Masak Rebus atau Tidak Becus



Tiba dari Makale, Sabtu pagi. Turun di depan Perwakilan Litha-- depan Kodam Hasanuddin. Seorang laki-laki tambun, mendekat. Lalu menawarkan ojek. Saya tidak menanggapi; diam juga tidak menoleh. Barang yang diturunkan harus diperhatikan-- dari bagasi bus. Takut ada yang kelupaan.

 

Setelah semua beres. Berbalik dan bertanya.

 

“Berapa?”

 

“20.000 ribu”

 

Kuperhatikan betul lelaki itu. Matanya merah. Mungkin belum tidur. Atau entah yang lain. Giginya sedikit kuning. Pakaian agak usang. Memegang helm berwarna hijau. Disitu tertera amat jelas; grab. Belum juga handphone saya dibuka. Lelaki itu menurunkan harga. “15.000 Pak, jalan meq”. Oke, gass.

 

Di tengah jalan. Kami bercerita. Banyak hal. Termasuk apa pernah hujan se-pekan ini. Hingga tentang minyak goreng. Si Tambun tertawa. Saya tanya, kenapa tertawa. Katanya, lucu. Ketika murah, minyak tidak ada. Setelah mahal, minyak dimana-mana. Kalimat itu buat saya ikut tertawa-- terbahak.

 

Ini segelintir cerita. Tentang rakyat, di tengah kesulitan. Mereka masih tertawa. Meski memaksakan diri-- melakukan itu. Tidak ada pilihan lain. Jika protes, rasanya percuma. Toh tidak didengar juga. Hanya buang waktu. Mending ngojek. Cari duit, buat keluarga. Meski pas-pasan. Bahkan kurang-- semua serba mahal.

 

Bagi pemerintah, ini seperti bukan soal. Buktinya, di Makassar. Apa sudah ada tersangka kasus penimbunan minyak goreng? Rasa-ranya belum ada; mesin pencarian google. Coba dicek. Ada dua pengungkapan kasus di Makassar; 21 Februari dan 16 Maret. Tapi seperti tidak ada progress, mungkin.

 

Kita coba bergeser ke dua hari lalu. Ada kegiatan unik. Atau mungkin sedikit menggemaskan. Digagas Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar-- Festival Merebus. Atau mengajak warga “tinggalkan” menggoreng.

 

Sekitar pukul 06.00 pagi. Pak Wali keluar rumah. Bersepeda menuju Pasar Terong. Berburu bahan baku-- festival merebus. Sambil diskusi kepada pedagang. Tak berapa lama. Ubi, jagung dan pisang ditangan. Lalu, balik ke rumah. Di Jalan Amirullah.

 

Pak Wali begitu cekatan. Tiga bahan tadi dibersihkan. Dapur dan peralatan masak disiapkan. Selang berapa menit. Masakan telah siap. Syukurnya, rebusan tidak gosong. Pak Wali lalu menimati rebusan itu. Tidak lupa menghadap kamera. Cekrek.

 

Ditempat lain. Bapenda Kota Makassar juga melakukan kegiatan sama. Bedanya, cukup ramai. Banyak orang terlibat. Uniknya, makanan hasil rebusan itu dibagi. Kepada warga. Kegiatan bertujuan mulia. Mengatasi kelangkaan minyak goreng. Hahaha.

 

Ajakan merebus ini. Tidak hanya di Makassar. Tapi digagas juga Ibu Ketua Umum PDIP; Megawati Soekarno Putri-- di Jakarta, kemarin. Cie Ibu Mega. Sudah beralih kemasakan lain kah. Kan Pak Prabowo lebih suka nasi goreng buatan Ibu.

 

Wih, tak tanggung-tanggung. Demo masak Ibu Mega menghadirkan chef terkenal. Bahkan ahli gizi juga dipanggil. Keren ya. Semua dapat ini-- cara masaknya juga informasi gizinya. Kalau Ibu Mega buat acara tidak perlu diragukanlah ya. Pokoknya lengkap.

 

Oh iya. Ibu Mega itu sangat peduli. Apalagi soal kelangkaan minyak goreng ini. Dalam sebuah webinar. Ibu Mega mengkampanyekan ide kreatif memasak. Tanpa menggoreng; rebus, kukus dan bakar.

 

"Saya tuh sampai ngelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng. Saya itu sampai mikir, 'Jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya” kata Ibu Mega.

 

Tapi tunggu. Saya tidak tahu. Tepatnya mungkin bingung. Ajakan merebus itu solusi?

 

Jika merebus dikata sehat. Itu soal lain. Tidak terkait sama sekali. Itu hanya permainan kata-kata. Tidak lebih. Kalau kesehatan warga yang diprioritaskan. Urus kebijakan soal BPJS yang amburadur itu-- jangan di korupsi. Tuh, di Bulukumba. Bukan mata lebar-lebar. Kemanusiaan dinomorduakan. Bangcad kan.

 

Ajakan merebus ini barangkali bisa dikata bukti. Jika tata Kelola negara tidak becus. Tidak mampu pecahkan masalah. Lalu menawarkan hal lain. Ibaratnya begini “Bensin mahal, maka tidak usah pakai motor/mobil, jalan kaki atau pakai sepeda saja. Lebih sehat”. bangcad kan.

 

Lagian ya, Pak Mendag seperti tidak tersinggung masak rebusan. Biasa saja. Jadi, mungkin ajakan Demo Masak Ibu Mega atau program Festival Rebus Pemkot Makassar perlu digalakkan lagi.

 

Bangga; kebun kelapa sawit terbesar di dunia. Luas-- ada dimana-mana. Tidak sedikit tanah rakyat dirampas. Pengamanan pakai polisi. Ketika rakyat melawan, “akan” dipenjarakan. Sampai waktu ketika minyak goreng mahal. Arahkan rakyat merebus. Luar biasa.

 

Karena tidak punya pilihan lain. Rakyat seperti Pak Tambun hanya mampu tertawa. Tawa yang tentu telah dimodifikasi. Dari sebuah kegetiran yang tak bertepi.

 

Jika tak mampu-- mundur. Beri kesempatan kepada anak bangsa lain.

 

“Ada uang pas ta?”

 

“Tidak, itu sudah pas”

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya