Kedok Belanda Teliti Sejarah Indonesia
Masih ingat kunjungan Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima di
Indonesia? Jika sudah lupa, kita ingatkan kembali-- kunjungan itu dilaksanakan tanggal
9-13 Maret 2020. Itu adalah kunjungan kenegaraan khusus.
Salah satunya misinya adalah melakukan permintaan maaf atas agresi
militer Belanda pasca Indonesia mengumandangkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus
1945.
Pada waktu itu, sejujurnya saya sangat respek atas sikap Belanda itu.
Tapi akhir-akhir ini saya mulai ragu. Walau keraguan itu sudah terlambat. Sebab
ada sejumlah orang yang mempertanyakan itu.
Salah satunya, kolumnis dan jurnalis; Rahadian Rundjan. Dalam sebuah
kolom di DW Indonesia, Rahadian mempertanyakan ketulusan Belanda untuk meminta
maaf-- patut dicurigai sebagai bagian pelarian pelanggaran HAM.
Permintaan maaf oleh Belanda memang aneh. Pasalnya pada tahun 1995 dan
tahun 2000, Belanda juga pernah berniat melakukan hal yang sama. Tapi di dua
waktu yang berbeda setengah dekade itu tidak dilakukan.
Khusus untuk tahun 1995, niatan itu sungguh kontroversi. Kata Rahadian
dalam tulisannya, niatan Belanda minta maaf itu begitu sumir-- meminta maaf
kepada Soeharto yang dikenal sebagai pelanggar HAM.
Maka dari situ, kita sedikit punya gambaran mengenai ketulusan Belanda
itu. Bahwa Belanda hari ini memang menyampaikan permintaan maaf; iya. Lalu apa
itu sudah menghapus segala bentuk kekejaman yang dilakukan kepada rakyat nusantara?
Tentu tidak. Belanda seperti hanya cari-cari muka.
Belum lagi permintaan maaf itu hanya berlaku untuk periode 1945-1950. Jangan
lupakan juga orang-orang Belanda merasa tahun-tahun itu sebagai masa bersiap;
artinya tidak ada pengakuan atas kedaulatan Indonesia dimasa periode itu. Taik
kan.
Lagian permintaan maaf Belanda itu bagian dari hukuman. Iya, itu hukuman.
Sebab dalam masa periodisasi itu, Belanda dinyatakan bersalah di pengadilan. Itu
berdasarkan pengadilan yang diperjuangkan oleh Yayasan Komite Utang Kehormatan
Belanda (K.U.K.B.) yang dipimpin Jeffry Pondaag.
Bahkan, Belanda juga diberikan sanksi untuk memberikan ganti rugi
sebesar €20,000 kepada janda korban penembakan tentara-- belum juga sepenuh dan
seluruhnya ditunaikan.
Dari fakta dan data ini saja kita sudah bisa menyimpulkan. Bahwa apa
yang dilakukan Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Maxima adalah sebuah “keterpaksaan”--
inilah maksud kunjungan kenegaraan khusus itu-- putusan pengadilan.
Lucunya, Raja Belanda Willem Alexander pada kunjungannya tahun lalu itu
juga membawa sejumlah pengusaha Belanda. Ini bisa dikata :keterpaksaan” itu
dibungkus sangat rapi-- mengejar “kolonialisme”-- secara ekonomi.
Kenapa? Pertama, karena kunjungan itu seakan-akan menjelaskan bahwa
Belanda tulus menyatakan permintaan maafnya. Kedua, kedatangan sejumlah
pengusaha Belanda itu seperti ingin memperkuat kerjasama. Walau faktanya memang
selama ini kerjasama Indonesia dan Belanda dalam perdagangan cukup besar.
Tapi disinilah bentuk kelicikan itu -- menutup “keterpaksaan”
seolah-olah begitu ikhlas dengan memperkuat bentuk kerjasama diberbagai bidang ekonomi.
Tidak berhenti disitu, Belanda kini menyusun strategi baru. Melakukan
pendekatan akademik dengan membiayai sebuah proyek penelitian tentang dekolonisasi,
kekerasan dan perang Indonesia selama 1945-1950. Anggaran dalam proyek
sangatlah besar; 4,1 juta Euro atau sekitar Rp 65 miliar.
Proyek ini dikerjakan lembaga Belanda-- Lembaga Ilmu Bahasa, Negara,
dan Antropologi Kerajaan Belanda atau KITLV; Lembaga Belanda untuk Penelitian
Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD); Lembaga Penelitian Belanda untuk
Sejarah Militer (NIMH).
Jangka pelaksanan penelitian ini selama empat tahun. Sayangnya, proyek
ini tidak melibatkan pemerintah Indonesia. Ini menjadi pertanyaan selanjutnya. Ada
apa?
Jika pertanyaan itu dijawab-- keterlibatan Indonesia yakni menggandeng
peneliti Indonesia-- apakah itu dapat menjamin keindependenannya? Saya kira itu
cukup rumit untuk diterima secara akal.
Apalagi, selama proses pembuatan proposal hingga penentuan goal daripada
penelitian itu masih belum bisa dipastikan. Apalagi proyek ini dibiayai penuh
pemerintah Belanda. Maka tidak heran jika proyek ini bisa jadi sebagai bagian
dari kelicikan Belanda itu.
Tidak hanya itu, proyek ini juga dinilai sangat ambisius. Bahkan
dinilai sarat kepentingan tertentu. Jika dilihat dari lembaga yang terlibat
dalam penelitian itu. Sungguh berat rasanya jika tidak mengatakan bahwa akhir
dari penelitian itu hanya akan menguntungkan satu pihak yakni Belanda itu
sendiri. Pelibatan sejumlah peneliti Indonesia-- di dalamnya sejumlah nama yang
tersorot tidak kapabilitas-- turut mendukung keyakinan itu.
Maka wajar jika kemudian Jeffry Pondaag dan sejumlah aktivis dan
peneliti sangat menentang proyek tersebut. Sebab peran ganda Belanda dan misi
terselubung sangat mungkin ada.
Apalagi ihwal penerimaan proyek itu juga diyakini sangatlah bermuatan
kepentingan. Termasuk di dalamnya keterlibatan Lembaga Penelitian Belanda untuk
Sejarah Militer.
Oleh karena itu, kita sebagai orang yang menerima dampak daripada
kolonialisasi Belanda sulit menerima proyek itu. Apalagi dampak daripada kolonialisasi
hingga kini masih sangat terasa. Terutama masalah dampak psikologis korban
secara langsung. Entah itu anak daripada korban atau keluarga korban kekejian
militer Belanda di masa itu-- masa paling memilukan buat bangsa dan negara ini
dimasa lalu.
Monumen 400 ribu jiwa di Kota Makassar-- rasa-rasanya tidak dapat
mengurangi apapun. Termasuk rasa sakit yang secara turun temurun disarakan.
Monumen itu hanya legasi yang sama sekali tidak dapat menghilangkan kerusakan
mental-- inferior dan superior-- dalam ranah budaya dan ras.
Bahwa ini menjadi bagian yang sangatlah nyata. Dimana Sebagian dari
masyarakat kita seperti selalu mengangkat dan mendongakkan kepada bangsa
kulit putih.
Di dalam buku Architects of Deception yang ditulis
Juri Lina. Terdapat tiga cara untuk menghancurkan suatu bangsa. Pertama,
kaburkan sejarahnya. Kedua, menghilangkan atau hancurkan bukti-bukti
sejarah bangsa itu sehingga tidak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya.
Dan ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan bahwa
leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Maka dapat dikatakan bahwa dekonstruksi kembali sejarah yang digagas dan
dibiayai Belanda tidak dapat dijadikan dasar kebenaran mutlak. Jika perlu, kita
menolak proyek tersebut dengan sejumlah pertimbangan yang telah disebutkan di
atas.
Sekaligus, ini seharusnya menjadi motor bagi peneliti Indonesia untuk
menulis sejerahnya sendiri dengan tangan terbuka-- jujur tanpa ada kepentingan
selain pelurusan sejarah itu sendiri.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar