Postingan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Gambar
  Saya tidak tahan lagi; bangsat. Mohon maaf, pikiran saya sudah sangat kacau. Akibatnya, kata itu tidak bisa lagi saya bendung. Kata itu, pada dasarnya menolak untuk dikatakan. Tapi, harus dan terpaksa dikatakan. Saya teringat belasan tahun silam. Ketika, masih aktif di kampus dulu. Salah seorang senior, sering mengeluarkan kalimat satir. “Tidak perlu kau mati bunuh diri dengan meminum racun Bung tapi cukup kau tutup pintu kamar kost-mu lalu merenungkan bagaimana kau memperbaiki negara ini,” katanya. Kini kalimat itu, layak jadi pertimbangan --barangkali. Hihi. Hari-hari ini, dan hari-hari sebelumnya --dalam kurung 1 dekade ini. Kita rasanya tidak pernah bisa mendapati seorang negarawan sejati itu; sulit betul, yang cita-citanya membawa bangsa ini seperti burung garuda --terbang ke angkasa raya dengan menggenggam kejujurn dan keadilan untuk kesejahteraan rakyat. Dulu, pernah saya mengharapkan itu kepada seorang Fahri Hamzah. Saya terpikat betul kepadanya. Tiap ada wacana publi

Enigma Rencana

Gambar
  Siapa yang mampu mengatur waktu? Tentu tidak ada. Sebab, kita hanya berjalan di dalamnya. Dan terus-terusan begitu. Kita hanya menjalani waktu itu --sebagian kecilnya kita rencanakan, sebagian besarnya adalah misteri. Rencana juga, tidak semua mengatur waktu. Kadang, rencana hanya tinggal rencana. Dan begitulah awal pertemuan saya dengan Bang Hikmat Darmawan. Jumat pagi lalu, saya bangun seperti biasa --dengan rencana-rencana yang dibuat. Hari sebelumnya, saya berdiskusi dengan mahasiswa kampus mengajar --SMPN 1 Sesean. Di Toraja Utara. Jaraknya cukup menguras kesabaran, butuh waktu 30 menit, dengan kendaraan roda dua. Belum lagi jalannya --berlubang dan berliku. Saya berangkat --sedikit terburu-buru. Di rumah, saya belum sempat sarapan --nanti di depan Rektorat UKI Toraja. Di situ, ada dua penjual gado-gado. Juga penjual bubur kacang hijau. Langganan saya. Penjualnya sangat hangat, baik dan ramah. Walau, kami tidak saling tahu nama. Persetan soal nama, apalagi agama. Terpenting,

Bagaimana Hukum Menuju Kematian

Gambar
  Dalam catatan Yuval Noah Harari; Sapiens --sejarah singkat umat manusia, penulis kelahiran negara apartheid Israel itu mendeskripsikan secara detail, bagaimana manusia itu bermula. Tepatnya, perubahan dasar dari sebuah evolusi; binatang ke manusia --berkat daya khayal atau imajinasi. Lalu, pelan dan pasti mengikat kelompok kecil. Lalu, kelompok besar. Dan seterusnya, hingga kini.  Dari situ pulalah bermula politik dan hukum itu. Dan, terus mengalami evolusi; filsafat, sejarah, bentuk, ukuran dan tujuannya. Bahkan, masih terus tumbuh dan berubah. Terus-terusan begitu. Ada yang pesimis --hukum masuk dalam ranah privat-- yang sebenarnya tidak perlu terikat. Karena, ia berada dalam jarak asasi --tiap orang dan tiap kepala punya hak. Tapi, ada juga yang progresif dan radikal. Mempertimbangkan keadilan gender. Utamanya perempuan. Semacam gerakan kesetaraan --mengintip patriarki yang kebanyakan ada kuasa gender tertentu disitu. Sangat menarik --sayang, itu bukan Indonesia. Sekarang, k

Maqbul Halim Caleg Yang Callege-lege

Gambar
  Saya tidak tahu persis waktunya; untuk pertama kali saya bertemu Maqbul Halim atau MH. Seingat saya, antara 2017 atau 2018. Hanya itu yang terlintas. Tapi, sejak saat itu, saya benar-benar melihat MH ini, sebagai politisi yang agak lain. Agak lain dalam perspektif etis. MH seperti punya magis-nya sendiri --di mata saya. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos. Kadang-kadang, melawan arus, dari alur pikir pada umumnya. Seringkali, mengambil diksi yang membuat jurnalis berkerut. Seperti, ketika saya wawancara dulu, soal kader Golkar pindah partai. MH menyebut jika kader itu ibarat kanker. Jika tidak dioperasi, akan berbahaya. Tidak salah, Golkar pernah menunjuk MH sebagai Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini. Kupikir pertimbangannya jelas. Lagian, secara kapasistas dan legal standingnya, MH tepat disitu. Lalu, terjadi banyak diorama politik. Membuat MH menyingkir dari Golkar, hingga kini. Tapi, MH tetaplah MH --punya daya magisnya sendiri. Pilwalkot Makassar 2018, jadi babak baru

Kegamangan Negara Hukum

Gambar
  Equality Before the Law; semua orang sama di mata hukum. Kalimat sederhana dan abstrak ini dipercaya semua orang --bahwa hukum telah dan akan berlaku adil, seadil-adilnya. Tanpa ada alasan yang membuatnya berat sebelah. Dan atau mengacungkan pedang dan mengeksekusinya tanpa mengintip. Negara ini, mengacungkan diri dan memutuskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagai pembuktian akan keberanian itu, negara lalu mengilhami diri ke dalam empat hal. Yang pada pokoknya, dituangkan di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman; Bagian menimbang huruf a dalam KUHP; Pasal 3 ayat (2) UU HAM. Apa yang terjadi dari keberanian itu; negara mengalami kegamangan. Sebuah kegamangan yang pada faktanya diciptakan sendiri. Lalu, ditafsirkan sendiri-sendiri oleh pemerintah; polisi, jaksa dan hakim. Dalam tatanan demokrasi hari ini, kegamangan itu semakin menjadi-jadi. Di sisi lain, menghendaki kebebasan berbicara, tapi kemudian meminta kritik dengan sopan. Berangkat d

Don’t Stop Komandan

Gambar
  Hukum negara tanpa etika, apa bedanya dengan hukum rimba. Jika hukum telah menjadi arena rimba, maka hukum tidak lagi ber-asas pada keadilan. Hukum tidak ber-asas pada keadilan, maka hukum akan menjadi kekuatan kekuasaan dalam melakukan kesewenangan. "Korupsi bukan hanya persoalan hukum saja, tapi sudah masuk fenomena politik dan sosial" Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L.  Dalam perspektif awam, bagi saya hukum itu kejujuran. Jika dalam proses hukum, kepada siapapun, kejujuran harus menjadi pedangnya. Seorang filsuf moral dan politik Amerika, Profesor John Rawls, dalam bukunya A Theory Of Justice membuat kalimat sederhana tentang keadilan “tidak ada keadilan tanpa kejujuran”. Singkat, padat dan jelas. Dalam kasus Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang kini hangat diperbincangkan. Saya haanya ingin melihat dari kacamata awam tadi; kejujuran --saya ingin menghindari perdebatan kompleks-- soal politik atau kriminalisasi jelang pemilu. Karena itu, mari kita mulai dari perjalana

Sains, Kentut dan Tai

Gambar
www.klikdokter.com Kentut dan rasa malu. Dua hal yang tidak berhubungan. Tapi, kadang berdampak sosial lebih dari yang diperkirakan --sosiologi kadang memang membingungkan. Begitu juga dengan tai. Baik kentut maupun tai, sifatnya natural. Dan siapa yang mampu menolak yang natural itu. Jika pun ada, itu berarti Ia menolak dirinya sendiri. Pekan lalu, saya mengajar mata kuliah pengantar filsafat di UKI Toraja. Di awal perkuliahan, saya meminta kepada mahasiswa untuk menggunakan otaknya untuk berpikir. Saya mensyaratkan itu secara wajib. Pertama-tama, saya meminta mereka untuk kritis kepada diri meraka sendiri. Saya katakan, jika mereka tidak kritis kepada diri sendiri, maka akan sulit untuk belajar filsafat. Sebab dari berangkat kritis kepada diri sendiri maka akan bermuara pada mengenali diri sendiri. Saya kemudian memulai berbicara tentang kentut dan tai. Semua mahasiswa tertawa. Saya diam dan tidak menanggapi tawa mereka. Saya bertanya, kenapa tertawa? Apakah kentut dan tai itu se