Wajah Keadilan di Soppeng



Beda nasib. Barangkali kalimat itu dapat mewakili-- dua peristiwa. Di Kabupaten Soppeng. Sebuah peristiwa yang mungkin sebagian orang. Mungkin juga kebanyakan orang. Hanya sebuah hal yang biasa. Atau karena alasan-- sudah terbiasa menyaksikan peristiwa serupa.

 

Rakyat kecil. Tidak berpendidikan. Minim pengalaman. Miskin lagi. Nelangsa tiada akhir-- terabaikan oleh negara. Dapat bantuan beras miskin-- hanya karung beras bermerk keren-- isinya berulat. Tapi, itu masih bagus-- jika ada. Jika tidak, sisa gerutu. Sambil menikmati kepedihan hidup.

 

Namanya Natu. Umurnya sudah senja-- 75 tahun. Bersama anaknya-- Ario. Kepala keluarga yang bertanggung jawab. Umur masih 32 tahun. Serta Sabang-- saudara Natu-- juga paman Ario. Umurnya 47 tahun. Ketiganya ditangkap polisi. Atas tuduhan menebang pohon jati.

 

Katanya, pohon jati itu masuk kawasan hutan. Tapi, itu kebun Natu. Telah lama dijadikan tanah garapan. Untuk menggantungkan hidup-- untuk kehidupan duniawi yang kejam. Secara turun temurun disitu. Pohon jati yang ditebang itu. Hasil tanam sendiri. Oleh keluarganya-- juga buyutnya.

 

Natu dan keluarganya tinggal di Lingkungan Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Soppeng. Puluhan tahun sudah, Natu dan nenek buyutnya menetap disitu. Menggarap lahan-- berkebun dan bertani. Hanya untuk hidup. Tidak ada kata mewah. Sama sekali tidak ada.

 

Tapi apa mau dikata. Natu dan keluarganya harus jadi terperiksa. Di Polres Watansoppeng-- 3 Maret 2020. Terperiksa kedua-- 2 April 2020. Ketiganya dijerat pasal 82 ayat (1) huruf b Jo. pasal 12 huruf b dan/atau pasal 82 ayat (2) undang undang no.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan.

 

Anda semua perlu tahu. Jika Natu menebang pohon itu. Bukan untuk dijual. Lalu foya-foya ke kota-- tidak. Sama sekali itu tidak pernah terbesit di kepala Natu. Atau Ario. Maupun Sabang. Anak Natu, Ario baru menikah. Selama ini hanya tinggal menumpang. Di rumah orang tuanya-- Natu.

 

Ario lalu berpikir untuk mandiri. Menghidupi keluarganya-- itu tanggung jawab-- bukan? Maka meminta izin untuk membangun rumah. Ditunjuklah pohon jati di kebun. Mau ditebang. Dibuat tiang, balok atau papan. Membangun rumah dari batu bata. Rasanya sulit. Butuh uang yang tidak sedikit.

 

Maka ada 55 pohon yang ditebang. Jadilah ratusan bahan pembuatan rumah. Tapi kemudian disita-- kasihan. Itu kemudian dijadikan barang bukti. Natu, Ario, dan Sabang diproses hukum. Tentu itu membingungkannya. Mana mungkin dikira bersalah. Sedang pohon jati itu di dalam area kebunnya.

 

Lagian, kebun itu ada pajaknya; PBB. Dibayar tiap tahun. Tidak pernah absen. Sejak tahun 1997. Jika sudah bayar PBB. Apa itu masih melanggar? Apa itu masih illegal? Apa itu masih bukan kebun Natu dan keluarganya? Sebelum peristiwa ini. Kakak Ario, Arida. Juga menebang pohon di tempat yang sama.

 

Syukurnya peristiwa itu tidak seperti sekarang. Tapi tidak ada masalah. Tidak ada yang melaporkan. Tidak ada pemeriksaan. Sampai kini, kayu itu masih dipakai. Di rumah, tempat Arida dan anaknya berteduh. Sudah 20 tahun tahun yang lalu-- tahun 2002.

 

Karena itu, kasus yang menimpa Natu dan keluarganya. Membuat warga di kampung khawatir. Juga bercampur emosi. Mereka hanya ingin hidup. Tidak ingin diliputi rasa was-was. Takut, kalau-kalau tanah garapan hilang. Diklaim sebagai hutan. Lalu tidak bisa digarap lagi.

 

Jika sudah begitu. Mau makan dari mana? Berharap bantuan pemerintah? Yang kemudian dijadikan alasan. Mengucurkan bantuan lalu dikorupsi. Begitu? Atau pembagian yang semau-maunya-- oknum camat, lurah atau kepala lingkungan. Banyak fakta yang bercerita soal itu. Bangcad memang.

 

Hampir setahun kasus ini bergulir. Pada tanggal 19 Januari 2021. Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watansoppeng memvonis Natu, Ario dan Sabang. Hukumannya tiga bulan penjara-- kasihan. Sebelum kasus Natu. Ada juga kasus lain yang serupa.

 

Masih di Kabupaten Soppeng. Dengan kasus yang sama-- menebang pohon di kawasan hutan lindung. Mereka adalah Sahidin, Jamadi, dan Sukardi. Dipenjara 150 hari. Kasus itu bergulir tahun 2017. Kemudian dibebaskan tahun 2018.

 

Berbeda jauh. Dengan kasus Anggota DPRD Soppeng-- Asmawi. Menebang pohon di dalam kawasan hutan. Luasnya sekira 4 hektar. Di Dusun Jolle, Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata. Pada sidang 12 Maret 2022 lalu. Sang penyambung lidah rakyat dituntut 2 tahun penjara.

 

Hal itu cukup beralasan. Sebab Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan cukup banyak bukti. Antara lain 620 item pump putih, 113 batang pasak kayu campuran, 87 batang tiang kayu campuran, 158 batang balok kayu campuran ukuran dan 1 unit mesin chin saw kayu.

 

Proses hukum si dewan cukup singkat. Jika dibandingkan dengan kasus Natu, Ario dan Sabang. Atau dengan kasus Sahidin, Jamadi, dan Sukardi. Kasus si dewan dimulai sekitar Agustus 2021. Lalu divonis 25 April 2022. Si dewan juga tidak ditahan. Sangat baik ya penyidiknya. Hehehe.

 

Beruntung, sang dewan divonis bebas-- dinyatakan tidak bersalah. Eh ini ber-untung atau gimana ya-- aneh-aneh rasanya. Kayak nano-nano. Alasan vonis itu karena fakta lokasi penebangan pohon. Katanya, berada di antara kawasan perkampungan cukup padat. Ada jalan raya. Juga dikelilingi perkebunan.

 

Maka atas dasar itu. Sangat sulit secara kasat mata untuk mengetahui. Bahwa di kebun tersebut terdapat kawasan hutan lindung. Sang dewan ini membeli kebun tanpa tahu itu masuk kawasan hutan lindung? Apa sang dewan tidak bertanya? Apa sang dewan tidak menelusuri?

 

Masa sih tidak. Kalau Natu, Ario dan Sabang. Atau Sahidin, Jamadi, dan Sukardi. Tidak melakukan itu, rasanya wajar. Mereka itu tidak pernah mengenyam pendidikan. Ario saja hanya tamatan sekolah dasar. Sedang sang dewan? Aduh. Jika secara aturan minimal SMA. Lagian kan dewan. Tepuk jidat.

 

Jika merujuk teori keadilan John Rawls-- theory of justice. Rasa-rasanya sulit kedua kasus diterima. Mulai dari prosesnya. Sampai pada vonisnya. Natu dan yang lain dipenjara. Si dewan masih bekerja aktif. Bahkan sampai berani menawarkan diri maju di Pilkada.

 

Atau memang demikianlah wajah keadilan itu hari ini. Kepada rakyat kecil-- sangat tajam. Kepada pejabat dan para manusia berduit-- begitu tumpul. Jika iya. Sungguh kasihan kita semua ini. Masih didoktrin untuk percaya dan percaya-- semua sama di mata hukum.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya