Mencintai Maros Merawat Masa Depan
Berbicara tentang Sulawesi Selatan, itu
berarti bukan hanya tentang Makassar. Terlalu naif rasanya jika demikian.
Banyak hal bisa ditemukan di tempat lain di wilayah ini. Misalnya, Toraja
dengan destinasi wisata adat dan budayanya. Bulukumba dengan bira dan
tebing-tebing soleknya. Selayar dengan pantai-pantai indahnya. Sinjai dengan
ikannya.
Di luar dari itu. Ada satu daerah yang sangat
unik. Sukar dan mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain; Maros. Di sini,
kita akan terbawa mundur ke belakang; jauh. Sangat jauh. Tidak puluhan tahun
atau ratusan tahun. Tapi ribuan tahun. Bahkan puluhan tahun. Maros itu
perangkap waktu. Atau mungkin mesin waktu. Itu luar biasa.
Mula-mula Maros mulai menarik diperbincangkan
ketika Alfred Russel Wallace datang ke Maros. Itu tahun 1857. Sekitar September
atau November. Usinya ketika itu masih 34 tahun. Wallace diperkenalkan oleh
keluarga Willem Landeert Mesman. Wallace lalu menelusuri sungai ke utara
Makassar. Menemukan banyak keindahan di sana. Salah satunya kupu-kupu.
Pakar zoologi Inggris itu bahkan menemukan
sekitar 270 jenis kupu-kupu. Wallace takjub. Lalu menggelari wilayah itu
sebagai The Kingdom of Butterfly. Dari sini, Maros mulai tercatat. Hingga
menarik perhatian dunia. Berkembang hingga Indonesia merdeka di tahun 1945. Tidak
berhenti disitu. Maros terus memesona banyak peneliti lain. Terutama peneliti
arkeologi.
Gua-gua di Maros itu eksotik. Menarik
peneliti ke berkunjung. Tahun 1950, beberapa peneliti mulai melakukan eksplorasi.
Mereka mencari asal-muasal Maros. Atau bahkan asal muasal Sulsel dan
penghuninya di masa lalu. Mereka itu antara lain Van Heekeren, Palm, dan
Franssen. Kemudian dilanjutkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan
Universitas Griffith Australia.
Proses tidak mengkhianati hasil. Tahun 2017, Basran
Burhan menemukan lukisan babi kutil. usinya diperkirakan 45.500 tahun. Altamira
disalip; lukisan yang ditemukan oleh Marcelino Sanz de Sautuola di Altamira
tahun 1879 --wow. Maros memang kecil. Tidak segemerlap Makassar. Tapi, Maros
menuju dunia. Meninggalkan Makassar; menuju kota dunia --katanya begitu.
Lalu apa itu sudah berhenti. Tentu tidak.
Maros terus melaju. Seperti tagline Chaidir Syam lalu; Maros Keren. Itu bukan
isapan jempol belaka. Sisa kita tunggu waktu. Maros akan lebih dikenal dari
Makassar. Atau Maros akan lebih dikenal dari Jakarta. Mungkin tidak lama lagi.
Orang-orang Eropa akan memperbincangkan Maros. Atau orang-orang di Amerika dan
belahan dunia lain.
Baru-baru ini. Maros kembali jadi perhatian
dunia. Penemuan Besse tahun 2017 lalu; DNA manusia purba pertama di Kawasan
Wallacea. DNA itu ditemukan di Teras Leang Paningnge, Mallawa, Maros. Kedalamannya
190 cm. Besse diperkirakan meninggal pada usia antara 17-18 tahun. Bentuknya tertekuk
berbaring ke Utara-Selatan. Berusia sekitar 4.000 tahun.
Ini kabar yang baik. Sebab akan menuntuk kita
pada sebuah perjalanan manusia di masa lalu. Mulai dari Tiongkok, Laos, Malaysia,
kemudian masuk ke punggung Sulawesi di wilayah yang kini masuk Sulawesi Barat.
Lalu, ke arah Papua, hingga masuk daratan Australia. Besse ini akan menjadi
petunjuk. Sekaligus akan menjadi penghubung temuan-temuan lain di Timur.
Lagi dan lagi Maros. Maka tidak salah jika Kak
Muhammad Irfan AB menyebut Maros dan Pangkep adalah kiblat para Arkeolog dunia.
Itu pantas dan sangat layak. Para peneliti telah membuktikannya. Sisa kita
bekerja ke sana; ke arah Maros yang lebih keren itu. Cita-cita kurang lebih
400.000 ribu jiwa warga Maros. Ini perlu kerja bersama; dalam kolaborasi yang
kuat --pemerintah dan warga.
Apalagi, Maros harus berhadapan dengan
berbagai situasi dan kondisi. Sekian detik saja dapat berubah. Terutama tambang. Kian hari kian marak. Bahkan,
degradasi wilayah karst Maros terus berkurang. Ini tantangan. Mesti dicarikan
solusi segera. Jika tidak, Maros sebagai mesin waktu ke masa lalu akan
berhenti. Tepatnya dipaksa berhenti.
Meski begitu, untuk sekarang
ini, kita tetap wajib berbangga kepada Maros. Sebagai warga yang bukan Maros.
Pun tidak lahir di Maros. Seharusnya bangga. Anggaplah Maros terus tergerus.
Lalu hilang. Setidaknya, Maros tetap pernah menjadi kenangan. Bahwa mata dunia
menatap Maros dengan begitu indahnya. Tapi, jujur kita tidak ingin itu terjadi.
Kita ingin Maros tetap keren; hari ini dan dimasa mendatang.
#akumencintaimu.
Komentar
Posting Komentar