Belajar dari Kisah Novi (Bagian 2)
Kisah cinta tidak selalu tentang romatisme. Kehidupan nyata
itu lebih kejam dari kematian. Foto kemesraan itu ilusi. Maka berhati-hatilah.
Ingat pesan Bang Napi “Kejahatan terjadi bukan hanya karna ada niat pelakunya,
tapi karena ada kesempatan. WASPADALAH!!! WASPADALAH!!!.
Di luar dari efek negatif, media sosial telah jadi media yang
amat ampuh untuk menegakkan hukum. Yang kita tahu hari ini terus-terusan
tercabik-cabik. Bahkan dari dalam pelaksana hukum itu sendiri. Viral. Ini adalah
sebuah kata sangat berguna bagi kontrol sosial di masyarakat. Telah banyak
rasanya kata viral ini mempengaruhi proses hukum. Salah satunya kasus
pemerkosaan di Luwu Timur lalu. Termasuk juga kasus Novi.
Karena viral. Proses hukum seperti berjalan sesuai harapan. Di kasus
Novi misalnya. Karena menjadi atensi publik dan viral dimana-mana. Pihak
kepolisian seperti bergerak cepat. Termasuk melakukan pemeriksaan kepada
terduga pelaku. Meski selama ini, penyelesaian kasus hukum seperti sangat sulit
diakses publik. Seperti pada akhirnya kasus-kasus yang lainnya. Apalagi ini
terkait dengan institusi Polri.
Harapan kita. Tentu ini menjadi bagian dari gerakan reformasi Polri
secara keseluruhan. Sebab sudah menjadi rahasia umum saya kira. Institusi
Bhayangkara ini menjadi sorotan. Mulai dari keterlibatan perampokan, penjualan
peluru kepada KKB, pemerkosaan, pembunuhan, keterlibatan kasus narkoba dan
lain-lain. Kita tentu tidak ingin noda-noda itu terus-terusan menjadi inang di
Polri. Sebab kita juga tahu, ada juga anggota Polri yang baik.
Ketiga, penegakan hukum harus lebih cepat dari kata viral itu. Sebab
rasa-rasanya menjadi aneh ketika penegakan hukum itu mesti dikontrol oleh kata
itu. Tidak ada orang yang kebal di mata hukum. Begitu kira-kira kita sering
mendengarnya. Tapi faktanya sungguh berbeda. Banyak kasus yang kemudian serius
diusut ketika viral. Kita tentu ingat bagaimana viral itu bekerja pada kasus
kehilangan anak baru-baru ini.
“TWITTER PLEASE DO YOUR MAGIC!!! Di sini gua mau coba cari adik gua
yang udah hilang beberapa tahun. Terakhir ada di
rumah itu sekitar tahun 2015/2016. Kita udah coba cari ke mana-mana, bahkan
udah lapor polisi juga,
tapi tetep ga ada hasilnya” tulis akun arllnath. Dan its magic. Tak kurang dari
24 jam pemilik akun menemukan adiknya.
Bisa dibayangkan betapa efek luar biasanya kasus ini. Terutama kepada
institusi Polri. Tentu orang akan sangat sulit menemukan kata yang tepat dalam
mendeskripsikan ini; di luar dari makian hingga sindiran yang menggema. Kalimat
lapor Polri lima tahun, tidak ada hasil. Lapor ke twitter langsung ada hasil
dalam waktu 24 jam. Ini tidak bisa dibendung. Sangat sulit.
Keempat, dari kisah ini kita seperti sedang berkaca. Bagaimana
keiintiman kita kepada keluarga. Terus terang saja. Saya seperti menemukan diri
saya dalam kisah ini. Sulit rasanya menemukan dukungan dari internal keluarga
jika terkait masalah sosial. Apalagi jika itu kasus kehamilan di luar nikah. Ini
seperti aib yang harus dibuang jauh-jauh.
Bahkan, dulu katanya darahnya halal dibunuh. Sungguh mengerikan. Dan
mengerikan lagi. Itu diceritakan turun-temurun. Seperti heroism dalam membasmi
“keaiban” dalam keluarga itu. Dulu, sekali lagi, dulu. Jika tidak dibunuh maka akan dibuang. Dihilangkan dari silsilah keluarga dan diusir dari kampung. Istilahnya
dikalangan bugis “difattongkori tana”.
Walau tidak semua begitu. Ada juga berani melalui kesulitan pantangan
itu. Mereka yang berbuat lalu kemudian bertanggung jawab secara sosial. Ada
sedikit perubahan disitu --pelan namun pasti. Ada juga yang menyelesaikannya
secara adat. “Lisu mepparaka bola”. Atau banyak istilah lain yang dipakai
dikalangan masyarakat.
Tapi umumnya, seperti yang dialami Novi. Tak ada diskusi. Langsung
justifikasi. Padahal jika menggunakan akal sehat. Kasus seperti ini tidak lepas
dari diri kita sebagai mahluk sosial. Apalagi secara arti filosofis. Lebih
dalam lagi. Bahwa jika ada kebaikan maka tentu akan ada kejahatan. Semua
berpasangan. Lalu ketika menerima kebaikan tapi tidak menerima kejahatan. Itu
sama saja tidak menerima ke-ada-an daripada ke-diri-an.
Dari kasus Novi ini, kuat dugaan seperti itu. Justifikasi karena
pengaruh dominasi sangat kuat dan mengakar. Pengakuan Novi seharusnya patut
diapresiasi oleh siapapun. Terutama kepada si bangsat dan keluarganya.
Keberanian Novi pada posisi itu sangat luar biasa. Novi menentang dan menantang
dirinya sendiri. Dan itu berhasil dia atasi. Tapi dukungan tidak dia temukan
pada orang lain.
Perasaan malu atau siri dalam bahasa bugis oleh si bangsat dan
keluarganya adalah pembunuh Novi. Begitu juga keluarganya yang menilai Novi
sebagai aib keluarga. Dalam sebuah buku yang ditulis Kazuo Murakami “The Divine
Message of The DNA” kalimat negative dari berbagai pihak telah menghacurkan
hidup Novi. Itu yang kemudian membuat Novi seperti sendirian. Menanggung
segalanya sendirian. Lalu mengakhiri hidupnya.
Jangankan manusia. Pohon paling besar sekalipun, ketika kau umpatin
dengan kata “mati” juga akan berguguran. Seperti yang dilakukan orang-orang di
Kepulauan Solomon. Ketika mereka hendak membunuh pohon yang dianggap
mengganggu. Mereka hanya akan meneriakinya setiap hari dalam beberapa jam. Dan
ajaibnya pohon itu perlahan menggugurkan daunnya. Lalu mati.
Terakhir, doakan dan ikhlaskan Novi. Kuatkan Ibunda Novi. Kepada Polri,
kita harap kasus ini ditangani secara profesional. Kepada keluarga Novi;
menyesallah. Karena penyesalan memang datang belakangan. Setelah itu,
bangkitlah. Jadi pribadi yang terbuka. Terakhir kepada si bangsat, menyesallah
juga. Setelah ini jadilah pribadi yang lebih baik.
#akumencintaimu
Catatan : tulisan ini pernah saya posting di facebook pribadi saya tanggal 5 Desember 2021
Komentar
Posting Komentar