Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya


Tidak ada anak yang minta dilahirkan. Kupikir kalimat pendek ini jadi peringatan tegas. Tapi, kadang tidak menjadi bagian dari prinsip banyak orang. Yang ada dan umum kita dengar hanya prosesnya. Bahasa kasarnya “anu enak ini bos” --mau enaknya, tidak mau anaknya. Jika sudah begitu, lepaslah tanggungjawab itu.

Dalam perjalanan bus ke Toraja, Minggu 24 September malam. Saya ingin bercerita dengan sesama penumpang di samping saya-- seperti yang sering saya lakukan sebelum-sebelumnya. Tapi, rasanya itu sulit. Seorang yang disamping saya itu barangkali umurnya masih belasan. Sibuk pula video call dengan seorang perempuan. Barangkali, itu pacarnya. Perkiraan saya, telah beberapa lama menjaling hubungan jarak jauh alias LDR. Jadilah saya saksi kalimat-kalimat manja dan menggemaskan itu.

Maka tidak ada alternatif lain selain daripada membuka sosmed di handphone. Lalu, saya melanjutkan membuka beberapa group WA. Dalam sebuah group orang Sinjai yang diperantauan. Saya mendapati sebuah link berita yang menarik perhatian. Judulnya “diduga terlilit ekonomi, wanita 19 tahun di Sinjai bunuh diri minum racun”.

Karena penasaran, saya membuka link berita itu. Gadis malang itu merupakan warga Desa Batu Belerang, Kecamatan Sinjai Borong. Inisialnya AI. Sebelum meninggal, AI ditemukan oleh saudaranya dengan mulut berbusa. AI lalu dibawa ke Puskesmas untuk mendapat perawatan. Sayang, nyawanya tidak tertolong. Diduga AI minum racun herbisida pada Sabtu, 23 September lalu.

Saya seperti terhentak. Tidak banyak berkata-kata. Saya lalu menulis story di WA “Saya tidak tahu ini apa. Tapi, rasanya sakit”. Sejujurnya, kalimat itu muncul begitu saja. Dan, sangat menggambarkan perasaan dan pikiran saya.

Setelah itu, saya langsung teringat anak saya di rumah. Oh Tuhan ini apa? Saya tidak mengenal AI. Tapi penderitaannya yang dijelaskan dalam berita itu, seakan menerkam saya begitu saja. Saya tidak dapat membayangkan jika AI itu adalah anak saya. Lalu memutuskan untuk mengakhiri penderitaan yang seharusnya tidak ditanggungnya.

Hal yang hampir serupa juga saya sering temukan di tempat lain. Di Toraja misalnya, sebagai daerah dengan tingkat bunuh diri yang cukup tinggi di Sulawesi Selatan, memiliki akar masalah yang sama-- pengabaian keluarga dekat. Padahal keluarga harusnya lingkaran dekat secara emosional, tapi kadang tidak mampu menjadi tempat yang aman. Bahkan sebaliknya.

Tahun lalu misalnya, saya bertemu dengan seorang mahasiswa. Di telinganya terdapat sebuah alat bantu dengar. Saya tertarik dan mendekat kepada mahasiswa itu. Terutama sekali, karena saya teringat adik kandung saya yang juga memakai alat yang sama. Dalam sebuah diskusi yang singkat, saya bertanya apakah bawaan dari lahir? Si mahasiswa itu tidak menjawab. Dia diam seribu bahasa, walau sekuat apapun saya mendekatinya untuk mendapatkan jawaban.

Barulah seminggu kemudiaan, saya bertemu dengan mahasiswi yang saya tahu adalah pacarnya. Disinilah, saya temukan fakta bahwa penggunaan alat bantu dengar itu bukan karena penyakit bawaan lahir. Tapi, itu adalah buah dari kebiadaban dan kebengisan orang dewasa. Si mahasiswa itu adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Sesuatu pernah dicolokkan ke dalam telinganya. Musababnya sederhana, si mahasiswa ini dinilai tidak mau mendengar. Jadilah seperti sekarang.

Temuan saya yang lain, seorang mahasiswa datang bercerita kepada saya pada suatu waktu. Mahasiswa ini bercerita tentang adiknya yang menurutnya nakal. Saya mendengar dengan seksama hingga akhir ceritanya. Tanpa menyela dan membantahnya sedikitpun.

Seusai ceritanya yang panjang kali lebar tak terhingga itu, saya bertanya. Apakah hubungan adiknya dengan orang tuanya baik-baik saja? Dan jawabannya, tidak. Menurutnya, adiknya itu tidak pernah berkomunikasi dengan bapaknya. Dan itu sudah berlangsung tahunan. Saya tidak terkejut mendengar jawaban itu. Saya lalu meminta agar masalah itu segera dicarikan solusinya.

Beberapa waktu kemudian, mahasiswa itu datang lagi dan kembali bercerita kepada saya. Masih soal adiknya. Katanya, foto adiknya tersebar setengah telanjang. Astaga. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya tertegun. Bahkan bergerak pun, saya merasa kesulitan.

AI dan dua contoh lain ini adalah korban. Korban dari kengerian hidup --kehilangan sosok ayah diusia belia maupun kehilangan kasih sayang dari keluarga dekat. Juga korban dari keegoisan naturalistik manusia --pengabaian dari orang tua atau keluarga dekat dengan berbagai alasan --termasuk orang tua memilih menikah lagi.

Dan yang paling penting adalah korban dari ketidakmapanan pendidikan di sekolah --jomplangnya antara kecerdasan intelektual yang individualistik dan lebih mudah dikompetisikan daripada kecerdasan sosial yang mengedepankan humanistik yang berkemanusiaan.

Karena itu, kematian AI dan dua contoh dalam tulisan ini bukan hanya tanggungjawab keluarga. Tapi juga tanggungjawab semua orang. Baik kenal atau tidak, secara langsung maupun tidak langsung.

Jika memilih tidak perduli dengan mengurung diri pada soal tidak ada hubungan kekerabatan, itu sama halnya dengan mengingkari kedirian diri sebagai mahluk sosial. Lebih jauh lagi, tidak mengakui adanya kebenaran universal, yang kini telah kritis dan krusial di tengah-tengah masyarakat.

Tulisan ini untuk anakku, yang akan merayakan hari lahir --satu tahun-- 11 Oktober 2023 mendatang --Arumi Adzkiya Sofyan. Aku mencintaimu Nak.

Komentar

  1. Bila itu telah jadi febomena, perlu diajak diskusi juga pemimpin daerahnya.. Wassalam..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iye pemerintah sudah kasi solusi. Berikut buktinya di bawah. Hahahaha
      https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6546359/dprd-tator-minta-dasi-sekolah-ditiadakan-gegara-kasus-bunuh-diri-tinggi

      Hapus
  2. Mantap let tulisannya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati