Bagaimana Hukum Menuju Kematian

 


Dalam catatan Yuval Noah Harari; Sapiens --sejarah singkat umat manusia, penulis kelahiran negara apartheid Israel itu mendeskripsikan secara detail, bagaimana manusia itu bermula. Tepatnya, perubahan dasar dari sebuah evolusi; binatang ke manusia --berkat daya khayal atau imajinasi. Lalu, pelan dan pasti mengikat kelompok kecil. Lalu, kelompok besar. Dan seterusnya, hingga kini. 

Dari situ pulalah bermula politik dan hukum itu. Dan, terus mengalami evolusi; filsafat, sejarah, bentuk, ukuran dan tujuannya. Bahkan, masih terus tumbuh dan berubah. Terus-terusan begitu.

Ada yang pesimis --hukum masuk dalam ranah privat-- yang sebenarnya tidak perlu terikat. Karena, ia berada dalam jarak asasi --tiap orang dan tiap kepala punya hak. Tapi, ada juga yang progresif dan radikal. Mempertimbangkan keadilan gender. Utamanya perempuan. Semacam gerakan kesetaraan --mengintip patriarki yang kebanyakan ada kuasa gender tertentu disitu. Sangat menarik --sayang, itu bukan Indonesia.

Sekarang, kita mundur 1 dekade terakhir. Di Indonesia. Sebuah negara dewasa secara umur. Tapi, belum juga makmur-makmur. Menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi; negara hukum. Menghormati hak asasi; pancasila. Toleran dan tuntas dalam perbedaan; bhineka tunggal ika.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Joko Widodo. Mantan Walikota Surkarta. Jawa tulen. Berangkat dari warga biasa. Tubuhnya agak tinggi. Kurus. Punya mimpi radikal; mobil nasional --bohong tidak soal. Mentalnya sekuat baja. Ia berani. Sangat berani. Mendobrak kebiasaan lama. Seperti iklan-iklan rokok di televisi.

Orang-orang memujanya. Bukan karena hartanya. Atau turunan ningratnya. Tapi, karena kerakyatan dan daya dobraknya.

Mula-mula, Joko Widodo hanya target Pilkada DKI Jakarta. Itu pun atas usul Gerindra yang bukan partainya. Hitung-hitungan dilakukan. Lobi-lobi digulirkan. Maka jadilah. Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta --tahu-tahu menang. Semua berkat Joko Widodo. Kesederhanaan dan daya dobraknya; dilirik warga Ibu Kota. Blusukan. Keluar masuk pasar. Tinjau gorong-gorong. Bergandengan bersama warga di gang-gang.

Pemilihan Presiden 2014. Survei Joko Widodo sangat tinggi. Musababnya, masih sama; kerakyatan dan daya dobraknya. Banyak harapan diberikan ke pundaknya. Termasuk representsi sipil. Waktu itu, rakyat seperti bosan. Sama, itu-itu saja. Terutma latar belakangnya --militer. Lagian, rakyat sudah terbius habis-habisan --punya mobil nasional --bohong tidak soal. Itu mimpi besarnya.

Pertarungan sangat sengit. Sampai ngos-ngosan. Tiap pertarungan. Pastinya, berakhir sama; kalah dan menang. Joko Widodo tentu saja disisi menang itu. Banyak drama terjadi. Bahkan insiden juga ada. Tapi, itu semua tidak mengubah hasil akhir. Joko Widodo, si pengusaha mebel, melenggang ke Istana. Berkantor di sana. Tanggal di sana. Membawa serta anak-anaknya --anak-anak tidak tertarik politik.

Bekerja untuk Indonesia. Memang berat. Sungguh sangat berat. Apalagi, jika sokongan politik sangat kurang; saya kira ini terjadi dimana-mana. Bukan di Istana saja. Di ruang-ruang sempit seperti pengemis saja, jika tak kuat, akan terlempar juga. Kekuasaan dan kekuataan saling bersahut-sahutan bukan. Untuk bersembunyi dari kinerja buruk. Dan untuk “kelihatan” bekerja. Dipilihnya Kabinet Kerja. Top.

Dalam seni perang. Tidak begitu penting mengetahui kekuatan sendiri. Yang terpenting, tahu kekuatan lawan --baru berhitung. Lawan yang tersulit, bukan yang dihapan. Tapi, yang bersembunyi di dalam selimut. Disinilah perlu muslimat, agar lawan kelihatan. Maka, dipakailah jurus termahsyur itu --memukul rumput mengagetkan ular.

Dimulai dari Golkar. Sebuah partai mapan. Secara historis --tuntas dengan isu perpecahan internal. Konflik Golkar sangat sengit. Bahkan, saling jegal sini sana. Rekomendasi Pilkada, pun demikian. Sampai harus ada dua rekomendasi DPP --walau ada juga yang enggan. Ini aneh. Tapi ini konflik politik. Semua punya kemungkinan-kemungkinan.

Tidak berselang lama. PPP ikut menyusul. Juga seru dan sengit --terasa hingga Sulsel. Saya, secara tidak langsung ambil bagian dari keseruan dan kesengitan itu. Waktu itu, saya jurnalis aktif. Di koran politik; Harian Rakyat Sulsel. Saya juga ikut Mukhtamar PPP yang rekonsiliasi itu. Di Asrama Haji Jakarta. Presiden Joko Widodo hadir --pertanda semua kubu senang. Lawan kian jelas. Kawan juga demikian. Jurus itu jitu. Terbitlah menteri segala urusan.

Konflik partai, membuat wacana dan isu politik nasional macet total. Kita disuguhkan, hanya bancakan politik. Diskusinya tidak substansial. Ide dan gagasan politik tidak ada. Termasuk soal hukum. Tidak heran kemudian, hukum seperti lari dari nuraninya sendiri --ngos-ngosan dan terengah-engah. Jadi, terlalu dekat kepada kekuasaan. Pemisah antara keduanya; etis dan moral, menjadi kabur. Ini imbas --partai sebagai pemasok hukum telah babak belur.

Kongkritnya, hukum pelan-pelan menuju kematian --terhimpit akibat tidak jelasnya hukum dan kekuasaan. Juga jebakan politik sandra dan kepentingan para oligarki; bangcad memang. Hukum seperti permainan dadu dalam kisah Mahabrata. Di tangan Sengkuni, dadu itu permainan yang lebih dekat kepada kecurangan. Akhirnya, kubu Kurawa menang. Kemenangan yang diraih melalui kecurangan. Pandawa tahu itu curang. Tapi, kecurangan mesti dibuktikan. Wajib meyakinkan. Dan pintu-pintu menuju pembuktian, tertutup. Sangat rapat.

Tahun 2017. Pembubaran HTI. Tidak melalui pengadilan. Tapi, melalui perubahan undang-undang. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2017 (Perppu Ormas). Perppu ini kemudian dijadikan dasar pembubaran HTI. Salah satu krusial yang krusial dari perubahan undang-undang itu adalah pembubaran Ormas tidak harus melalui pengadilan.

Saya sepakat pembubaran HTI. Tapi, cara yang dipilih, saya tidak sepakat. Sebab, dalam memutus perkara itu, hukum seperti tidak menutup mata. Hukum mengedipkan mata kepada kekuasaan. Akibatnya, putusan itu tidak murni lagi. Hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri. Martbatnya mulai pudar. Integritsnya dipertanyakan.

Tahun 2018. Muncul gerakan ganti presiden 2019. Gerakan diinisiasi oleh oposisi pemerintah. Dan sangat cepat menjalar. Selain menggentak dan menggertak. Gerakan ini, disokong sejumlah tokoh publik. Secara pengikut banyak dan mengakar. Misal, Ahmad Dhani. Juga Neno Warisman. Baju kaos #gantipresiden juga menggema. Banyak peminat.

Beberapa kota mewacanakan diri untuk menggelar deklarasi. Tapi, kemudian ditolak. Polisi tidak memberikan izin. Alasannya, beragam --harus menaati tahapan kampanye, tidak boleh dilakukan dihari libur dan soal kamtibmas. Dilain pihak, Bawaslu mengaku jika gerkan ganti presiden 2019 itu bukan kampanye. Dua silang pendapat ini mengundang pertanyaan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Selain tidak dapat izin. Gerakan ganti presiden 2019, juga ditolak kelompok tertentu. Tapi, tidak berselang lama. Muncul pula gerakan serupa tapi berbeda --Gerakan Jokowi dua periode. Bahkan, ada juga gerakan tiga periode. Ini semacam tandingan. Anehnya, gerakan ini mulus --bak jalan tol. Tidak ada riak-riak berarti. Hukum jadi minder. Tak mau ambil pusing --hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

Tahun 2019. Kasus salah tangkap Pengamen Cipulir; Arga Putra, Fikri Pribadi dan Fatahilah, mengajukan gugatan ganti rugi. Besarnya tidak sebanding penderitaan mereka; disiksa dan dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya. Tidak sampai miliaran. Atau triliunan. Seperti yang digondol para bangsat koruptor --dipenjara tapi fasilitas bak hotel mewah.

Akhirnya apa, negara enggan bertanggungjawab. Alasannya tidak masuk akal --kadaluarsa. Lalu, bagaimana cara menghilangkan trauma. Bagaimana bisa mengembalikan mental cacat akibat diperiksa tidak sesuai prosedur. Dan bagaimana pula memulihkan bekas luka yang menganga akibat disiksa. Kukuh, negara tidak mau tahu. Hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

Tahun 2020. Enam laskar FPI tewas. Mereka tewas di tangan sesama anak bangsa. Tepatnya di KM 50 Tol Cikampek. Di lokasi kejadian, CCTV rusak. Jadilah, peristiwa memilukan itu jadi simpang siur. Satu yang pasti. Mereka mati tertembak. Proses sampai pelatuk ditarik, sangat rumit. Untuk kasus ini, saya pernah menulis panjang.

Celakanya, dua polisi terdakwa penembak divonis bebas. Terbukti melakukan penganiayaan -- alasan terpaksa. Kita tidak dapat memastikan alasan “terpaksa” itu. Situasi kala itu, amat tegang. Dan, ada kabut yang menghalangi pandangan. Kita, hanya puas menerka-nerka. Tidak ada pilihan lain, selain itu.

Bahkan, tegasan Komnas HAM; menyebut peristiwa itu unlawful killing, menguap. Begitu saja. Hingga, kita lupa. Dan, sangat baiknya, kita ini warga yang mudah lupa --hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

Tahun 2022. Di sebuah perumahan elit. Duren Tiga Pancoran. Milik petinggi Polri. Seseorang yang karirnya melesat cepat; Ferdy Sambo. Terjadi peristiwa tembak menembak. Katanya begitu, awal keterangan polisi. Disampaikan di depan kamera menyala --itu tiga hari setelah kejadian. Aneh tapi nyata.

Publik lalu curiga; Brigadir J dibunuh. Secara sengaja. Bukan akibat saling tembak menembak. Indikasinya jelas. Ada gerakan penghapusan barang bukti. Terutama CCTV --alasan tidak berfungsinya tidak masuk akal; karena petir. Pemeriksaan kemudian diperkuat. Jadilah, Bharada E, saksi kunci. Terkuak sudah. Ferdy Sambo pemeran utama sekaligus penulis skenario.

Sambo ditetapkan tersangka. Tidak sendiri. Ada orang lain yang membantunya; Putri istrinya, Kuat Maruf, Ricky Rizal dan tentu saja Bharada E. Ada juga petingggi Polri lain. Juga ikut terlibat. Mereka Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rahman Arifin, Baiquni Wibowo, dan Chuk Putranto.

Setelah sidang yang berlarut-larut. Penuh intrik dan drama. Sambo diputus secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana; divonis hukuman mati, 13 Februari 2023. Tapi vonis itu sendiri tidak melekat lama. Putusan itu dianulir Mahkamah Agung; 6 bulan kemudian. Jadinya, penjara seumur hidup. Sebelumnya, Sambo mengajukan banding. Tapi ditolak.

Putusan MA itu mendapat beragam komentar. Menkopolhukam, Mahfud MD menilai, putusan itu sah dan mengikat. Cawapres yang kalah tikungan terakhir itu merujuk pada PK; hanya bisa dilakukan oleh terpidana. Tidak bisa dilakukan jaksa. Pengguguran PK oleh jaksa telah melalui uji di Mahkamah Keluarga --maksudnya Mahkamah Konstitusi. Anda tahu kapan putusan MK itu keluar? 14 April 2023. Atau sekitar dua bulan setelah putusan Sambo. Apakah terkait? Entah --hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

Masih tahun 2022. Adu gengsi Arema FC melawan Persebaya. Stadion Kanjuruhan, full penonton. Hasil kurang memuaskan bagi tuan rumah. Penonton riuh. Begitulah pertandingan. Jika ada menang. Pasti ada yang kalah. Tidak mungkin kemenangan untuk dua tim yang berlawanan. Terjadi chaos, lalu rusuh. Polisi menembak gas air mata, ke arah penonton. Penonton panik, lalu berhamburan. Desak-desakan. Pintu keluar tertutup. Akibatnya, 127 orang meninggal.

Rinciannya, 2 anggota Polri, 34 meninggal di dalam stadion, 93 meninggal di rumah sakit. Tragedi ini pecahkan rekor dunia --korban meninggal terbanyak kedua di dunia. Mengalahkan tragedi Hillsborough tahun 1989; korban 96 orang --diposisi ketiga. Di bawah tragedi Estadio Nacional, Peru. Tahun 1964. Korban 328 orang.

Penyidikan lalu berjalan. Bambang Sidik Achmadi jadi tersangka. Lalu terdakwa. Tapi, eks Kasat Samapta Polres Malang itu, divonis bebas. Majelis Hakim berpandangan, tembakan gas air mata mengarah ke tengah lapangan. Lalu, terbawa angin. Sejumlah video mengungkap fakta lain. Bahkan, sejumlah saksi mata mengaku jika gas air mata ditembakkan ke tribun penonton. Itu tidak menjadi pertimbangan penting hakim --hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

Tahun 2022. Presiden Joko Widodo, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Alasannya “kegentingan memaksa”. Alasan ini tidak rasional. Bahkan, lebih menjurus ke otoriter. Kegentingan yang memaksa, lebih tepat sebagai alasan penolakan. Sebab dalam prosesnya undang-undang busuk itu minim analisis. Lagian keadaan normal-normal saja.

Undang-undang busuk ini, memberi peluang kepada pelanggar hukum itu sendiri. Seperti yang terjadi di Riau. Pemilik jutaan hektar sawit illegal tidak perlu lagi repot-repot. Tidak perlu lagi pusing-pusing. Legal dan illegal sudah abstrak. Sementara untuk rakyat kecil. Tidak bisa begitu. Harus dan wajib tertib. Aturan dan hukum nomor satu. Jika tidak, aparat siap menyergap. Tembak juga tidak apa-apa --siapa takut, mati tanam. Buktinya, di Seruyan.

Warga Rempang kurang lebih sama. Mereka terusir. Dari kampung halaman. Hanya karena investasi. Warga pasrah, lalu memohon perbandingan layak. Minta dibayar lebih. Tapi ditolak. Tanah tempat mereka hidup dan bertumbuh disebut illegal. Tanah yang dulunya, dijanji akan disertifikatkan Presiden Joko Widodo. Tapi, itu masa kampanye. Dan berbohong, boleh-boleh saja.

Tahun 2023. Politik panas-panasnya. Banyak kalangan menilai, Presiden Joko Widodo gusar. Takut jika kelak bermasalah. Seperti yang dialami Trump, terkini. Duduk di meja pengadilan. Mendengarkan gugatan hukum. Mungkin akan menjeratnya. Lalu, kandas maju Pilpres Amerika. Karena masuk penjara. Tapi itu Amerika. Indonesia lain lagi.

Tawar-tawar politik terus dilakukan. Tapi tawar itu kurang menggiurkan. Dipakailah instrumen hukum. Agar lebih menguatkan. Karena ada aturan yang mengekang. Di bawalah itu ke Mahkamah Keluarga . Maksud saya Mahkamah Konstitusi. Di sana, pion sudah menunggu. Sisa menunggu perintah.

Ikatannya jelas. Dan sangat kuat. Mengakar hingga ke sendi kamar. Di kamar pengantin; 26 Mei 2022. Saya mengkritik ini. Melalui tulisan. Agak panjang. Judulnya; Menguji Independensi MK.

Dan baru kemarin. Ujian itu tidak lulus. Maksud saya, awalnya lulus. Sebelum makan siang. Gugatan untuk umur Cawapres di bawah 40 tahun ditolak. Hore. Saya perhatikan betul beranda facebook. Ada yang menuntut minta maaf. Entah maksudnya apa. Tapi, barangkali itu karena suudzon. Kepada pemerintah. Kepada Presiden Joko Widodo. Menginginkan anaknya maju Cawapres. Mendampingi Prabowo. Membangun dinasti. Ada pula yang menulis “ojo kesusu”. Biarkan saja.

Setelah makan siang. Pion membawa kartu truf. Dan, memang tetap menolak. Dengan persyaratan. Pernah menjabat kepala daerah. Jadilah kalimat manis itu. Mahkamah Keluarga bukan Mahkamah Konstitusi --menguat dan menggema-- dari Bapak, oleh Ipar, untuk anak. “Anak-anak saya tidak tertarik politik”. Itu dulu.

Sekarang. situasinya berbeda. Imajinasinya berubah. Daya khayalnya terus bertumbuh. Maka, jadilah “anak-anak dan menantu saya hanya tergoda Ketua Partai, Walikota, dan Calon Wakil Presiden”. Lagian “Hanya Presiden Joko Widodo yang berani menaikkan gaji polisi” --hukum tidak lagi jujur kepada dirinya sendiri.

“Penguasa punya tahta. Yang tidak ada. Bisa diada-ada” Mata Luka Sengkong Karta, Peri Sandi Huizche.

Aku mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya