Kampus Sunyi, Mahasiswa Tuli
Di Makassar, 11 Maret lalu. Ada sekolompok mahasiswa--lakukan demo.
Menolak Pak Menko Perekonomian; Airlangga Hartarto. Dalam sejumlah dokumentasi--tidak
banyak. Mungkin hanya puluhan. Atau juga belasan. Saya tidak dapat memastikan.
Demo itu bersamaan kegiatan Partai Golkar. Maka, ada desas desus. Berseliweran--kemana-mana
dan dimana-mana. Juga di media sosial; ini menarik. Katanya; menurut isu itu,
demo ditunggangi. Itu mungkin. Juga yang lain mungkin.
Apalagi, demo tidak sekali. Pak Menko bahkan diikuti. Hingga di titik
kegiatan; Hotel Claro Makassar. Disitu, ada insiden kecil. Adu mulut.
Mahasiswa; bentangkan spanduk. Bersama kader partai, sempat tegang. Dari adu
mulut ke adu jotos--sekilas. Tidak begitu terlalu.
Mahasiswa lalu bubar. Ambyar. Tak tentu arah. Lalu ada isu. Insiden itu
berbuntut laporan. Entah apa kelanjutannya. Kita tunggu. Barangkali ada episode
selanjutnya. Jika perlu seperti sinetron Tersanjung. Sampai 8 series.
Sepengetahuan saya. Hanya itu demo di Makassar. Sepanjang Maret ini.
Mungkin sepanjang awal tahun ini. Yang isunya nasional. Penolakan Menko Perekonomian.
Yang jika dikira-kira. Erat terkait dengan situasi hari ini. Harga minyak
goreng seperti teh celup, gula, gas elpiji, daging--bahan pokok. Mahal.
Dari peristiwa ini. Sejujurnya, saya bingung. Mahasiswa “lain” sedang
apa? Mereka dimana? Kok rasa-rasanya hilang. Tapi jika hilang. Kampus-kampus
sepi kan. Ini tidak. Masih ramai. Buktinya, ada mahasiswa buat
kegiatan--Inagurasi. Acaranya meriah. Mereka tampak baik-baik saja.
Beberapa waktu lalu juga begitu. Mahasiswa buat kegiatan. Ada pemilihan
ditingkat Makassar. Juga ramai. Beritanya dimana-mana. Lalu terpilih ketua.
Tapi sayang; ada gambar tak ada suara. Mainnya barangkali lain. Entah itu apa--nyusu
ke pejabat, mungkin.
Eh, lima hari lalu juga. Ada mahasiswa buat diskusi buku.
“Ha? Diskusi buku?”
“Iya, diskusi buku”
Kenapa kaget. Kan bagus jika buku didiskusikan. Dari buku akan ada literasi
yang baik. Apalagi untuk mahasiswa. Di tengah disrupsi kecepatan TI. Mendiskusikan
buku itu penting. Memberikan perspektif baru. Atau memberikan harapan baru.
Saya suka, jika mahasiswa diskusi buku. Keren itu.
Kalau Ibu-ibu antri minyak goreng--ada dua orang meninggal. Gula
langka, lalu harga naik. Gas elpiji, harga naik 100 persen. BBM juga sama.
Hingga listrik mencekik. Itu bukan bagian penting. Apalagi mahasiswa “lain” itu.
Mereka sedang asyik. Menikmati hari-hari dikampus.
Tidak ada beban mereka itu. Orang tua di kampung pusing--tujuh keliling.
Demi bayar SPP--anak manja nan kesayangan di kota. Mereka enak-enak.
Paling-paling main tik-tok--joget-joget tidak jelas. Atau post foto terbaik di
IG. Lebih menarik. Banyak like dan komentar. Terkenal.
Jika puas berleha-leha di kampus. Saatnya keluar. Cari perhimpunan.
Ikut kader. Sekian hari--diberi materi. Dicekokin “doktrin”. Setelah selesai,
mejeng media sosial--pamer. Copy pasti quotes keren. Mantap.
Kemana-mana, bawa buku. Entah dibaca atau tidak. Bawa saja. Pergi ke
cafe shoop. Atau warkop. Harga Rp.25.000.
“Sudah naik harga ya. Bulan lalu perasaan harganya Rp.15.000 ji”
“Iya, sudah naik. Biaya transport bahan baku naik bela. Akibat BBM
naik”
“Oh, begitu”
Lalu sunyi.
Duduk manis. Sambil ngopi. Buka buku. Baca dua halaman-- tutup. Lalu
bercerita ngalor ngidul. Puas, kemudian pulang. Ke kasir, bayar kopi--uang
kiriman orang tua bulan ini, berkurang lagi.
Ramai-ramai politisi ingin tiga periode. Disampaikan terbuka. Tanpa
malu-malu. Bahkan seorang Menteri mengaku punya data--110 juta; tapi tak ingin
diungkap ke publik. Menteri lain, buat kebijakan teh celup; buat kebijakan,
lalu ditarik.
Kebebasan berekspresi dikebiri. Jurnalis tulis laporan-- dipenjarakan.
Aktivis HAM buka data hasil riset-- ditersangkakan. Dan sekelumit lainnya.
Apakah ada suara mahasiswa “lain” itu? Nyaris tidak ada.
Tahu-tahu, kaget. Tidak ada badai. Apalagi hujan. Mereka mejeng di
Istana. Bertemu Pak Presiden. Turut mendampingi Menteri Sekretaris Negara
Pratikno dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Diskusi soal kebangsaan.
Kenapa mereka tidak demo ya? Kan Pak Presiden suka di demo. Ya walau
demo di depan Istana-- payung hitam, tidak pernah digubris. Atau kadang-kadang ada
kunjungan mendadak.
Berpikir positif. Mahasiswa dialog--kepentingan rakyat; harga-haraga
pada naik. Lagian, mereka ini kan agen of change. Komunikasi secara head to
head rasanya masuk akal. Apalagi, disampaikan langsung ke Pak Presiden.
Lagian, demo itu ya, ngeri-ngeri sedap. Butuh energi banyak. Tidak Cuma
itu. Keringat harus bercucuran. Darah kadang menetes. Bahkan sampai
nyawa--harus melayang. Atau kalau tidak. Adegan smackdown. Setengah mati. Maka
lebih baik jadi penurut--diam adalah emas. Kasihan.
Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Wiji Thukul
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar