Silau Bahaya Dentuman Korea

 


Saya lupa waktunya. Tapi, saya tidak akan pernah saya lupa topiknya. Seorang mahasiswa mengajukan sebuah proposal. Diajukan untuk mendapat pendanaan. Saya juga lupa; apakah mahasiswa itu berhasil atau tidak mendapatkan pendanaan. Judul proposal itu menarik. Kurang lebih begini; Belajar Budaya Tabe dalam Drama Korea.

Sejujurnya, saya tertegun. Lebih tepatnya kaget. Saya lalu mencari beberapa referensi tentang drama korea. Termasuk menonton salah satu diantaranya; tidak menghabiskan episodenya-- tidak sanggup. Saya beralih ke film. Beberapa saya nonton. Miracle in Cell No 7, Memories of Murder hingga Parasite.

Dan, ya secara faktual, budaya tabe dalam drama korea maupun dalam filmnya cukup kental. Seperti membungkuk ketika bertemu orang baru atau kepada orang yang lebih tua. Ini sebagai bentuk penghargaan, menghormati, dan tafsiran lain yang sejenis. Sekilas, sikap itu mirip dengan budaya tabe pada suku Bugis Makassar. Tidak salah.

Tapi soalnya kemudian, kenapa proposal itu tidak dilatarbelakangi dalam penggalian sejarah dan budaya. Kenapa mesti harus ke drama korea yang secara kultural sangat jauh berbeda. Lagian, budaya tabe ini ke-khasan kultural kita sebagai manusia Bugis Makassar; tidak ada sama sekali hubungan dengan Korea. Apalagi dramanya.

Ketika masih mengajar di UKI Toraja, salah seorang mahasiswa, saya identifikasi juga sangat suka drama korea. Ketika saya tanya pada satu kelas di mata kuliah yang saya ampu, ia terbuka mengakui itu. Dan diamini kemudian seluruh teman-temanya. Ia bilang menghabiskan banyak waktu untuk nonton Drama Korea sebagai hiburan.

Tidak sampai disitu, saya perhatikan dalam beberapa tahun, ia juga sangat up to date apapun tentang Korea. Mulai dari fashion, gaya rambut maupun aksesoris. Dan, Anda harus tahu bahwa mahasiswa ini merupakan laki-laki. Barangkali jika ia perempuan, saya sedikit memaklumi. Tapi, ini sedikit di luar dari apa yang saya pikirkan.

Survei GoodStats tahun 2022, sebesar 90% responden menghabiskan waktu luang menonton drama korea. Mayoritas responden itu merupakan perempuan yakni 68% dan 32% merupakan laki-laki. Saya kira, data ini menjawab kegagapan pada mahasiswa saya di UKI Toraja. Dilihat dari sektor umur produktif antara 20-29 tahun, penonton drama korea mencapai 44%. Mencengangkan bukan.

Rencana Matang

Gemerlap budaya pop Korea tidak lahir dari sihir; simsalabim. Tidak pula lahir hanya dari doa-doa dalam rumah ibadah. Budaya pop Korea lahir dari perencanaan yang sangat matang. Tidak ada bangsa yang merencanakan kegagalan, tapi sangat banyak bangsa yang gagal karena tidak melakukan perencanaan. Poin inilah yang dipahami oleh bangsa Korea.

Rencana pemerintah Korea itu muncul ketika mengalami keterpurukan --Profesor Gi-Wook Shin dari Stanford University menjelaskan detail itu dalam sebuah diskusi “The Future of Hallyu: Korean Cinema on the Global Stage” yang ditayangkan dikanal youtube Gita Wirjawan. Bermula ketika negara bekas kolonialisme Jepang ini dipimpin militer pada dekade 1980-an. Kemudian perang saudara yang amat menyakitkan. Menyebabkan warga Korea Selatan hidup dalam kemiskinan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tahun 1999, Asia mengalami krisis parah. Korea pun berutang ke IMF.

Tidak ingin berpasrah dan mengharap keajaiban Tuhan. Pemerintah Korea mulai sadar diri dengan melakukan perencaan yang matang. Presiden Korea, Kim Dae Jung merendahkan diri dan mengulur tangan untuk meminta bantuan. Maka dikumpulkanlah anak-anak Korea yang berbakat. Terutama dalam bidang public relation. Dan ting, muncul ide produksi budaya pop.

Budaya pop Korea ini disematkan dalam sejumlah produk. Seperti film, drama, K-Pop, hingga video game. Produk-produk itu tidak diproduksi untuk dalam negeri. Tapi, harus di bawa keluar. Artinya wajib dieskpor. Yusran Darmawan di blog Timur Angin, menuliskan pemerintah Korea bahkan mengucurkan sekitar 25% dari keseluruh modal perusahaan untuk diplomasi “penyeludupan” ke berbagai negara.

Tidak berhenti disitu, Korea terus bergerak maju. Satu hal yang sangat penting itu adalah kolaborasi. Tiap produk yang dihasilkan baik film, drama, K-Pop harus menampilkan produk Korea lain. Seperti handphone Samsung, Line, Hyundai dan LG. Beberapa produk andalan Korea Selatan diberbagai negara, termasuk Indonesia.

Saya mendapati tidak hanya satu video di youtube, K-Pop ternama menolak berfoto selfie kepada penggemar yang memakai handphone yang bukan Samsung. Bahkan, sangat tegas menolak. Begitu juga dalam drama korea. Line atau Hyundai seringkali diperkenalkan dan dipakai oleh para pemain.

Kata Einstein; hidup itu seperti bersepeda, untuk menjaga keseimbangan maka harus terus bergerak. Inilah yang diterapkan Korea Selatan. Setelah berhasil menghidupkan harga diri bangsa dari keterpurukan melalui budaya pop, kini mereka terus mengirim talenta-telenta mudanya belajar di luar negeri. Seperti Amerika maupun di negara-negara Eropa.

Data Open Doors tahun 2022, sebanyak 40.755 pelajar Korea Selatan yang belajar di Amerika Serikat. Mereka tersebar diberbagai universitas top. Sementara para pelajar Korea Selatan di Eropa sekitar 100.000-an yang tersebar diberbagai negara. Para pelajar diberikan dua misi khusus; memupuk dan mempertahankan budaya pop Korea dan menyerap ilmu sebaik-baiknya untuk dibawa kembali ke negara.

Professor Gi-Wook Shin bahkan mengakui jika negaranya terus berinvestasi Sumber Daya Manusia (SDM). Besaran anggarannya tidak main-main. “Kadang-kadang kami berlebihan mengeluarkan anggaran untuk investasi ini” kata Shin sambil tertawa. Langkah ini merupakan langkah cerdas untuk mengakali kekurangan secara geografi Korea yang kecil.

Silau Bahaya

Di sini; negeri besar dan kaya ini, kita terlampau silau dari kemilangan Korea Selatan. Akibatnya, kita mengorbitkan diri kita sendiri sebagai bangsa pasar. Tidak sedikit, bahkan, kita menjadi followers akut yang membahayakan diri sendiri dan orang sekitar. Coba tengok perdebatan fans K-Popers di media sosial misalnya. Mereka kadang-kadang lebih Korea dari orang Korea.

Saya secara pribadi tidak ada soal dengan K-Popers; siapapun orangnya dan apapun gendernya. Saya hanya mencoba belajar dari mereka bahwa rasa suka tanpa pikiran sehat kadang-kadang menyesatkan. Mengidolakan seseorang tentu tidaklah salah. Tapi merepresentasikan sang idola dengan sempurna tentu tidak bisa dibiarkan. Itu merusak.

Seperti cerita saya di awal misalnya, belajar tabe dari drama korea merupakan penempatan yang kurang tepat. Bahkan dapat saya katakan itu fatal. Apa yang menjadi tampilan dalam drama itu sebuah settingan. Jangankan itu, pakaian, latar, emosi tidak natural. Tampilan itu merupakan bagian dari perencanaan yang sudah disusun dan dikuatkan oleh karakter pemain.

Dalam buku The Birth of Korean Cool yang ditulis oleh Euny Hong, disebutkan bahwa pemerintah Korea melakukan sejumlah riset dan diserahkan kepada pelaku industri. Beberapa riset yang dilakukan itu yakni penyesuaian budaya dan kebiasaan negara yang akan ditarget pasar. Riset ini menjadi satu poin yang penting dalam mengukur keberhasilan.

Indonesia yang terkenal dengan keramah-tamahannya tentu masuk dalam riset itu. Maka ditampilkanlah pemain dengan kesopanan tinggi. Termasuk penghormatan kepada orang tua. Yang pada dasarnya, Korea memang kental dengan itu. Tapi siapa yang berpikir jika itu bisa jadi kekuatan? Ya hanya Korea. Negara timur tengah yang mayoritas muslim juga tidak luput. Misal, waktu penayangan disesuaikan agar tidak bersamaan dengan waktu sholat dan kebiasaan lain sebagainya.

Sementara untuk K-Pop, tiap pemain ditampilkan sebagai orang yang sempurna; baik perempuan maupun laki-laki. Laki-laki; kulit putih, hidung mancung, tinggi, badan atletis, polos dan santun. Perempuan; kulit putih, hidung mancung, seksi, tubuh ideal, tambut panjang; hasil operasi plastik. Intinya sempurna untuk ukuran eksistensi kapitalis.

Seluruh rancangan itu kadang tidak terpikirkan banyak orang. Termasuk dua cerita mahasiswa yang saya sampaikan sebelumnya. Para fans hanya melihat apa yang terlihat. Sulit untuk melihat dari kilauan semua itu. Jika diberikan pandangan alternatif, kadang-kadang dipandang sebagai lawan yang harus dihabisi.

Itulah yang dialami oleh Jurnalis Korea Park Hyo Sil. Hasil wawancara dalam film dokumenter Burning Sun yang dipublikasikan oleh BBC 19 Mei 2024, Park mengaku diteror para fans setelah mengeluarkan laporan tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh Jung Joon-young. Jung tidak sendiri, ada juga nama penyanyi K-Pop lain seperti Choi Jong Hoon.

Dalam film itu, Park diserang sebagai anti feminis. Hal ini tidak lain karena Jung ditampilkan sebagai lelaki yang sangat sempurna; sopan dan santun kepada fans yang kebanyakan adalah perempuan. Tidak sedikit juga para fans itu mendoakan Park mati. Rangkaian serangan para fans itu mulai dari komentar di media sosial, dikirim pesan melalui email hingga teror telfon tengah malam. Akibatnya, Park mengaku jatuh mental. Bahkan, mengalami keguguran sebanyak dua kali.

Laporan Park tentang pelecehan seksual itu mengalami jalan sulit. Termasuk diantaranya tantangan dari pihak kepolisian. Sebuah salinan mengenai percakapan Jung dan sejumlah videonya dalam aplikasi Kakao Talk tersebar. Jung lalu dijatuhi hukuman. Jung terbukti melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan di Burning Sun. Sebuah klub yang dibentuknya.

Simpulan

Keburukan selalu mengintai kebaikan. Jika kebaikan lengah sedikit saja, keburukan akan menjadi dominan. Lalu, bencana pada akhirnya akan tiba juga. Ini berlaku pada siapa pun. Tidak terkecuali, aktris, aktor, pejabat, pengusaha, akademis, orang biasa. Apalagi jika itu dimulai dari perencanaan untuk kapitalisasi, entah oleh negara maupun swasta.

Kecepatan informasi dalam era digital harus disyukuri sekaligus diwaspadai. Itu seperti pedang dengan bilah ganda. Jika tidak bijak, bilahnya akan menyerang dan menghancurkan diri kita sendiri sebagai pengguna. Keterbukaan informasi wajib disikapi dengan daya sadar dan daya nalar sehat, agar tidak mudah dimanipulatif.

Di luar dari daya silau itu, hal yang baik dapat kita pelajari yakni kebangkitan bangsa Korea tidak hadir begitu saja. Itu dimulai dari serangkaian rencana dan persiapan yang matang. Jika bangsa ini ingin menuju Indonesia Emas tahun 2045, maka perencanaan yang berbasis riset menjadi pilar penting. Catatanya, wajib keluar dari kepentingan politik. Itu yang pertama.

Kedua, investasi dibidang pendidikan. Perencanaan yang baik tidak akan penting jika pelaksananya tidak mumpuni. Pendidikan harus dibuat revolusioner dan jauh dari kapitalisasi. Salah satu langkah yang diambil yakni memberikan pendidikan seluasnya kepada anak-anak muda bertalenta. Termasuk diantaranya mengirim mereka belajar ke luar negeri. Agar kelak mampu melakukan brain drain kepada talenta muda selanjutnya di dalam negeri.

Komentar

  1. Sepakat. Jika kebaikan lengah untuk direncanakan, maka keburukan perlahan tapi pasti akan mendominasi generasi bangsa ini

    BalasHapus
  2. Butuh 220 tahun lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

W Super Club