Malamoi
Suku
Malamoi merupakan suku asli Sorong, Papua Barat. Seperti suku lain di
Indonesia, Suku Malamoi memiliki adat yang kuat. Termasuk diantaranya tata cara
menata kehidupan. Mereka hidup dari tanah; makan dari tanah. Mati juga akan
menjadi tanah; makam di tanah. Itu pegangan Suku Malamoi. Karenanya sistem adat
terkait tanah sangatlah dijaga kesakralannya.
Salah
satu penentuannya melalui sidang adat. Ini merupakan bagian terpenting. Sifatnya
mistis. Memiliki keunggulan. Salah satunya menyelesaikan konflik etnik dalam
masyarakat; mudah dan sederhana. Atas manfaatnya itu, sidang adat mendapat
dukungan pemerintah Kabupaten Sorong. Lahirlah; Lembaga Masyarakat Adat (LMA)
Malamoi.
Suku
Malamoi terdiri atas 12 rumpun yang hidup rukun. Diantaranya Moi Kilin, Moi
Sigali/Moi Mare, Moi Maya, Moi Klasa, Moi Moraid, Moi Seget, Moi Klabra, Moi
Madik, Moi Karon, Moi Meiyakh, Moi Batan Mee/Batbat, dan Moi Fiyawat. Mereka
mendiami hampir seluruh wilayah Sorong; sekitar 400 ribu hektar. Mereka dominan.
Tapi tenang; mereka sangat terbuka. Terutama soal perempuan; ditempatkan cukup
istimewa.
Suku
ini umumnya mendiami dataran rendah; wilayah pesisir dan muara sungai. Itu
tidak lepas dari cara hidupnya. Yakni menangkap ikan, makan sagu hingga
berkebun. Selain itu, Suku Malamoi juga melakukan aktifitas berburu. Alatnya
sangat sederhana; tombak, busur, dan anak panah dari
bambu atau tulang kasuari. Sedang busur dari pelepah sagu.
Lalu
kehidupan pelan-pelan berubah. Banyak pendatang. Karena sayang dan pemikiran
terbuka; mereka terima. Hidup bersama. Tak ada saling usik. Suku Malamoi tidak
paham teknologi; dibawa pendatang itu. Tapi tunggu, pemikirannya bisa melebihi
teknologi. Tak perlu kau catat di laptop. Atau di ponsel kerenmu. Jika sidang
sudah diputuskan adat; mereka patuh.
Tak
perlu lagi kau ingatkan dari laptop atau ponselmu. Canggih bukan. Itulah
mereka. Jadi mereka bukan karena terbelakang. Mereka hanya tahu cara hidup yang
sehat dan menghargai alam. Tidak lebih dari itu. Musababnya mereka sangat
paham. Bahwa setelah kematian hanya kembali jadi tanah. Tanah yang subur untuk
generasi selanjutnya. Mereka tidak serakah. Itu saja.
Setelah
Suku Malamoi berbaik-baik. Pendatang itu mulai beradaptasi. Kemudian disusul
naluri menguasai. Tanah tujuannya. Apalagi sangat subur. Ditambah air melimpah.
Cocok untuk sawit. Disusunlah rencana. Bertemu Bupati dan segala hal yang mungkin
berkepentingan. Dasarnya; kegentingan untuk kehidupan yang layak. Menggiurkan.
Sebagai
Bupati, Johny Kamuru; ingin rakyatnya sejahtera. Kepemimpinan memang itu
tujuannya. Maka banyak perusahaan datang. Empat diantaranya gerak cepat. Mereka
PT Cipta Papua Plantation, PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, dan PT
Sorong Agro Sawitindo. Semua pakai kata Papua. Itu silau. Terlampau silau.
Orang-orang tereduksi cepat. Termasuk Bupati.
Diberilah
izin. Masing-masing dari mereka diberi hak pengelolaan lahan Distrik Mariat dan
Sayosa; 15.671 hektare. Distrik Salawati, Klamono dan Segun 34.400 hektare. Distrik
Segun 15.631 hektare, dan di distrik Segun, Kwalak dan Klamono 40.000 hektare.
Tapi keramahan dibalas kemarahan. Air susu dibalas air tuba. Suku Malamoi
melawan.
