Ustad Abdul Somad Dideportasi Singapura
Saya tidak kenal Ustad Abdul Somad. Blio-- Ustad Abdul Somad-- lebih
lagi. Dipastikan tidak kenal saya-- manusia dengan seupil ilmu agama. Saya hanya
tahu. Itu juga tidak tahu sangat. Jika Blio itu pendakwah. Dosen tapi kemudian
memilih mundur.
Lebih banyak saya tahu Blio dari video-video singkat. Di sosial media berseliweran.
Entah di facebook atau instagram. Di whatsapp juga sering ada. Saya perhatikan
kadang-kadang. Video Blio itu diupload untuk cari kepopuleran-- orang-orang-- yang
entah siapa.
Jika potongan-potongan video itu kontroversi. Wow, penontonnya luar
biasa. Bisa sampai berjuta-juta. Apalagi Blio itu memang popular; katanya. Tapi
bisa dikata begitu. Saya intip-- tidak follow-- akun Blio di instagram ada 6,5
juta pengikut. Infonya akun itu pernah disuspend; entahlah.
Selain cari popular. Ada juga orang-orang yang upload video Blio karena
suka konten ceramahnya. Beberapa teman-- saya kenal baik, pernah upload video
Blio. Tidak hanya nonton. Kadang-kadang teman itu mengajak menonton video Blio.
Untuk hal ini, belum pernah saya lakukan-- secara serius-- suer.
Ada beberapa pertimbangan. Dalam beberapa hal-- saya dan Blio beda pendapat.
Untuk hal ini, biarlah saya tahu saja. Tidak elok rasanya jika ditulis di sini.
Dan dalam beberapa hal. Saya juga sering sependapat. Salah satunya Blio itu
masuk kampung-kampung untuk berceramah-- ke pelosok Kalimantan bahkan pernah. Itu
sulit dilakukan ustad atau pemuka agama lain.
Perbedaan dan persamaan itu adalah hal yang biasa. Rasa-rasanya hidup indah
karena hal itu. Maka saya kira sudah tepat. Founding father Indonesia
memproklamirkan Bhinneka Tunggal Ika-- berbeda-beda tapi tetap satu. Sungguh itu
mulia. Dimana dari Sabang sampai Merauke satu ikatan-- Indonesia Raya.
Begitulah kira-kira kilas pandangan saya kepada Blio. Pun jika ada ceramahnya
tidak sesuai nurani saya. Tidak pernah sekalipun saya mencaci maki. Juga tidak
pernah marah. Pandangan saya, itu barangkali kesalahan Blio. Nantinya juga akan
dipertanggungjawabkan. Kepada manusia juga kepada Tuhan.
Dua hari lalu. Info yang beredar. Blio dideportasi dari Singapura. Negara
kecil-- tetangga kita. Blio datang ke Singapura bukan untuk dakwah. Blio ke
Singapura untuk jalan-jalan-- wih tinggi juga level jalan-jalannya Blio ya. Ngeri-ngeri
sedap juga. Ya minimal ribuan dollar tuh ongkosnya. Wkwkwk
Ke Negeri Singa itu bersama rombongan. Bersama sahabat Blio. Ada juga istri
dan anaknya. Mula-mula, seluruh rombongan masuk tanpa hambatan. Melewati pihak
imigrasi Singapura. Terakhir, Blio. Tapi dicegat. Dipisah dari rombongan lain. Dan
kembali disatukan.
Dalam sebuah video singkat. Blio mengaku ditempatkan di ruangan sempit.
Ukurannya berkisar 1x2 meter. Usai dideportasi, Blio lalu memberi klarifikasi. Jika
secara administrasi Blio lengkap. Pihak imigrasi Singapura juga tidak
menjelaskan detail perlakuan itu.
Yang unik, komentar Dubes Indonesia untuk Singapura, Bapak
Suryopratomo. Katanya, Singapura tidak ingin menjelaskan alasan dibalik
peristiwa itu. Dubes itu kan untuk kepentingan diplomatik. Jika komentar Pak
Dubes hanya mengulangi penjelasan Ustad Abdul Somad. Saya kira semua orang
bisa.
Kita ini butuh penjelasan. Kenapa itu dilakukan? Pertanyaan ini dilontarkan
bukan karena yang tertimpa soal itu adalah Blio-- Ustad Abdul Somad. Tapi ini
soal perlindungan hak warga negara. Harus jelas dong alasannya. Jangan buat
publik berpolemik. Itu adalah bagian dari tugas Dubes bukan-- aneh. Atau jangan-jangan--
nah ini-- tidak ingin kepikiran itu. Tapi begitu sulit rasanya untuk mengatakan
tidak.
Jika soal ini tidak dijelaskan. Maka kita patut bertanya. Apa Singapura
itu punya martabat atau tidak sebagai sebuah negara? Come on, terus terang sajalah.
Singapura inginnya apa. Sampaikan dong! Ini masih soal kecil loh. Sekali lagi
ini bukan karena Blio ya. Ini soal hak-- memperoleh informasi atas tuduhan.
Atau apa ini watak negara Singapura yang sebenarnya? Iya?
Jujur, peristiwa ini merefleksi saya kembali. Tentang Singapura dengan
segala gemerlapnya. Salah satu negara dengan tingkat pendidikan terbaik di
dunia. Tapi tunggu, mungkin kolaborasi untuk pemberantasan korupsi bisa dikata
nol besar-- untuk Singapura. Memang tidak ada kewajiban. Sebab tidak ada
kerjasama ekstradisi dengan Indonesia.
Lagian ya, di Singapura itu ada undang-undang. Menggolongkan jenis
perusahaan tertentu. Dan tidak mewajibkan melakukan verifikasi oleh pemerintah--
dengan beberapa syarat. Sehingga, pemerintah Singapura bisa tidak ikut campur. Atas
keuangan perusahaan yang bersangkutan.
Aturan itu melonggarkan para bangcad-- koruptor-- dari Indonesia. Menghindari
perampasan harta sebagai sitaan negara. Dengan menggunakan perusahaan fiktif. Taek
kan. Makanya banyak koruptor Indonesia cinta Singapura. Catatan saya, tidak
kurang 20 koruptor pernah kabur ke Singapura.
Paling mendidih amarah saya ketika tahun 2018 lalu. Salah satu buron korupsi
kondesat SKK Migas-- si bangsat Honggo Wendratno-- sedang nongkrong di salah
satu cafe di Singapura. Cafe itu di pinggir jalan. Bersebelahan dengan Nando's
dan toko Royal Sporting House-- salah satu toko mahal di Singapura.
Dalam sebuah gambar yang beredar. Nama yang tertera di dekat cangkir
teh si bangsat itu tertulis “PAUL”. Bisa jadi si bangsat itu ganti identitas di
Singapura. Hingga kini, si bangsat itu masih berkeliaran di sana. Apa Singapura
mendeportasi si bangsat itu? TIDAK. Taek kan.
Jika Ustad Abdul Somad dilarang berkunjung ke Singapura. Dengan alasan
yang tidak jelas. Atau kita mengalah karena Not to Land Notice. Kenapa Singapura
tidak berlakukan hal sama kepada para koruptor? Atau karena koruptor itu
menyumbang-- investasi uang haram?
Hei Singapura, coba-cobalah bercermin. Lihatlah diri Anda dari dalam! Masihkah
bermartabat?
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar