Pendekar Hukum Baharuddin Lopa

Menghukum dalam hukum adalah ketidakberhasilan hukum. Tapi inilah yang terjadi. Kupikir ini sebagai narasi yang pas untuk kondisi hari ini. Yah begitulah, situasi dan kondisi pada negara hukum hari ini. Kita selalu menekankan agar hukum berhasil menghukum. Tapi kita cukup sulit atau bahkan sangat sulit menemui hukum memberikan kesadaran hukum.

 

Mungkin saja, ini adalah bagian dari maksud Adnan Buyung Nasution dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Apalagi dalam bukunya Demokrasi Konstitusional. Di dalam buku itu, Adnan sangat gamblang membicarakan bagaimana negara demokrasi seharusnya bekerja. Terutama dalam hal penegakan hukum berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Karenanya demokrasi hanya sebuah utopia jika penegakan hukum terabaikan. Sebab instrumen yang sangat penting dalam demokrasi itu adalah penegakan hukum yang jujur dan adil. Seharusnya, hukum harus terjaga moralnya agar memicu pengetahuan kesadaran dan pengakuan. Karenanya, jika kita berkaca hari ini, maka tidak salahlah situasi hari ini.

 

Ide tentang negara yang sesuai lima sila dalam Pancasila tetaplah ilusi. Cita-cita luhur demokrasi pada reformasi 1998 mengendap pada pikiran-pikiran feodalisme. Ketidakjujuran ada dimana-mana. Membisik-bisik di telinga penguasa dan para pejabat negara. Data-data dipreteli agar dalam satu frame presisi dengan senyum tuan. Koreksi jauh terbuang bersama comberan.

 

Bahkan, harmonisasi antar instansi tak seirama, saling tentang. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak sejalan dengan Kejaksaan Agung. Sehari lalu Kompas memberitakan itu. Kemudian, hari ini Kajaksaan Agung berjanji akan bergerak untuk melakukan penangkapan. Tapi apa boleh buat, kita tidak ada pilihan lain selain percaya.

 

Walau pada dasarnya, kepercayaan itu kita harus siap-siap kecewa. Sebab kita tahu bahwa kasus perkara pengalihan hak tagih utang Bank Bali yang menyeret Joko Tjandra sejak 2009 lalu. Tapi kemudian hari ini Kejaksaan Agung mengumbar janji lagi. Itu baru satu kasus, belum lagi kasus yang lain. Misalnya kasus Honggo Wendratmo yang tahun lalu kedapatan sedang ngopi di Singapura.

 

Atau yang terbaru misalnya kasus Harun Masiku yang hingga hari ini tidak jelas keberadaannya. Juga tentang kasus Novel Baswedan yang seperti drama hingga penuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) satu tahun penjara karena alasan tidak sengaja. Kupikir ini adalah deretan contoh bagaimana kita harus skeptis kepada lembaga yudikatif di negara ini.

 

Jika ingin menelusuri sejarah, ketika Montesquieu mengajarkan trias politika yang kini dianut negara ini, maka point penting dari ketiga lembaga itu ada pada yudikatif. Sebab pada lembaga yudikatif inilah ada fungsi kontrol. Sehingga ketika lembaga ini rusak, maka rusaklah seluruh lembaga lain. Sebab fungsi kontrol menjadi tidak terkendali.

 

Instrumen paling penting dalam lembaga yudikatif yakni kejujuran. Karena, tidak ada keadilan tanpa kejujuran. Bung Hatta bahkan sangat menekankan terkait kejujuran ini dengan sebuah kalimat yang sangat terkenal "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki".

 

Dan ketika berbicara tentang sosok yang menjunjung tinggi kejujuran dalam lembaga yudikatif, maka satu nama yang tidak bisa saya lepaskan yakni Baharuddin Lopa. Dalam beberapa cerita dan literatur, Lopa adalah sosok yang jujur dan berintergritas. Bahkan, pernah membeli sebuah mobil Kijang Toyota dengan cara dicicil. Sebuah sikap yang tentu mengindikasikan moral pengetahuan tinggi.

 

Bahkan, ketika baru diangkat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulawesi Selatan, Lopa mengingatkan publik melalui surat kabar untuk tidak memberikan uang kepada para jaksa. "Jangan coba-coba menyuap para penegak hukum, apapun alasannya” tegas Lopa. Bahkan, ketegasan dan kejujurannya pernah menyasar anaknya sendiri.

 

Andai saja, Lopa itu masih hidup dan tidak secara misterius meninggal pada 3 Juli 2001, ketika menjalankan umroh di Arab Saudi. Mungkin saja, orang pertama yang akan saya kunjungi untuk berkonsultasi terkait sejumlah kasus yang ditangani Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) adalah Lopa.

 

Sebab baru saja, seorang Ibu menelfon saya pada malam ini. Suaranya parau dan mengaku baru saja menangis karena mendengar anaknya akan diadili atas kasusnya sangat tidak jelas. Anaknya seorang jurnalis yang bertugas menulis berita. Tapi kemudian dikebiri secara hukum. Dipenjara selama 36 hari di Mapolda Sulsel kemudian ditangguhkan pada 6 Maret 2020.

 

Dua hari lalu, kabar tentang kasus ini kembali menguat. Informasi yang KPJKB dapatkan, kasusnya kini dilimpahkan ke Kejati Sulsel. Hal inilah yang membuat Ibu itu menangis. Ia takut anaknya kembali diterungku. Apalagi, anaknya itu kini seorang Bapak dari dua orang anak yang masih kecil. Mereka tentu tidak tahu apa-apa.

 

Kupikir dari sinilah kita melihat secara terang benderang kondisi hukum pada negara antah berantah ini. Ketidakjujuran penanganan kasus ini tentu sangatlah dapat kita nilai. Bahwa seorang jurnalis itu telah jelas dan terang dalam undang undang nomor 40 tahun 1999. Bahwa dalam proses penanganan hukumnya berbeda dari penanganan kasus hukum yang lain. Tapi faktanya itu tidak dilakukan.

 

 

Ini hanya contoh dari sekian banyak kasus hukum yang bermasalah. Dan sepatutnya para penegak hukum itu mengilhami filsafat hukum itu sendiri. Terutama menggali bagaimana Lopa berdiri pada hukum. Sebab banyaknya orang dipenjara karena hukum itu bukanlah keberhasilan hukum. Tapi keteraturan, kesadaran, dan kejujuranlah muara hukum yang sesungguhnya.

 

#akumencintaimu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya