Kepala Daerah atau Konten Kreator
Jumat, lebih dari satu pekan lalu, saya berinisiatif untuk hadir
dalam sebuah diskusi yang rupanya sangat terbatas. Hal ini terkonfirmasi, beberapa
jam sebelum kegiatan itu, ketika saya hendak menghubungi seorang senior yang menjadi
bagian dari diskusi. Pesannya jelas “kuota sudah terpenuhi”, tapi saya ngeyel;
tetap datang.
Sebenarnya, niat datang tidak sepenuhnya dapat dikatakan begitu. Beberapa
hari sebelumnya, saya dihubungi oleh seorang dosen yang tergabung dalam Aliansi
Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI). Rencananya akan dilakukan
rapat untuk persiapan berangkat ke Jakarta untuk ikut Munyawarah Nasional (Munas).
Jadilah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.
Saya sengaja datang sesuai dengan jadwal diskusi itu, atau dengan
kata lain lebih awal dari jadwal rapat ADAKSI. Ketika tiba, saya langsung naik
ke lantai 2 Cafe Red Corner yang menjadi lokasi kegiatan, sebab berdasarkan
pengalaman jika ada kegiatan diskusi di cafe ini, pasti digelar di lantai dua. Dan,
sesuai dengan dugaan saya; tempat diskusinya tepat di ujung tanggai di lantai
dua yang sering dilaksanakan diskusi tertutup.
Saya tidak langsung masuk, sengaja saya melipir masuk ke ruangan
yang biasanya dipakai pengunjung untuk berkopdar ria. Saya duduk, lalu kemudian
mengambil handphone untuk segera mengehubungi senior yang sebelumnya
saya hubungi. Dan, tidak begitu lama, chat saya dibalas. Maka, saya langsung
memastikan bahwa tidak semua yang melakukan reservasi datang tepat
waktu, atau bahkan tidak hadir. “Banyak kursi kosong” katany. Saya persilahkan
masuk.
Sebagai tamu tak diundang, saya memilih kursi duduk paling
belakang. Tapi kemudian, saya diminta duduk dengan peserta lain yang sudah reservasi
secara resmi. Dua hal yang menjadi alasan kenekatan saya ini, pertama karena
saya suka dengan tema diskusinya; menulis kampung sendiri. Sebuah tema yang
jarang sekali kita jumpai sebab mengusung pendekatan dekol. Kedua, saya sangat menyukai
tema penulisan yang melawan arus. Ada tantangan tersendiri rasanya jika menulis
dengan narasi yang demikian. Lagian, jika dipikir dengan akal sehat, penulisan
yang semacam ini dapat menyingkap perspektif baru, terutama dalam pengumpulan
data dan risetnya.
Seorang laki-laki dengan perawakan sangat bapak-bapak memandu
acara. Ia kemudian memberikan kesempatan kepada beberapa orang untuk
menyampaikan argumentasi mengenai tema yang akan dibahas. Dan kesempatan
pertama itu diberikan kepada Ni’matullah. Seorang politisi kawakan dari Partai
Demokrat. Pernah menjabat sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan selama dua
periode dan kini sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan.
Pada penjelasannya, Ketua Besar --begitu orang-orang sering
menyapany; mungkin karena perawakan pentolan HMI itu tinggi dan besar, bahwa menulis
dari perspektif kampung dan desa sangat menarik. Alasannya, penulisan yang
semacam itu adalah sebuah metode untuk menurunkan ego penulis untuk mengkaji
yang orang seringkali lupakan. Ia kemudian memberikan contoh bahwa di kota
seringkali penulis melupakan ruang-ruang kecil seperti lorong dan dan penggiran
kota yang kumuh. Sementara, di sana, katanya, terdapat persoalan yang tidak
hanya simbolis tapi faktual dirasakan warga. Sama dengan persoalan yang dialami
warga desa.
Jujur, saya terkesan dengan penjelasan itu. Hanya saja, itu agak
paradoks. Paradoks yang saya maksud di sini adalah bahwa politisi seringkali
mudah bersilat lidah, terutama yang telah duduk pada posisi tertentu dalam
struktur organisasi pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. Penekanan
saya bahwa ini barangkali tidak mengarah kepada Ketua Besar, anggaplah begitu,
tapi secara faktual kita seringkali menjumpai banyak pejabat yang abai atau
bahkan tidak peduli pada ide besar semacam itu. Satu dari sekian banyak alasan bahwa
pejabat seringkali ekslusif dan lebih mudah menggunakan relasi kuasa sebagai
jalan ninjanya.
Tidak begitu lama, usai Ketua Besar memberikan argumentatifnya, seorang
jurnalis senior diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan. Ia adalah As
Kambie; wakil pimpinan redaksi Tribun Timur Makassar. Namanya sudah melegenda diantara
jurnalis-jurnalis yang ada di Kota Makassar ini. Tak jarang pula,
tulisan-tulisannya menjadi topik diskusi hangat, sebab ia mengusung tulisan
yang terus terang dan terang terus. Artinya, Kak Kambie --begitu sering ia
disapa, termasuk saya sendiri, tidak segan-segan menyampaikan kritik walau
dengan kalimat-kalimat yang sarkas.
Pada kesempatan itu, secara gamblang Kambie agak gelisah melihat
nomena tentang kepala daerah konten. Yang menurutnya, sangat tidak perlu sebab
tidak memberikan dampak sama sekali. Bahkan, katanya lagi, itu tidak dapat
dijadikan bukti konkrit kepala daerah itu bekerja. Penjelasan sederhana itu
membuat seisi ruangan menjadi riuh dengan tawa yang terbahak, saya termasuk
diantara yang paling antusias barangkali. “Bahkan, kadang kita ini kalau ketemu
kepala daerah, ditanyain konten apa yang bagus dibuat” katanya datar yang disambut
tawa para hadirin. Harusnya, kata dia, kepala daerah itu fokus melakukan
observasi dan analisis data mengenai persoalan daerah yang dipimpinnya, bukan
malah menjadi konten kreator.
Tidak berhenti disitu, Kambie juga mengajukan contoh faktual
seperti yang baru-baru ini ia alami bersama istri. Suatu ketika, katanya,
ketika sedang dalam perjalanan ke Makassar, ia baru tahu jika di La’bakkang,
yang menurutnya, itu adalah kampung Ketua Besar, sudah ada traffic light dan
telah ada manusia silver. Menurutnya, ini adalah sebuah peristiwa yang patut
ditulis dan ditanggapi, terutama dalam kaitannya penulisan kota dan desa. Ia menduga
manusia silver yang kini telah hijrah ke La’bakkang itu merupakan produk ekspor
dari kota karena sudah tidak laku. Dan, desa dengan tangan terbuka menerimanya.
Dua hal yang menggelitik dan dijelaskan secara sarkas oleh Kak
Kambie, pada dasarnya, dapat saya maknai bahwa kepala daerah itu dipilih oleh warga
untuk berpikir bukan untuk membuat konten. Artinya, value yang harusnya
dikedepankan adalah program yang dapat bermuara pada kepentingan publik. Jabatan
kepala daerah itu adalah jabatan publik yang sama sekali tidak berkorelasi
dengan eksistensi melalui sosial media sehingga itu dapat dikatakan sebagai
pelanggaran etik.
Kedua, ketidakjelian kepala daerah dalam melihat fenomena, seperti contoh yang dipaparkan Kak Kambi; peralihan atau perpindahan manusia silver ke kampung-kampung itu sebagai masalah sosial yang perlu ditangani secara serius. Sebab value desa atau kampung dengan kota jauh berbeda, terutama dalam lokalitas value seperti tidak pernah dibenarkan atau diterima dalam pikiran orang kampung untuk berprilaku minta-minta atau pengemis. Bagi orang kampung, itu prilaku yang rendah dan merusak mental, yang berangkali dapat memberikan dampak; dalam hal ini ada ketakutan terjadinya pergeseran nilai.
Dengan begitu, topik diskusi yang diangkat sangat relevan terutama dalam menjembatani pemikiran terbuka untuk menerima desa dan kota sebagai bagian dari topik yang menarik diilustrasikan dalam narasi atau tulisan agar dapat lebih berdampak. Bahkan, jika ditelisik melalui kacamata yang amat dalam, bahwa desa dan kota pada dasarnya menimbun dirinya sendiri dengan sejumlah persoalan yang kompleks. Bahkan, telah terjadi asimilasi diantara keduanya dan dibutuhkan ketegaran dan kerterbukaan untuk menggalinya agar dapat menjadi tawaran alternatif kepada publik. Dan saya yakin, kesemuanya ini tidak dapat terjadi jika kepala daerahnya hanya fokus pada konten di sosial media.
Komentar
Posting Komentar