Pendidikan dan Kesadaran Bernegara
Dalam sebuah
tulisan saya pada latar belakang untuk tugas akhir di kampus, saya menuliskan
bahwa pendidikan adalah hal yang urgent dalam sebuah negara (baca: rakyat dan
pejabat). Kupikir, hal hanya sebagai simpulan saya sebagaimana dalam pasal 31
Undang Undang Dasar 1945.
Oleh karenanya,
dalam tatanan kritis dasar penulisan tugas akhir itu untuk mengingatkan kepada
negara bahwa ada sebuah kewajiban yang tertuang dalam konstitusi terutama hak
warga negara dalam mengakses pendidikan. Karenanya, hal ini jangan dibuat
ambigu.
Meski pada
pelaksanaannya, pendidikan diperhadapkan pada sejumlah masalah yang krusial dan
kompleks seperti daerah terpencil di tengah hutan atau disebuah lembah
pegunungan seperti yang terjadi di Papua, maupun yang terkait dengan kepulauan
yang terbentang jauh dan banyak.
Akan tetapi,
hal ini perlu dimaknai secara tidak serampangan. Bahwa hal ini membuat
pemerataan pendidikan itu menjadi sulit-- ya tentu saja. Tapi tidak perlu
melakukan manuver untuk menjustifikasi bahwa hal itu tidak dapat diselesaikan.
Sebab itu adalah sebuah kesalahan dalam berpikir.
Pelaksanaan
pendidikan yang berorientasi terhadap rakyat tentu saja itu sudah kewajiban.
Apalagi hal itu dijelaskan secara lugas dan tegas dalam konstitusi negara.
Sebab kemudian pelanjut estafet dalam pemegang kekuasaan negara ke depan berada
di tangan para generasi muda.
Karenanya,
program merdeka belajar yang digagas oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu
hal yang luar biasa. Ini penting untuk menumbuhkan sikap kritis siswa dan
mahasiswa di sekolah dan di kampus. Apalagi, para pendiri bangsa ini juga lahir
dari cara dan metode merdeka belajar itu juga.
Namun,
pertanyaannya kemudian, apakah cukup jika siswa dan mahasiswa sebagai warga
negara (baca: rakyat) saja yang belajar? Apakah pemerintah (baca: pejabat)
tidak perlu untuk belajar? Apakah dengan gelar akademik para pejabat itu sudah
cukup? Tentu ini adalah pertanyaan yang sedikit nakal tapi lahir dari nalar
kritis.
Karena itu, mari
kita skeptis tentang hal ini. Apakah misalnya dengan gelar prof atau phd atau
gelar akademik lainnya itu menjamin penyelenggaraan negara akan baik? Kupikir
itu juga belum menjamin. Maka dari itu, saya kira pemerintah atau negara juga
harus belajar.
Pemerintah atau
negara tidak boleh hanya berpangku tangan. Apalagi hanya memerintah tanpa
mempertimbangkan secara baik dan matang tentang program dalam kegiatan
pemerintahan. Ini penting untuk diingatkan. Pemerintah juga merefleksi diri
dari, mulai Presiden sampai Ketua RT.
Bahwa
menyiapkan anak didik untuk siap bersaing dalam dunia industri itu tidak salah
tapi menyiapkan anak didik untuk siap berkolaborasi dalam membangun iklim industry,
itu yang paling penting. Kupikir hal ini perlu dicatat dengan baik.
Sebab jika
hanya bersaing, anak didik akan saling curiga, dengki, iri bahkan saling bunuh
tapi jika dengan menyiapkan anak didik untuk kolaborasi maka segala hal dapat
dilakukan. Termasuk membangun negara yang mandiri, sejahtera dan disegani dunia
internasional.
Oleh karena
itu, orientasi pemerintah dalam bidang pendidikan harus dicermati secara baik
dan mendalam. Merdeka belajar itu sudah baik tapi jangan dibawah pada ranah
untuk pemenuhan industri sebab industri arahnya hanya satu yakni kapitalisme
(baca: bayar pendidikan pakai go pay). Ini telah saya singgung dalam tulisan
sebelumnya.
Atas dasar
inilah, di awal tulisan ini saya mempertanyakan peran dan posisi pemerintah
(baca: pejabat) agar memprogramkan diri untuk wajib belajar. Pertanyaannya
adalah dengan apa dan bagaimana pemerintah belajar. Maka hanya satu jawabannya
yakni terkait revolusi berbagai negara di dunia.
Revolusi
berbagai negara di dunia harus menjadi kajian dan acuan untuk mengembangkan
arah pendidikan ke depan. Lihatlah misalnya Amerika sebagai negara super power
yang dengan kecanggihan teknologinya yang dijual kemana-mana dan menghasilkan
dollar tanpa batas. Kalau di Indonesia orang cerdasnya malah keluar. Lucu kan.
Lihat juga
gerakan radikal Inggris yang keluar dari Uni Eropa yang dikenal dengan nama
Brexit. Tentu Inggris punya pertimbangan kenapa harus keluar dari Uni Eropa.
Ini penting untuk dikaji secara mendalam. Jangan istilah itu kemudian pakai hanya
karena viral dan terkenal maka dibuatlah istilah Berxit untuk singkatan dari
Brebes Exit. Hahaha
Atau Arab Saudi
berubah dari negara penghasil minyak ke negara jasa. Karena menyadari bahwa
persediaan minyak mereka akan habis pada tahun-tahun mendatang maka dirubahlah
orientasi ke negara jasa karena sadar bahwa negaranya akan dikunjungi setiap
tahun dari masyarakat internasional termasuk dari Indonesia. Dan kita malah
sibuk memaki dengan unta gurun dan lain-lain.
Dan atau ini
yang paling miris tentang negara yang bernama Nauru, sebuah negara kepulauan
yang sangat kaya raya sekitar tahun 90-an tapi kemudian bangkrut dan menjadi
salah satu negara termiskin dan tergantung dengan Australia dan New Zealand
karena cadangan fosfatnya telah habis ditambang.
Oleh karenanya,
negara dan bangsa ini harus menyadari dirinya sendiri. Bahwa perbedaan dari
Aceh sampai Papua itu memang ada dan pasti. Tapi apakah itu sebuah kelemahan?
Kupikir bukan tapi itu adalah sebuah kekuatan. Sebab di negara mana di dunia
ini yang bisa ber-bhineka tunggal ika selain Indonesia.
Dan penyadaran
itu harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan yang tidak hanya berorientasi
pada industri semata tapi juga berorientasi kepada penerimaan perbedaan secara
kemanusiaan dalam ilmu sejarah, sosial, budaya, dana lain-lain. Sehingga
identitas yang ada saat ini tidak boleh dihilangkan apalagi dimatikan.
Tapi faktanya,
penulis dan peneliti sejarah saja sulit ditemukan di negara kita. Malah
peneliti dari luar atau dari negara lain yang banyak melakukan kajian sejarah
di Indonesia. Bukti lain misalkan tentang kajian La Galigo di Sulsel yang
terkenal secara internasional bukan karena orang Makassar. Kan miris.
Jika begini,
biasanya ada lagi pertanyaan, dengan cara atau metode pendidikan yang bagaimana
hal ini dapat diwujudkan karena negara ini besar, bentuk kepulauan, banyak
daerah terpencil dan lain-lain? Maka, jawabannya hanya satu yakni pendidikan
alternatif yang tidak fokus pada cara, metode, strategi, teknologi, apalagi
hasil berupa angka dan nilai tapi fokus pada kebutuhan anak didik,
desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara.
Tapi lagi-lagi
semua ini bergantung pada rakyat yang terus belajar dan negara yang selalu
belajar. Apalagi perubahan terus terjadi. Karena menurut orang bijak, hanya
perubahan itulah yang abadi.
#akumencintaimu.
Komentar
Posting Komentar