Merefleksi Kembali Tujuan Pendidikan
Saya ingat betul ketika saya memilih penelitian kualitatif untuk tesis; banyak tantangan. Salah satunya, datang dari dosen sendiri. Penelitian kualitatif dipandang tidak kuat secara riset untuk tema tentang prodi yang saya ambil. Itu tidak soal; kupikir. Sebab, itu perspektif yang barangkali punya landasan berpikir sendiri.
Tapi, sejak itu pula, pikiran saya selalu bertanya. Apakah jenis penelitian yang agak asing atau kurang diminati dalam sebuah komunitas dapat dijadikan dasar bahwa hasil riset itu tidak kuat? Pertanyaan ini terus mengganggu saya. Tapi kemudian, beberapa literatur menyadarkan saya, bahwa hal yang semacam itu sangatlah kompleks.
Sebuah wawancara yang publikasikan oleh endgame; kanal youtube milik Gita Wirjawan, pada akhirnya menjawab pertanyaan itu. Yanuar Nugroho salah satu narasumbernya; seorang aktivis dan akademis yang disegani. Seorang birokrat sejati. Pernah menjabat Deputi II Kepala Staf Kepresidenan. Lalu kini Koordinator Tim Ahli di Sekretariat Nasional SDGs di (Bappenas).
Yanuar mengaku jika struktur pendidikan saat ini berbasis output; ini yang membelenggu sehingga tidak membebaskan. Karenanya, lebih penting melihat kuantitas infrastruktur dan kuatitas lulusan daripada kualitas proses. Kupikir, ini fakta dan realita yang kita lihat dalam pendidikan. Termasuk, apa yang saya alami di awal tulisan.
Teori sosial yang dikembangkan oleh Anthony Giddens menyebutkan, jika struktural dalam pemerintah itu harusnya memberikan porsi yang kuat pada agensi dalam sebuah konstruk yang terstrukturalisasi. Agensi yang dimaksud itu soal keberpihakan pada potensi bukan politis dalam mengisi ruang sturktural. Inilah soal kita dalam pendidikan.
***
Tanggal 2 Mei lalu, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Di kampus tempat saya mengajar, mengedarkan sebuah surat untuk melaksanakan upacara. Satu hal yang menarik adalah harus menggunakan pakaian adat. Memang benar Hardiknas perlu dirayakan. Dengan cara meriah atau paling unik sekalipun. Itu bukan soalnya.
Hanya saja, kemeriahan dan atau keunikan itu kadang membatasi pemaknaan akan Hardiknas. Bahwa setelah upacara itu selesai maka selesai pulalah perayaan Hardiknas itu. Apakah yang semacam ini yang kita inginkan? Tentu tidak. Sebab, itu hanya bagian kecil dari frasa perayaan Hardiknas itu.
Sebuah story WA perayaan Hardiknas oleh seorang teman. Dia membuat sebuah pertanyaan; saya lupa persisnya. Yang pasti bahwa, kalimat pertanyaan yang dituliskan itu tentang bagaimana mutu pendidikan hari ini. Saya mengomentari itu sambil bercermin, bahwa pendidikan hari ini tidak berkualitas; barangkali ini perdebatan. Tapi, jika kita ingin jujur maka itulah jawabannya.
Barangkali diantara Anda, akan menyebut bahwa pendidikan itu adalah tanggungjawab saya sebagai seorang guru. Maka sudah seharusnya saya melakukan yang terbaik. Itu sudah tepat dan tidak salah. Tapi, perlu kita tahu bahwa pendidikan itu bukan soal sekolah maupun lembaga pendidikan dan segala perangkatnya. Pikiran ini sangat kuno dan tidak relevan lagi.
Selain masalah struktural dan perayaan Hardiknas yang membutakan itu, soal lain dari pendidikan adalah mindset masyarakat. Seringkali kita mendengar atau bahkan sebagai pelaku, bahwa pendidikan dan kesejahteraan adalah sebuah garis lurus; jika ingin mendapat pekerjaan yang baik (baca: punya rumah, punya mobil, dll) maka harus berpendidikan. Ini adalah pikiran toxic.
Pikiran yang semacam ini, membuat pendidikan sebagai sebuah ruang yang sempit. Pendidikan tidak lagi sebagai ruang yang bebas dalam penggunaan akal sehat. Jadilah pendidikan itu sebagai ladang kapitalis. Hanya, sebagai gerbang mencari pekerjaan. Atau dengan bahasa lainnya, kampus atau sekolah seperti rasa pabrik yang menghasilkan para pencari kerja.
***
Dengan begitu kompleksnya masalah pendidikan. Maka penyelesaiannya tidak dapat diberikan kepada satu orang, satu lembaga/instansi, satu komunitas, atau satu gerakan. Masalah pendidikan adalah soal kita bersama. Keberanian mengambil peran ini diperlukan. Jika dalam UUD 1945 menyebut pendidikan hak semua warga maka penyelesaian pendidikan juga demikian; semua warga.
Pertama, para pemimpin baik di pemerintah, swasta maupun politik memberikan porsi yang kuat dalam strukturalisasi lembaga pendidikan seperti teori Anthony Giddens. Harus ada kesadaran jangka panjang bahwa pendidikan ini adalah outcome masa depan bangsa dan negara. Karena itu, kepemimpinan dan strukturalisasi pendidikan harus dijauhkan dari kepentingan politik.
Jika tidak demikian, maka situasi dan kondisi pendidikan tidak akan terselesaikan. Data dan fakta yang kita lihat dan saksikan hari ini akan terus menerus berulang. Kita akan terus terkungkung oleh sistem yang sebenarnya kita buat dan laksanakan sendiri. Pada akhirnya, kebodohan itu akan terus memakan korban dari tubuh kita sendiri.
Kedua, perayaan pendidikan harus dilakukan dengan memberikan kebebasan pada pendidikan, yakni penggunaan akal sehat; metode, strategi, media dan ruang yang dipakai dalam pendidikan, sepanjang itu memberikan dampak positif terutama dalam menumbuhkan critical thingking, maka berikan. Dengan critical thingking, tiap insan dalam pendidikan akan bertumbuh baik.
Apapun itu, yang mengedepankan glorifikasi terutama dalam pendidikan, itu sangatlah merusak. Sebab glorifikasi hanya akan menumbuhkan patronisme yang akut. Pendidikan memang akan tumbuh tapi juga dapat dikatakan tidak sama sekali. Alasannya, patronisme ini akan mengotrol tiap tumbuh kembangnya pendidikan. Jika arahnya tidak sesuai dengan patron itu maka akan dihentikan.
Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam pendidikan sangat minim. Masyarakat, terutama keluarga sangatlah penting perannya dalam pendidikan. Saya ingat pengalaman seorang kawan yang menjaga Kawasan Karst Maros dari penambangan. Lawan utamanya adalah masyarakat dan keluarga sendiri. Ini semacam percikan bahwa kesadaran kolektif akan pendidikan sangat diperlukan.
Dalam perjalanannya, Kawasan Karst Maros ini tidak jadi ditambang. Lalu, kini menjadi destinasi wisata unggulan di Sulawesi Selatan. Masyarakat kemudian tersadarkan sendiri dan terlibat secara penuh disitu. Begitu pula dengan pemerintah. Akhirnya, kolaborasi antara individu, masyarakat dan pemerintah menghasilkan sebuah monumental yakni Geopark Maros-Pangkep yang diakui UNESCO.
Masyarakat yang terlibat secara aktif dalam pendidikan juga dapat mempengaruhi pikiran toxic tentang pendidikan. Terutama mengenai tegak lurusnya pendidikan dengan kesejahteraan. Pendidikan adalah cara memperkaya pikiran yang sehat, itu tujuan utamanya. Sementara, kesejahteraan adalah hasil kejelian dari pikiran yang sehat, itu hasilnya.
Keempat, perbaikan data pendidikan. Data yang dimaksud adalah data mengenai tiap individu siswa. Perbaikan terhadap data ini tidak dapat dilakukan dengan membalikkan telapak tangan. Apalagi dengan kompleksnya latar sosial, agama, minat, hobi, kebiasaan, kecenderungan, kesukaan, ketidaksukaan, dan lain-lain ini adalah sesuatu yang sangat rumit.
Tapi, apakah itu tidak mungkin? Tidak juga. Hanya diperlukan kecukupan dan keseriusan untuk menangani soal ini. Satu hal yang dapat dilakukan adalah melakukan digitalisasi. Kenapa misalnya media sosial atau market place tahu apa kecenderungan user, jawabannya yakni data alogaritma. Kupikir, tidak ada salahnya men-copy itu dalam memperbaiki data pendidikan.
Data ini sangat penting karena terkait dengan perencanaan terhadap siswa. Data ini akan menggambarkan bagaimana siswa memiliki kecenderungan terhadap satu hal atau bidang. Sehingga pendidik, lembaga pendidikan, dan pemerintah maupun swasta dapat dengan mudah mengidentifikasi talenta-talenta tiap anak. Ini juga mengurangi resiko pemaksaan dalam belajar.
Terakhir, kelima; para pendidik dan kaum terdidik wajib long life education. Pendidikan sepanjang hayat ini adalah upaya meretas kesombongan. Contoh yang paling sederhananya; sarjana pertanian tidak mau jadi petani. Bagi saya, ini adalah penyakit yang musti kita keluarkan dari diri kita. Terutama anak-anak muda.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, jumlah petani di Indonesia terus menurun. Salah satu faktor turunnya angka petani karena anak-anak muda malu bertani. Padahal, para petani ini sangat krusial perannya sebagai ujung tombak penyediaan pangan warga negara. Catatannya, ini di luar soal lain tentang pertanian.
Contoh lain, seringkali kita dengar dari kalangan akademis sendiri, bahwa belajar itu tidak mesti susah-susah. Ini pernah saya alami sendiri --suatu ketika di kampus, saya menghubungi seorang kawan, yang bahasa kesehariannya jago bahasa Inggris. Keinginan itu lalu diketahui oleh dosen yang lain, kemudian saya “diejek” sebagai seseorang yang selalu ingin terdepan.
Kesadaran akan long life education, akan berdampak pada keikhlasan anak muda untuk bertani tumbuh cukup kuat. Sementara, para akademisi dengan sendirinya akan terus mengosongkan diri akan haus akan pengetahuan. Jika seluruh dosen sekitar 320.000 dan guru sekitar 3,4 juta mampu menguasai bahasa inggris. Betapa dahsyat dampaknya.
Jika ditotal, jumlah guru dan dosen maka ada sekitar 3,72 juta. Bayangkan, tiap 10 dari dosen dan guru mampu mengajarkan keterbukaan ilmu pengetahuan, mengedepankan akal sehat dengan terbukanya kran ilmu dari berbagai sumber, kepada satu murid per tahun. Maka akan tersedia sumber daya manusia berkualitas dengan penguasaan Bahasa inggris sekitar 372.000 talenta.
Mari
kita hitung Indonesia Emas dari sekarang; masih ada waktu 21 tahun. Jika masa
waktu itu, kita hitung dengan jumlah manusia Indonesia bertalenta tadi, maka
akan tersedia sekitar 7.812.000 manusia Indonesia yang berkualitas dan siap
menghadapi segala macam tantangan bangsa dan negara ini ke depan.
Luar biasa pak sofyan
BalasHapus