Enigma Rencana

 


Siapa yang mampu mengatur waktu? Tentu tidak ada. Sebab, kita hanya berjalan di dalamnya. Dan terus-terusan begitu. Kita hanya menjalani waktu itu --sebagian kecilnya kita rencanakan, sebagian besarnya adalah misteri. Rencana juga, tidak semua mengatur waktu. Kadang, rencana hanya tinggal rencana. Dan begitulah awal pertemuan saya dengan Bang Hikmat Darmawan.

Jumat pagi lalu, saya bangun seperti biasa --dengan rencana-rencana yang dibuat. Hari sebelumnya, saya berdiskusi dengan mahasiswa kampus mengajar --SMPN 1 Sesean. Di Toraja Utara. Jaraknya cukup menguras kesabaran, butuh waktu 30 menit, dengan kendaraan roda dua. Belum lagi jalannya --berlubang dan berliku.

Saya berangkat --sedikit terburu-buru. Di rumah, saya belum sempat sarapan --nanti di depan Rektorat UKI Toraja. Di situ, ada dua penjual gado-gado. Juga penjual bubur kacang hijau. Langganan saya. Penjualnya sangat hangat, baik dan ramah. Walau, kami tidak saling tahu nama. Persetan soal nama, apalagi agama. Terpenting, kebaikan dan harapan selalu dikedepankan. Gus Dur juga kan mengamini itu --jika kamu berbuat baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya siapa namamu, apa agamamu, apa sukumu?

Saya tiba di depan Rektorat UKI Toraja. Jam sudah menunjukkan pukul 8.17 menit. Saya ambil kursi berwarna biru pucat. Posisi duduk, di sudut kiri gerobak. Sambil menunggu antrian. Di depan saya, ada seorang laki-laki --juga ikut mengantri. Tubuhnya tinggi, agak kurus. Dia memesan tiga bungkus gado-gado.

Tiba giliran saya. “Mau pesan apa Pak?,” tanya si penjual. “Saya pesan bubur kacang hijau satu Mas,” kata saya. Si penjual membuka panci besar yang tertanam di dalam gerobak. Kepulan asap melambai-lambai di udara. Aroma gurih kemudian menyengat. Dengan cekatan, si penjual meracik bubur kacang hijau --bubur diaduk dan diangkat pakai sendok centong. Dituang ke dalam mangkok ayam berwarna putih. Lalu, di disiram dengan santan. “Ini Pak” kata si penjual. “Terima kasih Mas” kata saya sambil tersnyum.

Sambil mengaduk bubur --agar tercampur sempurna dengan santan. Datang seorang laki-laki. Ekspresinya sedikit bingung. Umurnya, barangkali 40-an tahun. Di tangannya, ada dua buah buku. Saya lirik buku itu dengan seksama. Judul lengkapnya saya lupa. Tapi, sekilas saya membaca tentang film. Tampaknya, buku itu bukan buku keluaran terbaru. Tapi, seperti buku babon --buku terbitan lama.

Laki-laki ini kemudian memesan gado-gado. “Gado-gado satu Mas, tidak pakai lontong” katanya sambil berdiri. Kalimat lelaki itu menghentak saya. Mana ada gado-gado tidak pakai lontong. Racikan darimana pula itu?

Saya lalu menggeser kursi agak ke kanan --untuk memberi ruang kursi kosong di sebelah kiri. Lelaki itu lalu duduk --menatap saya sambil senyum. Saya membalasnya dengan hangat. Sambil menikmati bubur kacang hijau. Dan tanpa memandang wajah lelaki itu, saya memulai percakapan ringan. Saya memuji buku yang dibawa lelaki itu. “Bukunya bagus Pak” kata saya.

Komentar itu membuat lelaki ini antusias. Dia menjelaskan bahwa buku yang dipegangnya itu berisi tentang film --singkat dan padat. Dia kemudian menyergap saya dengan pertanyaan. “Kamu suka film? tanyanya. Saya bilang suka. Kata saya singkat. “Gendre apa film yang kamu suka”? tanyanya sambil mengambil sodoran gado-gado tanpa lontongnya dari si penjual. Saya bilang dokumenter. Percakapan kami lalu mengalir begitu saja.

Lelaki ini kemudian menyebut nama sutradara dokumenter yang sungguh saya kagumi; Dandy Laksono. Saya semakin antusias bercerita. Saya katakan bahwa Dandy adalah sosok yang sangat menginspirasi. Film-film dokumenternya sangat luar biasa --riset, narasi, hingga pengambilan gambarnya sangat keren. Lelaki ini kemudian mengamini penjelasan saya. Dia menambahkan jika Dandy Laksono mantan jurnalis. Saya membenarkan --Dandy mantan jurnalis TV dan Radio, bukunya pernah saya baca; “Indonesia For Sale”.

Karena semakin penasaran. Saya lalu bertanya agak personal. “Bapak orang Toraja? Dia kemudian tersenyum. Lalu mengaku jika dirinya bukan orang Toraja. “Terus Bapak dari mana? tanya saya lagi. “Saya dari Jakarta” katanya sambil menikmati gado-gado tanpa lontongnya itu. “Ada kegiatan di Toraja Pak? tanya saya tanpa memberi jeda. “Saya ada kegiatan di UKI Toraja, Perpusnas Writingthon Festival” katanya datar.

Jawaban itu membuat saya kaget. Saya lalu mengingat-ingat. Dan ya, hari itu tanggal 20 Oktober. Kegiatan yang dimaksud itu adalah kolaborasi dengan UKI Toraja Press. Sejak awal bulan lalu, kegiatan ini telah disosialisasikan kepada dosen-dosen UKI Toraja. Saya sebenarnya lupa dan tidak mendaftar. Hahaha. “Nama Bapak siapa? Tanya saya lagi. Nama saya Hikmat.

Bang Hikmat kemudian bercerita. Sedari tadi mencari tempat sarapan. Dia ke penjual gado-gado karena tidak ada pilihan lain. Katanya, mau makan coto tapi belum buka. Saya kemudian tahu alasan memesan gado-gado tanpa lontong --gado-gado yang tidak dihabiskannya. Katanya, sudah cukup sambil mengambil botol obat kecil dari sakunya. Si penjual menyodorkan air minum --disambut sangat sopan Bang Hikmat. Bang Hikmat menghindari gula --kalimat ini saya rada-rada lupa persisnya; apa iya itu yang diucapkan?

Bang Hikmat kemudian memprovokasi --terang-terangan meminta saya ikut kegiatan. Saya katakan, saya ada agenda ke Toraja Utara. Bang Hikmat tidak menaggapi serius penjelasan itu. Bang Hikmat berdiri dan mengeluarkan uang kertas. Dia membayar gado-gado tanpa lontongnya, sekaligus bubur kacang hijau yang saya makan. Saya buru-buru ikut berdiri. Saya menunduk dan mengucapkan terima kasih. Traktiran itu semacam kode wajib ikut kegiatan.

Saya menghubungi mahasiswa saya. Mengabarkan jika saya batal berangkat hari itu. Saya beralasan ada kegiatan yang mendadak. Dan memang mendadak --saya tidak berencana ikut dan memang tidak mendaftar secara online. Tapi, ini kewajiban tersirat --traktiran bubur kacang hijau. Hahaha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya