Akademi HAM Makassar



Jika ingin serius dalam belajar. Akan selalu ada saja jalannya. Dan kadang tiba-tiba, begitu saja terjadi. Pun sekali-sekali tidak terduga datangnya --datang dari orang yang tidak kita kenal. Sama seperti tahun 2015 itu. Tahun dimana saya haus-hausnya akan belajar. Bahkan, kini pun bisa dikata begitu. Tapi sejujurnya, tahun itu adalah tahun segalanya dimulai.

Saya senang berkenalan dengan orang baru. Siapapun dia dan bagaimana pun latar belakangnya. Terpenting bagi saya adalah saling berbagi pengalaman. Dan itu adalah pelajaran yang sangat berharga. Selain karena saya dapat belajar banyak dari pengalaman orang baru itu. Juga tentu saja saya dapat curi-curi ilmu. Dan dengan tanpa memandang siapa dan latar belakangnya, maka jadilah saya banyak perspektif. Dan, ya, itu sangat berharga.

Tahun 2018, ketika saya sudah mulai bekerja sebagai jurnalis. Saya aktif pada berbagai diskusi. Pelaksananya tidak penting; mahasiswa, NGO, pemerintah dan siapa saja. Saya datang dengan semangat; mendengarkan, berdiskusi dan menyerap ilmu dari pemateri yang tampil di depan. Tidak lupa, jika sudah waktunya untuk bertanya. Saya adalah orang yang selalu bersemangat. Bagi saya, waktu bertanya adalah waktu untuk refleksi diri. Terutama tentang materi yang telah dijelaskan tadi.

Tidak berhenti disitu. Saya juga akan mencatat hal-hal yang menurut saya penting. Itu saya lakukan untuk menghidari agar saya tidak lupa. Apalagi, saya tahu betul bagaimana saya orang yang pelupa. Bahkan, kadang ada teman yang ketemu di tempat seminar atau workshop, saya lupa namanya. Parah bukan?

Lagian, catatan-catatan itu akan saya jadikan bahan tulisan. Melalui tulisan itu, saya mengekspresikan diri saya tentang apa yang saya pikirkan dan imajinasikan. Tulisan itu tentu saja apa adanya. Saya tidak terlalu berhitung pada soal hubungan semiotika, padanan kata atau aturan lain dalam penulisan. Terpenting adalah menulis dan menulis. Jika ada yang saya pikirkan, lalu tidak saya tulis, kadang kepala saya pusing.

Tulisan-tulisan itu banyak bentuk. Ada yang tulisan pendek, yang hari ini disebut quotes. Ada pula tulisan essay yang kadang tidak ketemu konteksnya. Juga ada puisi. Untuk puisi ini, beberapa telah terbit dalam sebuah buku. Walau sifatnya masih dalam bentuk antologi bersama penulis-penulis lain.

Saya agak lupa, barangkali pertengahan tahun 2018. Sekitar Mei atau Juli. Saya mendapati sebuah postingan di facebook. Postingan itu sangat menarik perhatian saya. Ada rekrutmen online untuk ikut kegiatan pada Akademi HAM Makassar. Tapi, ketika itu batas pendaftaran sudah lewat satu hari. Saya cek akun yang memposting itu. Rupanya, saya tidak berteman tapi senior saya di kampus dulu berteman --Kak Uslimin.

Saya memberanikan diri untuk menghubungi melalui messenger di facebook. Karena jujur, memang saya tidak punya kontaknya Kak Uslimin, walau Blio merupakan senior saya. Saya lalu memperkenalkan diri, kemudian berdiskusi sejenak. Simpulannya, saya diberi kabar baik --saya akan direkomendasikan. Saya berjingkrak membaca pesan itu.

Tidak hanya itu, saya juga diberikan kontak penyelenggaranya. Dari sinilah saya berkenalan dengan Kak Hajri yang baik itu. Seorang perempuan pentolan HMI. Kemana-mana jadi pemateri di HMI. Jika menanyakan namanya kepada kader KOHATI --sudah barang tentu tidak ada yang tidak kenal. Sebegitu melegendanya nama itu.

Saya kemudian menghubungi Kak Hajir melalui whatsapp. Saya memperkenalkan diri dan menyampaikan pesan Kak Uslimin. Rupanya, Kak Hajri langsung menangkap pesan itu. Saya lalu diminta datang tepat waktu di Kampus Unibos Makassar. “Besok datang dan tidak boleh telat” tegasnya dipenghujung chat.

Jadwal yang diberikan Kak Hajri adalah pukul 09.00. Karena merasa saya adalah siswa yang lewat jendela --maka saya mahfum dan tahu diri --tidak boleh telat. Saya tiba di Kampus Unibos Makassar pukul 08.00. Itu terlalu pagi untuk ukuran orang Indonesia kebanyakan, yang bahkan juga tidak peduli jika terlambat. Tapi, saya datang sepagi itu karena ada alasannya. Saya tidak ingin telat dan saya tidak tahu ruangan kegiatan. Juga tidak kenal yang bisa menunjukan tempat. Bahkan, saya sempat salah parkir dan ditegur satpam. Aduh.

Saya melesat ke arah lift dan berharap ada orang yang bisa saya temui. Dan baiknya, ada satu dosen. Itu perkiraan saya saja. Sebab pakaiannya rapi dan berjas. “Pak dimana tempat pelaksanaan Akademi HAM”? Laki-laki dengan umur sekitar 40-an dan rambut klimis itu menjawab di lantai 5. Saya ucapkan terima kasih dan bergegas pencet lift arah naik.

Di lantai 5 gedung itu, saya masih seperti kebingungan. Sebab saya lupa bertanya nama ruangan atau nomor ruangannya. Saya lalu berjalan ke arah kiri, menyusuri sebuah lorong yang mirip lorong hotel. Ada sebuah ruangan di sebelah kiri dan seorang perempuan berdiri di sana. Saya menyapa dan bertanya lokasi pelaksanaan kegiatan Akademi HAM. Perempuan itu tetap berdiri seperti mematung dan tersenyum manis, lalu meminta saya mengikutinya. Itulah pertemuan pertama saya dengan Kak Hajri.

Lalu disini juga pertama kali bertemu dengan Kak Upi. Jurnalis yang sudah malang melintang di Makassar bahkan nasional. Ketika masuk jurnalis, Kak Upi ini saya tahu nama saja. Karena banyak cerita yang telah saya dengar dari jurnalis senior. Terutama mengenai kasusnya dulu dengan Kapolda Sulsel, Susno Duadji. Dan rupanya, Kak Upi ini salah satu pemerkasa kegiatan.

Ketika masuk ruangan. Masih dihitung jari peserta yang hadir. Saya memilih duduk agak di pojok sebelah kiri. Beberapa saat duduk sambil menunggu pemateri. Seorang yang tidak asing masuk --Kama’. Teman saya di Ruang Abstrak Literasi. Sebuah komunitas yang dibentuk tahun 2017. Dan lebih banyak bergerak atau berkegiatan di pesisir Tallo, Kota Makassar. Di sana, saya bersama teman-teman di Ruang Abstrak Literasi membawa buku dari berbagai donatur untuk dibagikan kepada anak-anak nelayan.

Saya sama sekali tidak janjian sama Kama’ untuk masuk Akademi HAM Makassar. Saya baru tahu, ketika Kama’ menjelaskan kepada saya bahwa Dia masuk secara resmi, tidak seperti saya, dan mendaftar secara online dan terpilih oleh panitia. Saya langsung tertawa terbahak-bahak. Selain bertemua Kama’ disini pula saya bertemu banyak teman dan dari latar belakang yang sungguh sangat berbeda.

Ada Kak Budi, seorang guru asal Pangkep. Kak Budi ini pernah terjerat hukum karena kasus yang tidak jelas. Saya juga bertemu Mayang dan temannya yang agak pendiam itu. Saya lupa namanya. Setelah kegiatan ditutup baru saya tahu jika Mayang dan temannya itu adalah junior Kak Hajri di HMI. Ada juga Zahra, teman jalan saya di Aksi Kamisan kelak. Selain itu, ada juga peserta dari kalangan waria. Dalam pikiran saya, wah ini sangat menarik.

Hari pertama di Kampus Unibos itu, kegiatan berjalan lancar. Sesi diskusi sangat sengit. Apalagi dengan latar belakang para peserta yang berbeda. Tentu itu memberikan banyak perspektif dengan beragam literatur dan pengalaman. Saya sangat menikmati hari pertama itu. Kemudian ditutup dengan santap siang bersama.

Kegiatan selanjutnya dilaksanakan di Kampus UIT. Ketika itu, saya mendapat tugas untuk berkoordinasi dengan Pak Zulkarnain agar tempat disediakan. Setelah beberapa saat berdiskusi, saya lalu diarahkan ke gedung UIT yang sebelah Selatan Jalan Rappocini, dekat ATM BNI. Setelah berkoordinasi dengan Satpam, ruangan itu pun dibuka. Saya lalu diarahkan ke ruangan ke dua sebelah kiri. Peserta datang satu persatu. Dan lagi, kegiatan ditutup dengan santap siang.

Tempat pelaksanaan berikutnya, saya sedikit kaget. Karena dilaksanakan di Kampus Pasca UNM. Tempat saya melanjutkan pendidikan S2. Pemateri yang mengisi kegiatan di UNM sangat spesial. Datang dari Jakarta. Saya sudah lupa namanya. Yang pasti keduanya merupakan bagian Amnesty Internasional Indonesia di Jakarta. Salah satu diantara mereka memperkenalkan diri pernah sekolah di Autralia.

Materi yang diberikan pada hari terakhir pelaksanaan Akademi HAM sungguh menarik minat saya. Karena dijelaskan mengenai sejarah HAM dan terbentuknya Amnesty Internasional. Selain itu, dijelaskan juga mengenai situasi dan kondisi HAM diberbagai belahan dunia. Tidak terkecuali di China, yang saat itu sedang ramai-ramainya aksi demonstrasi payung kuning yang dipelopori oleh Joshua Wong. Seorang anak muda yang dinilai berbahaya dan radikal oleh pemerintah China.

Setelah sesi diskusi yang sangat alot. Termasuk saya sedikit nimbrung dan para peserta lain. Kegiatan ditutup dengan saling tukar nomor whatsapp. Saya sebagai orang yang sangat suka berteman dengan orang baru, tentu sangat antusias. Kiri kanan saya meminta nomor whatsapp. Tidak terkecuali dari kalangan aktivis waria. Setelah itu, sesi foto-foto. Sebagai kenangan.

Dari Akademi HAM ini, teman saya terus bertambah dan bertambah. Dan dari sini pulalah, saya aktif pada Aksi Kamisan Makassar. Karena kegiatan itu merupakan bentuk aksi nyata daripada Akademi HAM. Tidak semua peserta aktif. Hanya saya dan Zahra yang paling sering terlibat. Lalu, masuklah kasus Ibu Ramsiah yang aneh itu. Kasus ini pun saya kawal hingga tuntas. Juga beberapa kasus lainnya. Seperti kasus Asrul yang membuat saya bolak-balik Palopo.

Kini, saya berharap, Akademi HAM kembali digulirkan. Apalagi, hari-hari ini, peristiwa demi peristiwa, kasus demi kasus, terus merangkak naik. Terutama soal perampasan hak atas hidup dan penghidupan. Contoh yang paling nyata di Rempang sana. Dan bukan tidak mungkin akan masuk di Makassar, barangkali sebentar lagi. Terutama untuk Masyarakat wilayah pesisir --lokasi dimana saya sering berkegiatan bersama Ruang Abstrak Literasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya