Menghidupkan Kembali Tallo
Sebulan lalu; mungkin lebih, saya dihubungi teman --Ferdy. Seorang kawan yang bersahaja dan kawan berdebat yang elegan. Pertemuan saya dengan Ferdy murni karena kebetulan sekitar tahun 2016. Sebenarnya, saya kadang tidak sepakat dengan kata “kebetulan”. Tapi, dalam konteks tertentu kata itu dapat mewakili sebuah peristiwa yang sangat sulit dijelaskan.
Ketika itu, komunitas yang baru dibentuk Ferdy; Ruang Abstrak Literasi, butuh donasi buku. Nantinya, akan disalurkan ke anak-anak pesisir di Tallo. Saya kemudian terlibat menyalurkan beberapa buku. Termasuk yang saya dapat berbagai teman lintas komunitas. Dan itu terus berlanjut hingga covid datang; program lalu jadi tidak teratur. Juga beberapa kawan yang terlibat tidak aktif.
Ferdy mengaku sedang mengajukan proposal kegiatan di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Saya tentu menyambut baik itu. Apalagi, rencana lokasi dan tema yang diangkat sangat representatif; sejarah Tallo. Sebuah tema yang seringkali saya diskusikan dengan Ferdy. Dan satu hal kesepakatan saya dengan Ferdy tentang Tallo --dilupakan. Atau bisa juga sengaja dilupakan.
Syukurnya, proposal itu di-approve Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Proposal yang diajukan Ferdy itu sangat kuat. Makanya, sebelum ada pengumuman, saya sampaikan ke Ferdy jika saya yakin itu akan diterima. Lagian, tema yang diangkat sangat menarik; Pertunjukan Muara Sungai, Laut dan Tallo Bersejarah.
Untuk membahas secara teknis, saya bertemu Ferdy. Lalu, kami kembali mengais-ngais data tentang Tallo dari berbagai platform. Termasuk, Ferdy melakukan penelusuran jejak Tallo di Universitas Leiden. Saya sendiri, menggali narasi Tallo melalui beberapa tokoh. Saya bertemu dengan warga Tallo; bercengkrama dan berdiskusi tentang ingatan kolektif mereka.
Saya juga bertemu dengan tokoh adat, termasuk diantaranya para penggerak Gau’ Maraja melalui Perwira. Diantaranya, ada Kak Andi Dahrul. Kak Andi Dahrul sebenarnya sudah sejak lama saya berkenalan. Beberapa kali pula kami terlibat diskusi tentang sejarah, budaya dan adat Sulawesi. Terutama mengenai Bone dan sejarah Arung Palakka. Ini unik, karena Kak Andi Dahrul ini tidak ada latar belakang itu. Sama pula dengan saya. Kami hanya punya kesamaan; kepeduliaan.
Melalui kegiatan yang dirancang Ferdy di Tallo, saya intens diskusi dengan Kak Andi Dahrul. Bahkan, kami diundang khusus kegiatan Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (Perwira) yakni dikusi dengan Prof. Campbell Macknight. Disitu juga saya bertemu Prof. Prof. Muhlis Hadrawi, S.S., M.Hum. Akademisi Universitas Hasanuddin yang konsen pada sejarah, adat dan budaya Sulawesi Selatan.
Sungguh ajaib rasanya. Tidak ada rencana tapi ditakdirkan bertemu dengan orang-orang hebat yang punya kepedulian pada Tallo. Karena itu pula, saya dan Ferdy begitu menyambut gembira kabar-kabar baik ini, dengan menyambut baik ide-ide yang diberikan Prof. Muhlis. Pada kesempatan itu pula, kami menawarkan jika Prof. Muhlis akan menjadi bagian dari diskusi publik. Dan kami deal.
Dinamika yang tidak kalah uniknya, ketika kami mendorong keterlibatan warga pada kegiatan. Keterlibatan warga kami nilai sebagai senjata pamungkas. Sebab Tallo, sejarah dan budayanya adalah milik warga. Saya dan Ferdy hanya pemicu saja. Selanjutnya, warga yang akan memberdayakan diri mereka sendiri. Maka posisi warga sangat krusial.
Awal Juni lalu, ketika pertama kali ke Tallo untuk mengutarakan niat baik kami. Beberapa warga mengaku tidak ingin ambil bagian. Saya tahu alasannya; ketidakpercayaan diri. Selain itu, psikologi warga terhadap sebuah kegiatan kebudayaan, terutama yang dilaksanakan oleh pemerintah, hanya dipandang sebagai objek. Padahal mereka harusnya subjek.
Syukurnya, beberapa warga Tallo telah kami kenal dengan baik. Karena, saya dan Ferdy tidak sekali dua kali ke Tallo. Kami berdua sudah beraktivitas lama; sekitar tahun 2017. Dari beberapa kenalan itulah, kami membangun hubungan emosional. Kami jelaskan dengan kalimat sederhana agar dapat diterima dengan baik.
Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, warga mulai memberikan kepercayaan. Salah satunya, mendorong anggota keluarga mereka untuk terlibat. Bahkan, beberapa warga menawarkan diri untuk terlibat. Dan kami sambut baik niat itu. Bahwa komitmen saya dan Ferdy memang demikian. Warga adalah pelaku utama dalam kegiatan.
Akhir Juni, keterlibatan warga dalam kepanitian dan berbagai kegiatan semakin baik. Bahkan, saya dan Ferdy cukup terharu, sebab kami menemukan salah satu maestro Pa'raga di Tallo. Namanya Pak Kahar. Bola takraw khas Makassar seperti lengket di kakinya. Beberapa orang menikmati permainan Pak Kahar.
Tidak hanya satu trik dimainkan; ada banyak. Mulai dari kaki, lutut, tangan, dada hingga kepala. Sesekali mempertontonkan trik yang sangat sulit. Bola takraw di juggling di kaki kiri, dioper ke belakang badan, lalu ditangkap dengan kaki kanan, sambil melompat. Bola takraw lalu sampai di kepala. Trik itu membuat penonton girang dan bersorak.
Dulu, sekitar tahun 2020, saya tidak sengaja memotret kegiatan Pak Kahar dan murid-muridnya berlatih di dekat Makam Raja-raja Tallo. “Itu dulu” kata Pak Kahar. “Sekarang mereka ini sudah tidak ada, bubar sejak akhir 2020” lanjutnya. Saya tertegun mendengar cerita itu. “Anak-anak sekarang susah untuk melestarikan budaya, karena mereka lebih tertarik dengan yang menghasilkan uang” kata Pak Kahar lagi sambil senyum.
Ferdy mencoba meredam kegetiran itu dengan menjelaskan kepada Pak Kahar jika ingin dilibatkan dalam kegiatan. “Saya bisa main musik, bisa juga jadi Pa’raga. Tentukan meq saya main apa” kata Pak Kahar antusias. Kami lalu ajak Pak Kahar diskusi intens. Termasuk, kami memfasilitasi Pak Kahar untuk datang ke Dinas Kebudayaan Kota Makassar, pada pekan selanjutnya.
Kami harap, orang seperti Pak Kahar diberdayakan dan diberi ruang. Pak Kahar ini adalah penjaga warisan kebudayaan. Gayung bersambut, Ibu Ajeng; salah satu pegawai di Dinas Kebudayaan menyambut baik. Bahkan, langsung melibatkan Pak Kahar pada kegiatan kami di Tallo. Sungguh ini adalah kabar baik selanjutnya.
Tidak hanya Pak Kahar, warga lain juga menawarkan diri terlibat aktif. Ada yang siap tampil sebagai dengan kelompok Pammanca-nya, para ibu-ibu mau Qasidah, beberapa anak binaan kami sejak tahun 2018 di Tallo juga tidak ingin ketinggalan. Ada yang menari 4 etnis hingga tampil membaca puisi. Sungguh nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Sementara untuk teknis lokasi kegiatan dan panggung, Kak Wardi siap membantu. Kak Wardi ini sudah seperti sodara buat saya dan Ferdy. Alena Blio ini yang pertama kali mengulurkan tangan ketika saya, Ferdy dan teman-teman yang lain akan berkegiatan di Tallo tahun 2017 silam. Tidak hanya itu, sound sistem acara nanti juga dibantu Kak Wardi. Sungguh luar biasa.
Pekan lalu, saya bertemu Ferdy. Ada beberapa teknis kegiatan yang kami diskusikan. Termasuk, kami juga berdiskusi tentang beberapa cerita di luar mengenai kegiatan yang kami akan laksanakan ini. Kata Ferdy, ada beberapa kawan mengakui jika kegiatan ini mustahil dilaksanakan. Apalagi, dengan anggaran yang sangat minim. Kami tentu saja tertawa.
Sejujurnya, harus kami akui kegiatan ini tidak jalan tanpa kolaborasi. Ya, tidak salah jika ada yang menilai kegiatan mustahil dilaksanakan. Tapi, bagi saya dan Ferdy sesuatu yang mustahil itu belum bisa dikatakan mustahil jika belum diselami. Kadang-kadang memang, nikmat itu tiba tidak dalam bentuk materi, melainkan ia hadir dalam wujud lain seperti kepercayaan diri warga untuk saling sokong. Ini agak klise tapi itu fakta yang sulit pula dibantah.
Jika kesadaran kolektif warga bertumbuh. Saya yakin seyakin-yakinnya, sejarah keemasan Tallo dimasa lalu, akan bangkit dari tidurnya. Tidak hanya itu, tiap-tiap dari warga akan dengan bangga menyebut dirinya Tallo, yang secara adat dan budaya kuat. Tidak seperti sekarang dimana Tallo hanya dipandang sebagai wilayah administratif; kecamatan dan kelurahan.
Pada akhirnya, Kota Makassar yang hari ini seperti kehilangan identitas, akan diselamatkan oleh Tallo. Tallo dimasa silam merupakan kerajaan dengan pelabuhan niaga di muara Sungai Tallo. Kerajaan Tallo memandang laut sebagai jalur penting dengan melakukan kontak dengan wilayah barat nusantara dan Asia Tenggara. Catatan Pelras kemudian mempertegas ini.
Selain itu, Tallo juga merupakan awal mula proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Salah satu versi cerita rakyat bahwa kedatangan Datuk ri Bandang di Pelabuhan Tallo dengan perahu ajaib tahun 1605. Ketika itu, Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka hendak menemui Datuk ri Bandang, ia diceritakan bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W.
Dalam catatan Sewang tahun 2005, pertemuan itu dalam bahasa Makassar disebut Makkasara’mi Nabbi Muhammad ri Buttaya ri Tallo. Beberapa masyarakat kemudian meyakini, jika kata “Makkasara” itu awal mula penyebutan nama Kota Makassar. Meski dalam beberapa literatur, pandangan itu tidak satu. Ada versi lain yang menolak. Tapi, apapun itu, cerita ini sangat menarik.
Selain itu, Tallo tidak juga dapat dilepaskan dari nama cendikiawan nusantara, Karaeng Pattingalloang. Raja Tallo sekaligus Mangkubumi kerajaan kembar Gowa-Tallo ini adalah tokoh yang sangat dihormati. Karaeng Pattingalloang sangat cinta akan ilmu pengetahuan. Memiliki perpustakaan yang sangat mahsyur dan besar. Punya andil besar terhadap pluralisme dan kemajuan Makassar abad ke-17.
Karena
itu, kebangkitan Tallo melalui tumbuhnya kesadaran warga untuk menjaga
warisannya yang saat ini seperti diabaikan di Tallo, akan lebih menguatkan narasi
Kota Makassar menuju Kota Dunia. Bahwa Tallo dan sejarahnya adalah ikatan yang
tidak terpisahkan dari Kota Makassar. Sehingga tidak ada lagi narasi jika Tallo
itu hanya wilayah administrasi di Kota Makassar, yang kumuh dan kotor.
#akumencintaimu
rekaman proses berkegiatan dengan menggalang partisipasi warga "tdk dgn mobilisasi" tp membangun kesadaran warga merupakan sisi lain kesuksesan kegiatan "agenda pertunjukan" yg tak kalah menariknya. Karena itulah sesungguhnya pertunjukan yg paling esensial,....dan biasanya proses interaksi spt ini sbg awal terbangunnya hub kedekatan emosional yg kuat dan bersifat langgen. Kata bahasa iklan mau berkegiatan apa saja selanjutnya "terserah anda" semua akan dgn mudah.
BalasHapus