Kristina Gagal ke Istana

Sebuah pengumuman kecil di sekolah. Akan ada seleksi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Sejumlah persyaratan tertulis disitu. Jelas; tanpa kurang apapun --tak ada jalur khusus atau rekomendasi. Kristina membacanya. Ia akan ikut seleksi. Maka sejumlah persiapan dilakukan. Termasuk fisik dan mental, tentu saja. Bagian itu paling penting.

 

Hasil seleksi; Kristina salah satu yang terbaik. Tahapan dilahap habis. Penuh keringat. Penuh perjuangan. Bermodal semangat anak kampung; berani mengejar cita-cita ke kota. Rupanya itu tidak cukup. Kota terlampau keras. Sedang Kristina polos; tak tahu apa-apa. Intinya maju. Bersama Arya Maulana, dinyatakan mewakili daerahnya; Sulawesi Barat.

 

Nama Kristina memang manis. Sayang, nama manisnya itu tak berbuah manis. Harus gigit jari. Ia gagal ke Jakarta. Tugas mulia; Paskibraka, sirna di depan mata. Musababnya sederhana. Katanya, Kristina positif covid-19. Sungguh disayangkan. Kecewa tentu saja. Ini bukan saja tugas mulia. Tapi juga kebanggaan keluarga.

 

Sudahlah, nasi sudah jadi bubur. Kristina mungkin pasrah sudah. Tapi rupanya keluarganya tidak. Pamannya; Habel, protes keras. Ia menduga ada permainan. Banyak kejanggalan; katanya. Tidak mengagetkan. Ini Indonesia; kejujuran sulit ditemukan. Apalagi keadilan; sungguh berat. Di sini, rupa orang begitu samar; tak jelas kadang dan kebanyakan --penuh drama, pada apa-apa saja.

 

Habel lalu melaporkan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Pemprov Sulbar ke Ombudsman. Salah satu kejanggalan yang dibawanya terkait hasil swab PCR positif Covid-19 Kristina. Sebagai pembanding, Kristina kembali test swab. Hasilnya negatif. Itu tiga hari dari hasil swab PCR Dispora Sulbar. Apakah PCR itu yang rusak atau yang menggunakannya? Entah.

 

Fakta lain, tak hanya Kristina yang diganti. Dengan alasan yang sama Arya juga bernasib sama. Bedanya, Arya diam seribu bahasa. Sungguh terbalik dengan Kristina. Hasil putusan; keduanya lalu diganti. Penggantinya tak tentu alasannya. Terutama pengganti Kristina. Cadangan Kristina; berdasarkan peringkat, Nuraliyah, juga tidak dapat kesempatan. Keluarganya juga protes.

 

Publik tentu tambah curiga. Ini ada apa? Kok ruwet amat. Jika pengganti boleh dari orang yang tidak ikut seleksi atau tidak masuk perankingan; tujuan seleksi apa? Hanya formalitas? Sebuah pertanyaan yang mustinya dijawab Pemprov Sulbar. Apalagi otoritas seleksi ini diberikan Kemenpora; secara penuh.

 

Oh iya, karena gagal ke Istana. Dispora lalu menawari Kristina sebagai Paskibraka Provinsi. Wah katanya positif covid-19. Kok bisa ditawari masuk Paskibraka Provinsi? Semakin mencurigakan bukan. Tapi biarlah, kita coba sedikit pakai jurus Mark Manson; sebuah seni untuk bersikap bodoh amat. Daripada-daripada, lebihbaik-lebih baik.

 

Tapi, Kristina memberi jawaban telak; ia menolak. Kristina lebih memilih jalan sunyi. Ia Kembali ke kampung. Sejenak memilih meninggalkan kota; di sini orang-orang penuh topeng. Atau barangkali Kristina ingin menghibur diri. Dan rumah tujuan utama; empat jam dari kota --kondisi jalan rusak dan terjal. Yah meski ukurannya kecil, 4x3 meter. Itu juga hasil renovasi Kementerian PUPR.

 

Kupikir penolakan ini kemenangan pertama Kristina. Atau juga barangkali bentuk kemurkaannya; tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya --merdeka tapi tak merdeka. Terutama kepada Pemprov Sulbar. Dan barangkali kemenangan lain Kristina sedang on proses. Keluarganya gencar bertanya. Hanya bertanya. Dan semoga itu tidak apa-apa. Yah maklum, kita tahu negeri ini kondisnya; sakit. Hukumnya; amburadul. “Kaki di kepala, kepala di kaki” Peterpan.

 

Lagian penolakan ini juga harusnya membuat Dispora sadar diri. Evaluasi perlu dilakukan. Ini demi pengembalian integritas dan kepercayaan publik. Jika perlu Gubernur Sulbar yang turun tangan. Sebab ini bukan lagi tentang Kristina. Tapi juga tentang Sulbar secara umum. Rasa-rasanya sulit lagi untuk mengelak; Pemprov Sulbar ikut terseret. Tak ada pilihan lain; jujurlah!

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya