Mengoreksi Pramodya Ananta Toer



“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” Pramoedya Ananta Toer. 

Kalimat Pram di atas itu menghentak saya tahun 2015. Tahun, dimana saya memaksa diri untuk terus membaca. Dasarnya, saya memang suka membaca. Tapi, tidak se-intens di tahun 2015 itu hingga sekarang. Di tahun itu pula saya belajar menulis. Topiknya apa saja yang saya pikirkan.

Lalu, membaca dan menulis ini membawa saya pada pekerjaan. Ya, sebagai jurnalis. Memulainya juga tidak mudah. Sebab dulu, kata banyak orang, saya memulai dari media yang abal-abal --tidak legal. Tapi, bagi saya itu buka soal. Pokok pikirannya, belajar. Bukankah belajar itu dapat dimana saja tanpa harus melihat legal dan tidak legalnya.

Toh, dari sanalah semuanya dimulai hingga saya berada dititik ini. Maka utang jasa orang kepada saya, sangat banyak. Saya tidak dapat menghitungnya. Untuk membalasnya, hanya satu yang bisa saya lakukan; menulis dan menulis -- hingga sekarang. Saya mengamini perkataan As Laksana. Katanya, menulis itu adalah meditasi. Dan itulah saya sekarang.

Baiklah. Saya menulis kalimat Pramoedya Ananta Toer di awal itu, ada maksudnya. Sebenarrnya, saya ingin mengkritik kalimat itu. Maafkan, bukan saya tidak menghargai paham dari Pram itu. Ilmu saya yang seupil ini tidaklah mampu menandingi Pram. Atau begini, jika kalimat mengkritik itu tidak terlalu tepat. Saya akan menggantinya dengan kata yang barangkali lebih sopan; mengoreksi. Tentu ini versi saya.

Saya memaknai kalimat Pram ini, cukup sederhana. Tentu, berdasarkan daya pengetahuan dan imajinasi saya yang terbatas ini. Bahwa Pram, memberi penekanan agar orang mau menulis. Tujuannya apa? Agar dapat dikenang. Siapa yang mengenang? Mereka yang membaca tulisan itu. Barangkali begitu.

Koreksi saya, makna tersirat dari kalimat Pram itu sudah benar. Hanya saja, barangkali ada yang dilupakan --terutama jika terlalu fokus kepada Pram itu sendiri. Apa itu? Adalah peristiwa yang memantik Pram untuk menulis. Atau orang yang memicu Pram untuk menulis. Ini berarti bahwa, Pram memang telah abadi karena tulisannya. Tapi keabadian Pram itu tidak murni karena dirinya menulis. Ada yang memantik Pram hingga mencapai titik keabadiannya.

Orang yang memuji Pram atas keberhasilannya mencapai keabadian itu, kadang lupa jika Pram hanya mengais kepingan-kepingan peristiwa dari apa yang dilihat dan dirasakannya, lalu ditulis. Peristiwa itu, tentu akan berhubungan dengan orang lain di luar dari diri Pram. Dan orang-orang inilah yang seringkali dilupakan.

Saya sedang tidak menyalahkan orang yang memuji Pram ini. Sama sekali tidak. Hanya saja barangkali, jika membaca karya Pram, kita jangan hanya bangga padanya. Tapi lebih dari itu, kita harus membaca sejarah, agar supaya orang-orang yang terlibat dalam peristiwa yang ditulis Pram, juga dapat kita tahu --dan menaruh hormat padanya.

Kupikir, ini sejalan dengan pikiran-pikiran Tan Malaka  dalam Madilog-nya. Katanya, ide-ide yang terpikirkan, lalu diaplikasikan dalam tulisan dan tindakan, tidak sepenuhnya murni dari empunya. Tapi, itu adalah kumpulan ide-ide dari orang-orang sebelumnya. Sains juga begitu, kata Tan Malaka --ia merupakan tangkapan-tangkapan gagasan dari para pendahulunya. Lalu kembangkan untuk menjadi temuan baru.

Karenanyalah, dari tulisan ini barangkali saya dapat menjelaskan kepada orang-orang. Tentang bagaimana saya dalam hal tulis-menulis ini. Bahwa saya ini hanyalah jembatan dari peristiwa yang melibatkan orang lain. Maka, saya tidak dapat menulis peristiwa yang tidak saya ketahui. Sebab yang namanya jembatan, tentu hanya penghubung. Jika tidak ada peristiwa, maka fungsi saya tidaklah ada.

Inilah barangkali alasan yang saya pas kepada teman, untuk menolak menuliskan ayahnya yang telah berpulang. Bukan tidak bisa, tapi sulit rasanya menyusun narasi tentang peristiwa orang yang belum pernah saya temukan tulisan tentangnya dan atau berhubungan langsung dengannya. Maafkan.

Maka dari itu, saya dan kita semua, harusnya tidak hanya berbangga kepada penulis. Tapi, juga kepada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa. Apapun peristiwa itu --sedih maupun senang. Karena darinyalah penulis mencapai keabadiaan seperti kata Pram. Juga karena darinyalah pembaca dapat belajar dan merefleksi diri.

Maka daripada itu, memang Pram telah abadi melalui tulisan-tulisannya. Begitu juga sama dengan peristiwa dan orang-orang yang direkamnya --juga telah abadi. Benarlah kalimat kalimat itu --kita hanya perlu berbuat baik, jika pun tidak berbuat baik, minimal kita sudah memikirkannya. “Harus adil sejak ada dalam pikiran” Pram. Aku mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya