Petani Ditangkap karena Panen Sawit Sendiri
Lima hari lalu, di twitter. Saya membaca twit tentang penangkapan
petani. Tapi itu hanya sekilas-- scroll. Lalu hilang. Saya lupa me-like. Juga me-retweet.
Saya terlampau mengklik pemberitahuan-- lihat tweet baru. Maka, ketika hendak
membaca secara jelas tweet itu-- rasanya sulit menemukannya. Sebab twitter itu
sangat cepat.
Hari ini, sepulang dari kampus. Sehabis mengikuti kegiatan pelatihan-- seharian
penuh. Keadaan saya begitu lelah. Karena menerima materi. Juga tugas-tugas
pelatihan yang mesti dikerjakan. Itu juga deadline-- wajib selesai hari itu
juga.
Ketika buka twitter-- dalam perjalanan pulang-- dengan sempoyongan. Saya
tidak sengaja membaca berita. Tentang penangkapan para petani itu. Seketika itu
juga saya baca. Rupanya, benar itu terjadi. Lokasi penangkapan itu di Kabupaten
Mukomuko, Bengkulu.
Rasanya capek saya tidak artinya. Daripada derita dan kegetiran yang
dialami para petani di Mukomuko. Dari berbagai sumber. Terutama dari berbagai
media. Penangkapan bermula ketika para petani itu memanen buah sawit yang
mereka tanam. Tanamnya juga di tanah garapan mereka sendiri.
Lalu kenapa ditangkap? Apa salah panen hasil dari tanaman yang
ditanam sendiri?
Konflik lahan ini sudah berlangsung lama. Pada mulanya, para petani menggarap
lahan tersebut. Alasannya sangat logis. Lahan ditanami hanya untuk menyambung hidup--
itu dilindungi konstitusi. Tidak untuk mewah-mewah. Tidak juga untuk menyuap
para pejabat bangcad. Ada jengkol, padi, kopi, dan lainnya.
Tahun 1995, PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) mendapat hak guna lahan (HGU).
Luasnya sekitar 1.889 hektar-- lahan warga diganti rugi. Lahan itu lalu
ditanami kakao-- luasnya 350 hektar. Tapi, lahan kemudian tidak terawat. Dan terlantar
begitu saja-- sejak tahun 1997. Artinya, aktivitas BSS itu hanya berlangsung
sekitar 2 tahun.
Selama delapan tahun. Lahan itu digarap kembali petani-- dulu pernah
dapat ganti rugi. Hingga jadi produktif. Kemudian datang PT Darian Dharma
Pratama (DPD). Mengklaim sebagai pemilik. Dasarnya akta pinjam pakai. Antara PT
BBS dan PT DDP.
Atas dasar itu, para petani diusir-- secara paksa juga direpresi-- walau
juga punya hak yang sama. Tertuang dalam konstitusi. Pasal 27 ayat (2) UUD tahun
1945 yakni setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan-- warga dan PT DDP punya hak.
Dilain pihak, PT DDP bersikeras. Memiliki legalitas secara hukum atas lahan
tersebut. Bahkan menuding balik. Bahwa para petani tidak punya tanah sejengkal
pun di lahan tersebut. Karena tidak mampu mengeksekusi sendiri. Lalu dipanggil
polisi-- brimob-- bersenjata lengkap.
Jelang tengah hari. Para polisi itu datang. Sekitar 40-an orang. Lalu mengepung
para petani yang sedang berada di lahan Zarkawi-- penduduk Desa Talang Arah. Dugaan
kuat ada tindakan di luar SOP. Buktinya salah seorang petani berdarah dibagian
pelipis kanan.
Tidak berhenti sampai disitu. Para petani kemudian ditangkap. Diperlakukan
tidak seharusnya. Dipaksa bertelanjang dada. Tangan diikat. Hingga ponsel milik
para petani semua disita. Jumlahnya ada 40 orang. Mereka digiring ke Polres
Mukomuko. Tanpa pendamping hukum.
Di Polres Mukomuko, para petani diperiksa marathon. Hingga jelang tengah malam. Pada proses itu pendamping hukum tetap dijegal. Tidak boleh bertemu. Setelah semua pemeriksaan selesai. Barulah pendamping hukum diberi kesempatan bertemu-- dikawal lima anggota.
Polda Bengkulu bantah penangkapan tidak sesuai SOP. Bahkan membantah jika
ada polisi yang memukul. Meski bukti sudah jelas-- luka di pelipis petani. Sungguh
itu hanya pengakuan yang mencoba mengaburkan fakta. Kini, para petani itu resmi
jadi tersangka. Tuduhannya mencuri.
Apa? Apa saya tidak salah baca. Memang makna mencuri itu berubah-- mengambil
barang ditempat kita sendiri?
Lain lagi dengan Pak Gub. Setelah kejadian baru bergerak. Apa Pak Gub
tidak tahu ada pepatah lama mengatakan sedia payung sebelum hujan? Atau barangkali
itu tidak berlaku buat Pak Gub. Kecuali mungkin untuk ajang Pilgub ya? barulah
tuh warga dicari-cari. Sampai ke pelosok-pelosok.
Sebab masalah ini rupanya sudah lama. Tapi seperti dibiarkan
berlarut-larut. Setelah viral baru sibuk. Rapat kiri kanan. Lalu menanyakan
HGU. Kok baru sekarang? Memang kemarin seluruh data-data soal HGU itu tidak
diperiksa. Atau tidak perintahkan pejabat terkait untuk memeriksa itu?
Rasa-rasanya beginilah hampir seluruh kepala daerah. Terlalu euphoria atas
kemenangan di Pilkada. Kemudian lupa kerja baik untuk warga ke depan. Padahal data
dan fakta soal konflik sudah berlangsung lama. Laporan soal konflik juga sudah
disampaikan Kepala Desa Talang Baru kepada kepala daerah. Tapi apa mau dikata. Jauh
api dari panggang.
Ketidaksigapan pemerintah daerah. Kesombongan PT DDP. Dan tidak adanya pilihan lain para petani. Konflik yang berlarut-larut. Membuat para petani dan keluarganya rugi dua kali. Pertama para petani itu masuk penjara. Kedua, keluarga mereka juga terancam tidak terpenuhi penghidupannya.
Anak barangkali paling berdampak. Biaya sekolah agak sulit terbayar. Jika
sudah begitu. Tidak ada pilihan lain selain berhenti. Harapan untuk melanjutkan
pendidikan barangkali akan pupus. Juga perbaikan nasib dengan peluang mendapat
pekerjaan lebih baik-- setelah pendidikan tinggi-- akan menjadi lebih sulit. Penderitaan
karena kemiskinan akan bertambah lagi.
Mantan Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Satyawan Sunito menilai para
petani itu bukan kriminal. Alasannya para petani itu hanya berjuang untuk keluarganya.
Tidak lebih dari itu. Karena itu, kasus ini seperti negara berat sebelah. Hanya
membela para pemilik pemodal. Pandangan itu mengarah pada kapitalistik.
Karena itu, para petani harusnya mendapat perhatian lebih. Tidak seharusnya
mereka diperlakukan demikian. Dan konflik semacam ini hampir terjadi di seluruh
Indonesia. Tapi negara seperti tidak dapat berbuat apa-apa di tengah
penderitaan para petani. Tidak heran rasanya jika jumlah petani Indonesia terus
merosot.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar