melahirkan eksistensialis seperti yang diperingatkan oleh Jean Paul Sartre, seroang pernulis dan peraih nobel sastra (1964) Prancis. Bahwa ancaman itu pada dasarnya datang dari benda seperti dalam novelnya La Nausse.   Iya, begitulah sejatinya manusia hari ini. Bahwa benda lebih menarik untuk diperkenalkan karena dapat melahirkan daya pikat yang luar biasa. Sehingga, kebebasan berpikir itu menjadi lemah karenya. Dan, apa yang terj

Pendidikan dan Kesadaran Bernegara

Gambar
Dalam sebuah tulisan saya pada latar belakang untuk tugas akhir di kampus, saya menuliskan bahwa pendidikan adalah hal yang urgent dalam sebuah negara (baca: rakyat dan pejabat). Kupikir, hal hanya sebagai simpulan saya sebagaimana dalam pasal 31 Undang Undang Dasar 1945.   Oleh karenanya, dalam tatanan kritis dasar penulisan tugas akhir itu untuk mengingatkan kepada negara bahwa ada sebuah kewajiban yang tertuang dalam konstitusi terutama hak warga negara dalam mengakses pendidikan. Karenanya, hal ini jangan dibuat ambigu.   Meski pada pelaksanaannya, pendidikan diperhadapkan pada sejumlah masalah yang krusial dan kompleks seperti daerah terpencil di tengah hutan atau disebuah lembah pegunungan seperti yang terjadi di Papua, maupun yang terkait dengan kepulauan yang terbentang jauh dan banyak.   Akan tetapi, hal ini perlu dimaknai secara tidak serampangan. Bahwa hal ini membuat pemerataan pendidikan itu menjadi sulit-- ya tentu saja. Tapi tidak perlu melakukan manuver un

Kristina Gagal ke Istana

Gambar
Sebuah pengumuman kecil di sekolah. Akan ada seleksi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Sejumlah persyaratan tertulis disitu. Jelas; tanpa kurang apapun --tak ada jalur khusus atau rekomendasi. Kristina membacanya. Ia akan ikut seleksi. Maka sejumlah persiapan dilakukan. Termasuk fisik dan mental, tentu saja. Bagian itu paling penting.   Hasil seleksi; Kristina salah satu yang terbaik. Tahapan dilahap habis. Penuh keringat. Penuh perjuangan. Bermodal semangat anak kampung; berani mengejar cita-cita ke kota. Rupanya itu tidak cukup. Kota terlampau keras. Sedang Kristina polos; tak tahu apa-apa. Intinya maju. Bersama Arya Maulana, dinyatakan mewakili daerahnya; Sulawesi Barat.   Nama Kristina memang manis. Sayang, nama manisnya itu tak berbuah manis. Harus gigit jari. Ia gagal ke Jakarta. Tugas mulia; Paskibraka, sirna di depan mata. Musababnya sederhana. Katanya, Kristina positif covid-19. Sungguh disayangkan. Kecewa tentu saja. Ini bukan saja tugas mulia. Tapi juga

Sinjai Bersatu Sunyi Dikelakuan

Gambar
Sejak kepengurusan Vakum selama setengah dekade. Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Sinjai (HIPPMAS) kembali melaksanakan Kongres. Sungguh kabar yang mulai terhembus sejak tahun lalu itu membuat saya ikut bersemangat. Meski selama kuliah tidak pernah terlibat aktif di dalamnya.   Sebenarnya bukan tidak mau ikut berpartisipasi. Tapi ada satu peristiwa yang membuat saya enggan ikut terlibat. Saya lupa persisnya tahun berapa. Saya ikut kegiatan DPK Sinjai Selatan. Waktu itu berniat dan berminat menjadi bagian dari oraganisasi ini. Pikiran saya ketika itu wajib dimulai dari tingkat kecamatan dulu.   Tapi apa mau dikata. Dialektika yang saya harap tapi kemudian pertikaian yang menguat. Sejumlah mahasiswa yang ketika itu terlibat dalam debat tanpa ada jalan tengah. Saya masih memaklumi dinamika itu. Wajar saya pikir, jika hal seperti terjadi dalam sebuah oragansasi. Tapi kemudian berujung perkelahian-- saya menghindar.   Dari peristiwa itulah minat saya ber-HIPPMAS luntur. Saya

Mencintai Maros Merawat Masa Depan

Gambar
Berbicara tentang Sulawesi Selatan, itu berarti bukan hanya tentang Makassar. Terlalu naif rasanya jika demikian. Banyak hal bisa ditemukan di tempat lain di wilayah ini. Misalnya, Toraja dengan destinasi wisata adat dan budayanya. Bulukumba dengan bira dan tebing-tebing soleknya. Selayar dengan pantai-pantai indahnya. Sinjai dengan ikannya.   Di luar dari itu. Ada satu daerah yang sangat unik. Sukar dan mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain; Maros. Di sini, kita akan terbawa mundur ke belakang; jauh. Sangat jauh. Tidak puluhan tahun atau ratusan tahun. Tapi ribuan tahun. Bahkan puluhan tahun. Maros itu perangkap waktu. Atau mungkin mesin waktu. Itu luar biasa.   Mula-mula Maros mulai menarik diperbincangkan ketika Alfred Russel Wallace datang ke Maros. Itu tahun 1857. Sekitar September atau November. Usinya ketika itu masih 34 tahun. Wallace diperkenalkan oleh keluarga Willem Landeert Mesman. Wallace lalu menelusuri sungai ke utara Makassar. Menemukan banyak keindahan

Mata Ketiga yang Digaibkan

Gambar
Anak yang malang. Barangkali itu cukup mewakili AP. Seorang bocah perempuan berusia 6 tahun di Gowa. Jika rumah tempat berlindung atau keluarga sebagai pelindung; tidak berlaku baginya. Rumah hanya sebuah bangunan kosong. Tak ada isi; kepercayaan, kejujuran, cinta dan kasih sayang. Dan keluarga hanya sebuah nama. Tak lebih dari sebuah onggokan daging yang menumpang. Sebuah bisikan gaib. Merubah nasib anak malang itu. Keluarganya; Ibu, Ayah, Kakek dan Paman mencongkel matanya. Anak itu berteriak. Manusia-manusia laknat itu tidak bergidik sedikitpun. Bisikan itu terlalu kuat; barangkali. Tetesan darah merah mengalir. Kesakitan tapi tidak dapat berbuat banyak. Kaki dan tangannya dipegang.   Terdengar miris. Tetangga datang. Juga memberi bantuan kepada anak malang itu. Hingga sampai ke telinga polisi. Dilakukan penyelidikan. Hasilnya, dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Itu berarti ini murni penganiyaan. Bukan kerasukan --barangkali akal-akalan. Secara hukum, penganiayaan mas

Pendekar Hukum Baharuddin Lopa

Gambar
Menghukum dalam hukum adalah ketidakberhasilan hukum. Tapi inilah yang terjadi. Kupikir ini sebagai narasi yang pas untuk kondisi hari ini. Yah begitulah, situasi dan kondisi pada negara hukum hari ini. Kita selalu menekankan agar hukum berhasil menghukum. Tapi kita cukup sulit atau bahkan sangat sulit menemui hukum memberikan kesadaran hukum.   Mungkin saja, ini adalah bagian dari maksud Adnan Buyung Nasution dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Apalagi dalam bukunya Demokrasi Konstitusional. Di dalam buku itu, Adnan sangat gamblang membicarakan bagaimana negara demokrasi seharusnya bekerja. Terutama dalam hal penegakan hukum berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM).   Karenanya demokrasi hanya sebuah utopia jika penegakan hukum terabaikan. Sebab instrumen yang sangat penting dalam demokrasi itu adalah penegakan hukum yang jujur dan adil. Seharusnya, hukum harus terjaga moralnya agar memicu pengetahuan kesadaran dan pengakuan. Karenanya, jika kita berkaca hari ini, maka

Malamoi

Gambar
  Suku Malamoi merupakan suku asli Sorong, Papua Barat. Seperti suku lain di Indonesia, Suku Malamoi memiliki adat yang kuat. Termasuk diantaranya tata cara menata kehidupan. Mereka hidup dari tanah; makan dari tanah. Mati juga akan menjadi tanah; makam di tanah. Itu pegangan Suku Malamoi. Karenanya sistem adat terkait tanah sangatlah dijaga kesakralannya.   Salah satu penentuannya melalui sidang adat. Ini merupakan bagian terpenting. Sifatnya mistis. Memiliki keunggulan. Salah satunya menyelesaikan konflik etnik dalam masyarakat; mudah dan sederhana. Atas manfaatnya itu, sidang adat mendapat dukungan pemerintah Kabupaten Sorong. Lahirlah; Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi.   Suku Malamoi terdiri atas 12 rumpun yang hidup rukun. Diantaranya Moi Kilin, Moi Sigali/Moi Mare, Moi Maya, Moi Klasa, Moi Moraid, Moi Seget, Moi Klabra, Moi Madik, Moi Karon, Moi Meiyakh, Moi Batan Mee/Batbat, dan Moi Fiyawat. Mereka mendiami hampir seluruh wilayah Sorong; sekitar 400 ribu hektar. M

Kemewahan Wawan Mattaliu

Gambar
Tahun 2016, saya diberi mandat oleh kantor untuk bekerja dan meliput di Kantor DPRD Sulsel. Saya sudah lupa persisnya di bulan berapa. Yang pasti, sebagai anak baru saya tentu harus banyak belajar. Termasuk mengetahui nama-nama para anggota yang duduk sebagai perwakilan rakyat Sulsel.   Ketika itu, sudah mulai agak siang. Barangkali sudah lewat jam 10. Saya tiba di ruang media centre DPRD Sulsel. Di depan pintu ruangan itu ada tangga menuju lantai dua. Di situ, saya melihat seorang laki-laki melempar senyum hangat kepada saya. Laki-laki itu menikmati sebatang rokok sambil duduk di tangga.   Karena tidak kenal saya hanya membalas senyumnya lalu masuk ke ruangan. Sekitar dua hari setelah itu, saya kembali berjumpa dengannya. Kembali sambil tersenyum dan saya membalasnya. Karena penasaran, saya lalu bertanya ke jurnalis lain. Siapa gerangan orang yang sering duduk di tangga di depan ruang media center.   Disebutlah nama Wawan Mattaliu. Anggota DPRD Sulsel dari Fraksi Hanura.