Tanah
mereka hidup “dirampas”. Hak-hak hidupnya dikebiri. Lahan untuk bertani ubi dan
talas diganti sawit. Hutan tempat mereka berburu dibabat habis. Pohon tempat berteduh
Burung Cenderawasih dihancurkan. Sagu sulit tumbuh lagi. Mereka dipaksa bertani
padi. Itu berarti cara makannya juga berubah. Tidak sesuai pesan nenek moyang.
Kemarahan sudah diubun-ubun.
Johny
Kamuru mendeteksi itu. Ia kemudian melingkar. Mencari solusi. Pokoknya yang
terbaik. Terutama untuk masyarakat adat Suku Malamoi. Suku kelahirannya
sendiri. Ia tidak ingin mengkhianati adat dan tanah kelahirannya. Karena sudah
jadi Bupati. Keputusan tidak boleh sepihak; itu melanggar. Atau karena dasar
sesuku dengan Malamoi. Semua harus berdasarkan prosedural hukum.
Momentum
itu datang juga. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 yang
memandatkan evaluasi perizinan perkebunan sawit keluar. Sebagai orang yang taat
hukum dan pemerintah. Ia lalu bekerja. Begitu cepat. Ini demi kebaikan dan
keteraturan hukum. Lagian, sawit tidak dibutuhkan Suku Malamoi; warga dan
keluarganya. Yang dibutuhkan sagu, ubi, talas dan ikan.
Perintah
Presiden dalam Inpres itu ditindaklanjuti. Tersebutlah deklarasi Manokwari.
Penggagasnya dua gubernur; Papua dan Papua Barat. Dilakukan secara daring;
masih pandemi. Keluarlah putusan. Di Papua Barat, Gubernur memanggil 30
perusahaan diundang juga kepala daerah. Termasuk yang beroperasi di Kabupaten
Sorong.
Sangat
ramai. Ada juga diantaranya lembaga dan kemeterian terkait; Kementerian
Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Keuangan,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan instansi lainnya. Simpulannya periksa kembali
perizinan. Tidak hanya itu, perlu juga dicek di lapangan. Ini penting. Termasuk
menyamakan peta lokasi.
Ditemukannlah
kejanggalan. Bahkan banyak prosedural yang dilanggar. Seperti lahan mubazir. Hak
kesulungan Suku Malamoi dibaikan. Tanah-tanah itu juga digadaikan di bank;
untuk investasi lain --katanya. Sama sekali tidak ada kesejahteraan disitu.
Jauh dari harapan. Apalagi begitu nyata merugikan masyarakat adat. Tidak boleh
dibiarkan.
Maka,
Johny Kamuru bertindak secara tegas; mencabut izin empat perusahaan itu.
Apalagi, tiga dari empat perusahaan itu juga tidak memiliki Hak Guna Usaha
(HGU); bangcad memang. Suku Malamoi sudah mesti bersyukur. Punya pemimpin yang
seharusnya; berani. Tidak takut perusahaan kabur dari wilayahnya. Hanya takut
jika warganya menderita.
Meski
sudah benar. Johny Kamuru digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Johny
Kamuru tidak cengeng. Ia tahu berada diposisi yang benar. Apalagi tindakannya
itu tidak ujug-ujug. Punya dasar yang kuat. Punya data dan fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hadapi. Inilah saatnya membuktikan tujuan demokrasi itu;
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Bukti
lain yang dapat diajukan ada; Peraturan Daerah (Perda) nomor 10 tahun 2017 yang
telah disepakati bersama DPRD Sorong. Itu tentang Pengakuan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (PPMHA). Kerakusan itu wajib dilawan. Sebab ia adalah
murni kerusakan; jika dibiarkan. Arthur Schopenhauer menyebutnya kehendak.
Kehendak yang rusak, ya seharusnya dilawan untuk dikendalikan.
Kita
yang jauh dari Sorong semestinya mendukung. Negara ini negara hukum Bung. Dan
hukum tertinggi berada di tangan rakyat. Dan Suku Malamoi itu bagian dari
rakyat NKRI. Panjang umur hal-hal baik. Tetap teguh Johny Kamaru. Tetap lawan;
ketidakadilan, Suku Malamoi.
#akumencintaimu.
Komentar
Posting Komentar