Kegamangan Negara Hukum

 


Equality Before the Law; semua orang sama di mata hukum. Kalimat sederhana dan abstrak ini dipercaya semua orang --bahwa hukum telah dan akan berlaku adil, seadil-adilnya. Tanpa ada alasan yang membuatnya berat sebelah. Dan atau mengacungkan pedang dan mengeksekusinya tanpa mengintip.

Negara ini, mengacungkan diri dan memutuskan dirinya sebagai negara hukum. Sebagai pembuktian akan keberanian itu, negara lalu mengilhami diri ke dalam empat hal. Yang pada pokoknya, dituangkan di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman; Bagian menimbang huruf a dalam KUHP; Pasal 3 ayat (2) UU HAM.

Apa yang terjadi dari keberanian itu; negara mengalami kegamangan. Sebuah kegamangan yang pada faktanya diciptakan sendiri. Lalu, ditafsirkan sendiri-sendiri oleh pemerintah; polisi, jaksa dan hakim. Dalam tatanan demokrasi hari ini, kegamangan itu semakin menjadi-jadi. Di sisi lain, menghendaki kebebasan berbicara, tapi kemudian meminta kritik dengan sopan.

Berangkat dari kata sederhana di awal tulisan, semua sama di mata hukum, artinya tidak ada alasan apapun yang dapat menggugurkan persamaan itu. Kupikir, ini sudah terbukti dan mudah dibuktikan. Kita telah melihat bagaimana akhirnya pengadilan memutuskan; bersalah dan tidak bersalah. Artinya, mereka yang terbukti bersalah dan tidak bersalah telah sampai pada tahap sama di mata hukum --proses dan berproses.

Tidak salah kemudian penegakan hukum, keluar dari substansinya yang abstrak itu. Misalkan, penegakan hukum sengaja atau tidak sengaja berafiliasi kepada kekuasaan. Akibatnya, dalam hal yang sederhana, hukum menjadi alat bukan sebagai uji. Atau, hukum hanya jadi rimba bukan lahan berdialektika.

Dari situ jelas terlihat, bahwa ada semacam lokus yang tersembunyi dan atau disembunyikan --yang barangkali ketika orang mencari itu, sering dipersangkakan dipersepsikan buruk. Apa itu? Ialah sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dijangkau melalui akal sehat. Kadang, mereka yang memakai alat ini, seringkali dipersekusi tanpa perlu diadili.

Kita coba buka ini secara kontekstual. Pertama, mari kita lihat bagaimana konsep sederhana itu, berlaku dalam kasus salah tangkap Pengamen Cipulir. Menjerat anak muda dan dipaksa tidak menikmati masa mudanya, terutama dalam pendidikan; Arga Putra, Fikri Pribadi dan Fatahilah.

Mereka disiksa, untuk mengakui pembunuhan yang tidak pernah dilakukan. Yang akhirnya terbukti, tidak melakukan pembunuhan. Terlanjur dipenjara. Putus sekolah. Masa depan direnggut secara paksa. Lalu, kemudian meminta ganti rugi kepada negara --nilainya tidak sebanding dengan penderitaan mereka, tapi tidak diberikan. Alasannya tidak masuk akal --putusan telah kadaluarsa.

Publik secara luas tahu kasus ini. Kemudian menggalang dana. Akhirnya, kurang dari 24 jam, terkumpul untuk ratusan juta rupiah. Membuat dua dari tiga anak, dapat kembali haknya untuk sekolah. Bahkan bisa hingga kuliah, jika keduanya mau. Dalam hal ini, negara hukum telah kalah.

Kedua, kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dan terpidana adalah Jessica Wongso. Kasus ini kemudian ramai kembali. Akibat dari keluarnya film documenter Netflix; Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso.

Saya tidak ingin masuk pada pedebatan benar dan salah. Tapi, mari kita lihat saja dari sisi --hukum yang sederhana, menjadi alat. Maka hukum telah berhasil; menghukum terdakwa. Sementara, dalam segi uji, hukum kemudian diperdebatkan. Ia mengalir dari sendi-sendi dialektika. Dan yang semacam itu, pasti bukan datang dari rimba --benar salah.

Perbandingan dua konteks ini juga menarik --semua sama di mata hukum-- untuk kita uji pada sisi yang abstrak. Pengamen Cipulir dapat mewakili keterbatasan akses hukum. Sementara kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin sebagai perwakilan keleluasaan akses hukum. Kita harus jujur melihat ini ke dalam fakta --soal keterbatasan akses hukum dan keleluasaan akses hukum itu. Misal, dalam takaran kaya dan miskin.

Pertama, dari segi akses hukum yang berbeda, kedua konteks kasus ini mengalami akhir yang mirip; ketidakjelasan ukuran keadilan --dalam konteks kejujuran-- terutama saya yang awam hukum. Untuk kasus Pengamen Cipulir, terbukti secara sah korban salah tangkap. Tapi kemudian, pembuktian itu, tidak menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan konpensasi kerugian yang dituntut korban.

Sementara untuk kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, terdapat fakta dan bukti yang tidak menjadi pertimbangan dalam keputusan hakim. Terutama, fakta dan bukti yang diajukan tim kuasa hukum. Walau ini akan menjadi perdebatan. Tapi, kupikir disinilah letak dasar hukum sebagai uji itu --memperkaya dialektika untuk menemukan keadilan yang jujur.

Kedua, keleluasaan akses pada hukum tidak dapat menjamin akan hadirnya keadilan. Ini kemudian bertolak konsep John Locke, mengatakan bahwa semua orang sama di mata hukum itu maksudnya aksesnya kepada hukum harus sama.

Ada bagian yang luput dari analisis John Locke. Bahwa akses yang sama kepada hukum bukan jaminan hukum akan memutus secara adil, seadil-adilnya --jujur. Tapi, kejujuran dari hukum itu sendiri, yang harus menjadi alasan utama putusan itu adil, seadil-adilnya --jujur. Selama hukum tidak jujur kepada dirinya sendiri, maka selama itu pula, negara hukum akan terus mengalami kegamangan. Aku mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya