Eksistensi Benda dan Kebebasan Berpikir
Lagi-lagi manusia. Iya lagi-lagi manusia yang menjadi segala sumber
segala sesuatu. Dalam keterangannya sebagai kebebasan berpikir, manusia
melahirkan pemberontakan sekaligus penghancuran pada keadaan-keadaan hari ini.
Entah sampai kapan, padahal kebebasan berpikir pada dasarnya berujung
pada kesadaran. Akan tetapi, tidak semua manusia menemukan itu. Tidak semua
manusia mencapai dalamnya kedalaman itu. Sekali lagi, tidak semua. Sebab itu
adalah kompleksitas yang butuh perenungan ke dalam diri.
Kebebasan berpikir pada umumnya hari ini hanya melahirkan
eksistensialis seperti yang diperingatkan oleh Jean Paul Sartre, seroang
pernulis dan peraih nobel sastra (1964) Prancis. Bahwa ancaman itu pada
dasarnya datang dari benda seperti dalam novelnya La Nausse.
Iya, begitulah sejatinya manusia hari ini. Bahwa benda lebih menarik
untuk diperkenalkan karena dapat melahirkan daya pikat yang luar biasa.
Sehingga, kebebasan berpikir itu menjadi lemah karenya. Dan, apa yang terjadi
selajutnya adalah penghacuran kebebasan berpikir itu sendiri.
Anda tentu pernah mendengar kalimat "kan saya ji, nasusaiko
kah?". Ini adalah contoh kebebasan berpikir yang menghancurkan kebebasan
berpikir itu sendiri. Bahwa seakan-akan kebebasan berpikir itu tidak terkait
dengan kebebasan berpikir manusia yang lain.
Oleh karena itu, perlu dipisahkan antara kebebasan berpikir dan
kebebasan hidup walau pada dasarnya keduanya saling terkait satu sama lain.
Kebebasan berpikir tidak menyangkut tentang pilihan bahwa ini hanya
"aku" sedang kebebasan hidup dapat menyangkut hal itu.
Gaya kalimat dari kalimat "kan saya ji, nasusaiko kah?" kuat
kemungkinan akan berakhir pada eksistensi benda itu. Betapa banyak misalkan
manusia memakai benda hanya untuk memperlihatkan eksistensialisnya. Emas,
berlian, rumah mewah, mobil mewah, dan lain-lainnya.
Aku hanya ingin mengajak kita semua untuk menelisik asal muasal dari
benda sebagai eksistensi itu. Anggaplah emas, maka emas ini dari mana
datangnya? Apakah ia sesuatu dari "abdracadabra" kemudian ada? Apakah
ia dicipta dan dibentuk manusia? Tentu bukan kan.
Lalu dari mana ia? Oh ternyata ia dari sebuah gunung yang ada di Papua.
Untuk menemukannya, gunung itu digali, dibor, diledakkan, dan lain sebagainya.
Siapa yang melakukan itu? Yah manusia kan. Itu sudah jelas. Demi apa? yah demi
eksistensialis itu sendiri.
Apa masalahnya? Tentu ini akan menjadi pertanyaanya bukan. Maka tentu
saja pertanyaan itu akan terjawab tentang sebuah keserakahan. Kenapa ini
terkait keserahakan? Yah tentu saja karena manusia menggali, mengebor, dan
meledakkan tanah yang tak lain adalah "bapak" dari keluarga besarnya
sebagai bagian dari semesta.
Pada tulisan yang lain, aku pernah mengatakan bahwa alam semesta dan
seluruh isinya adalah keluarga besar dimana tanah sebagai Bapak, laut sebagai
Ibu, manusia sebagai Anak. Dan aku ingin menambahkan bahwa udara sebagai Jiwa
dan api sebagai Nafsu. Jelas? Jika belum, cobalah masuki diri pada dalamnya
kedalaman.
Dengan demikian, eksistensi itu mutlak terjadi. Apapun dan bagaimanapun
bentuknya. Tapi ingat juga bahwa ada sesuatu yang lain dari itu. Yang manakah
itu? Ia adalah sesuatu yang abstrak. Bermukimnya dimana? Yah di dalam hatimu.
Ia hanya dapat kau prediksi tapi tak dapat kau miliki seutuhnya.
Ketika aku bukan apa-apa maka belum tentu aku bukan siapa-siapa. Ketika
kamu adalah siapa-siapa maka belum tentu aku hanya apa-apa.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar