Mata Ketiga yang Digaibkan
Anak yang malang. Barangkali itu
cukup mewakili AP. Seorang bocah perempuan berusia 6 tahun di Gowa. Jika rumah
tempat berlindung atau keluarga sebagai pelindung; tidak berlaku baginya. Rumah
hanya sebuah bangunan kosong. Tak ada isi; kepercayaan, kejujuran, cinta dan
kasih sayang. Dan keluarga hanya sebuah nama. Tak lebih dari sebuah onggokan
daging yang menumpang.
Sebuah bisikan gaib. Merubah nasib
anak malang itu. Keluarganya; Ibu, Ayah, Kakek dan Paman mencongkel matanya.
Anak itu berteriak. Manusia-manusia laknat itu tidak bergidik sedikitpun.
Bisikan itu terlalu kuat; barangkali. Tetesan darah merah mengalir. Kesakitan
tapi tidak dapat berbuat banyak. Kaki dan tangannya dipegang.
Terdengar miris. Tetangga datang.
Juga memberi bantuan kepada anak malang itu. Hingga sampai ke telinga polisi.
Dilakukan penyelidikan. Hasilnya, dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Itu
berarti ini murni penganiyaan. Bukan kerasukan --barangkali akal-akalan. Secara
hukum, penganiayaan masuk ranah pidana. Ini harus tuntas.
Desusnya, ini soal pesugihan. Jika
begitu, logikanya sudah tepat; mencongkel mata. Ketidaktepatannya hanya satu;
bukan mata sendiri yang dicongkel. Harusnya begitu. Sebab anak enam tahun itu
masih punya mata murni. Mata dipakai hanya untuk tujuan hiburan. Bukan untuk
tujuan kemewahan. Apalagi, pamer-pamer kepada tetangga. Oh bukan!!!
Memelihara mata memang berat. Kadang
mata yang melihat itu membutakan dan mata yang buta itu malah mencerahkan. Dan
mata yang melihat ini sulit dikendalikan. Apalagi jika telah dikuasai kehendak.
Mau praktis. Simsalabing; jadilah. Tetangga beli kipas angin, yang melihat yang
terputar-putar. Keluarga yang beli kulkas yang melihat yang kedinginan.
Pada kasus yang lain. Mata yang
dikuasai kehendak dapat berubah menjadi senjata. Lebih mengerikan dari bom atom
sekalipun. Sebab menyasar kesesatan logika; membunuh akal sehat. Pro kontra
politik, dualisme organisasi, popularitas, fanatisme dan semacamnya dapat
membunuh --akal sehatmu-- hanya dengan mata. Secara perlahan. Dan itu pasti.
Lihatlah bagaimana mata itu membunuh
pada kasus Saipul Jamil. Karena mata kita inilah, nurani ini diangkat paksa
lalu dihilangkan. Lalu ephebophilia Bang Haji itu seperti dipudarkan. Mata kita
lebih fokus pada teks, citra dan euphoria; popularitas dan fanatisme semu.
Tidak pada substansi dan nilai; pada apa sebab dan akibatnya --peristiwa itu
bermula.
Jika Bung Yusran Darmawan tidak
ingin menyalahkan sepenuhnya kepada Bang Haji. Maka itu berarti ada
tanggungjawab kita disitu. Terutama kita yang selama ini punya masalah akut
oleh mata kita sendiri. Sebab ini bukan hanya terjadi pada kasus Bang Haji.
Kasus korupsi juga hampir serupa. Kita terlalu baik karena mudah lupa, kata
Bung Yusran.
Lihatlah bagaimana kita seperti
baik-baik saja. Yah baik-baik saja ketika mantan narapidana korupsi
terang-terangan ingin maju Pilkada atau maju Pileg. Alasannya sederhana. Punya
cost politic dan punya banyak massa. Atau melihat ketidakadilan itu menjamur
dimana-mana tapi kita memilih bisu. Bahkan masuk ruang akademik yang harusnya
berdiri pada kebenaran ilmiah.
***
Dengan logika sederhana. Mata yang
dikendalikan kehendak ini mudah dipatahkan. Seperti api yang memadamkan api
--paham kan maksudnya. Begitu juga dengan mata. Untuk mengendalikannya, maka
mata jugalah yang dapat melakukannya. Metode ini sudah amat kuno. Tapi begitu
mendasarnya hingga dapat diterimanya pada situasi hari ini; sakit mata yang
akut.
Sejenak kita mundur ribuan tahun
sebelum masehi. Bangsa mesir mengenalkan simbol mata satu yang disebut The Eye
of Horus. The Eye of Horus ini dipercaya sebagai simbol perlindungan dan
kekuatan. Kemudian didalami di eropa. Hingga mata satu atau mata ketiga ini
sangatlah popular hingga kini. Penulis Van Gogh dan satrawan T.S. Elliot misalnya.
Mereka mengaktifkan mata ketiga lalu menghasilkan karya agung.
Atau di Jepang misalnya,
mengaktifkan mata ketiga dengan karya berupa manga. Salah satu manga yang
sangat terkenal adalah karya Masashi Kishimoto; Naruto. Dalam manga itu, Klan
Uchiha dianugrahi kekuatan yang maha dahsyat melalui matanya. Jutsu-jutsu
khusus hanya dimiliki klan ini. Seperti api yang tidak pernah padam; Amaterasu.
Spesial bukan.
Lalu kita di sini, di negara
--Indonesia, yang besar ini. Mata ketiga disempitkan pada hal-hal gaib. Seperti
bisikan setan atau kerasukan. Bahkan ada sebuah mitologi yang banyak dipercayai
secara membabibuta dan sadis; sebuah candi dibangun hanya sehari semalam atau
Ka’bah di Mekkah sana pindahan dari sebuah gunung di wilayah Sulawesi --singkat,
padat dan tidak jelas.
Baik, kita coba fokus. Mata ketiga
yang dapat mematahkan dominasi mata yang dikuasai kehendak adalah pineal gland.
Pineal gland ini berhubungan dengan Chakra Ajna berupa kelenjar yang berada
pada otak manusia. Jika ditarik garis lurus, terletak di dalam kening manusia.
Sedikit di atas pertengahan kedua alis mata. Disebut Pineal karena menyerupai
pine cone atau buah pinus.
Seperti halnya Van Gogh, T.S.
Elliot, Tolkien, orang eropa lain. Kita wajib menemukan diri kita pada kesadaran
yang mengikat pada Pineal Gland. Karena Pineal Gland ini menghasilkan hormon
melatonin dan sel glial yang berfungsi menyokong sel saraf. Hormon melatonin
mengatur irama sirkadian. Pineal Gland juga sangat berperan pada mood manusia.
Khusus untuk irama sirkadian;
mengaktifkan syaraf untuk tidak mudah dikendalikan --apalagi oleh indra mata.
Terutama hanya karena teks, citra dan euphoria; popularitas dan fanatisme.
Irama sirkadian sangat sensitif atas sesuatu. Gairahnya akan terus menyala
untuk bertanya; sebagai fitrah manusia. Tapi ini sangat tergantung pada cara,
metode, strategi dan kebiasaan.
Inilah tanggungjawab kita; mengaktifkan mata ketiga ketika melihat nomena. Guna menyiapkan mata keempat melalui karya yang dipertanggungjawabkan; untuk hari ini teknologi dan informasi. Prediksi ke depan, perang dunia ketiga adalah perang teknologi dan riset. Dan hari ini banyak mengklaim telah berlangsung. Lalu persiapan kita apa? Entah. Rektor sibuk berebut jabatan komisaris. Atau kampus sedang nyaman memberi gelar HC kepada koruptor.
Ketika tidak ada persiapan yang
matang. Kita hanya akan begini-begini saja. Bertengkar, bersilat lidah,
menjilat dan menjadi pengikut segala kemajuan; menjadi manusia yang
menyedihkan. Dikendalikan tanpa tahu siapa yang mengendalikan; dihancurkan
secara perlahan. Dibunuh melalui mata kita sendiri yang telah buta.
Salam cinta, aku mencintaimu
Komentar
Posting Komentar