Yang Tersisa dari Pengeroyokan Ade Armando



Hingga kini, saya masih terngiang. Pengeroyokan Ade Armando-- kemarin. Video itu seperti akan tersimpan lama. Karena dua sebab. Pertama, saya pernah menyaksikan langsung. Pengeroyokan di jalan. Beberapa tahun lalu. Seorang begal ditangkap. Lalu dipukul habis-habisan. Hampir mati di tempat.

 

Kejadiannya di Kota Makassar. Ketika dulu masih banyaknya begal di kota ini. Juga geng motor. Mereka memang salah. Merampas milik orang. Bahkan juga melukai. Tidak jarang korban harus cacat. Seumur hidup. Maka ketika ditangkap. Itu sudah jadi resiko. Babak belur. Untung jika nyawa tidak melayang.

 

Kedua melihat tidak langsung. Sama seperti kasus Ade. Kasus pengeroyokan Haringga Sirila. Oleh supporter Persib Bandung-- Bobotoh. Kejadian tahun 2018. Dikeroyok sampai mati. Hanya karena ingin menonton bola. Tim kesayangannya-- Persija. Di kandang Persib--  Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA).

 

Sialnya, sebagian dari kita. Rivalitas olahraga merangsek terlalu jauh. Kesendi-sendi amarah. Yang tidak terkendali. Oleh akal sehat. Maka jadilah Haringga Sirila korban. Akibat eksistensi semu. Bahwa membela tim kesayangan. Harus dengan melayangkan nyawa-- dengan terpaksa. Bangsat.

 

Dua peristiwa itu. Seperti melengkapi kekerasan kepada Ade. Maka mungkin sulit bagi saya. Ingatan akan hilang. Kecuali saya hilang ingatan. Atau telah menghadap Tuhan.

 

Pengeroyokan begal. Pembunuhan Sirilia. Atau penghakiman kepada Ade. Semua punya motif sama. Kedangkalan akal. Dibarengi kuasa amarah. Barangkali semua sama. Tidak ada beda-- kekerasan. Dan itu tidak dapat dibiarkan. Oleh semua orang. Kecuali yang orang-orangan.

 

Tiap manusia punya hak hidup. Dijamin konstitusi. Sebagai wajah daripada penghormatan kepada HAM. Maka disitulah peran hukum. Ada pengadilan. Membagi lalu menimbang. Kemudian memutuskan. Secara adil untuk semua. Sekurang-kurangnya begitu.

 

Perampasan HAM adalah jalan terakhir; penjara sebulan, setahun, seumur hidup. Atau hukuman mati. Dari sebuah keputusan pengadilan. Tapi disinilah rumitnya. Bahkan bisa dikata akar dari hampir semua isu sosial. Sangat ruwet menimbang kata adil itu.

 

Apalagi jika adil sudah dibumbuhi. Harus-- kedua belah pihak puas. Tidak ada yang merasa dikucilkan. Dari keputusan itu. Maka begitulah beratnya pekerjaan APH. Dari kepolisian. Ke Jaksa. Ke Hakim. Lalu kepada pelaku dan korban. Belum soal sosial lainnya.

 

Dalam kasus ini-- pengeroyokan Ade. Bapak polisi punya peran krusial. Pertama, tentu harus menangkap pelaku. Sebab kekerasan semacam ini. Tidak boleh dibiarkan. Proses mereka itu. Sesuai perintah konstitusi. Ini penting. Agar hal serupa tidak terulang. Atas alasan apapun. Dan dimanapun.

 

Kedua, kasus Ade juga mesti ada kejelasan. Apalagi statusnya masih tersangka. Kupikir ini perlu diperiksa lagi. Tapi jika memang itu benar. Maka harus ada penjelasan. Kenapa kasus itu berlarut-larut. Bahkan pernah kasus ini di SP3. Tapi kemudian dibatalkan. Karena dipraperadilankan.

 

Dari sini, tentu sudah ada rasa curiga. Barangkali ada udang dibalik bikandoang. Tawaran untuk tidak curiga. Rasa-rasanya sulit. Lagian jika praperadilan itu membatalkan SP3. Maka barangkali ada prosedural hukum yang terlewat. Atau mungkin sengaja dilewatkan. Publik tentu akan bertanya. Karena mau tahu.

 

Rasa adil harus dan wajib hadir. Tidak boleh ditawar-tawar lagi. Saya kira Pak Kapolri tahu itu. Beliau tidak mungkin senang-senang saja. Jika bawahannya bermasalah. Maka prosedural harus jalan. Sesuai harapan rakyat. Harapan konstitusi. Bahwa semua warga negara. Sama di mata hukum.

 

Adil bukan berarti harus memaksa bukan. Maka jika Ade tidak layak. Maka mesti disampaikan. Apa runutannya sehingga Ade tidak layak. Saya kira itu pointnya.

 

Begitu juga dengan kasus lain. Seperti kasus Denny Siregar (Desi), misalnya. Atau Abu Janda (Abja). Apalagi tekanan publik. Baik Desi maupun Abja serumpun. Dan barangkali, bisa dikata sama-sama licin. Sebab ada beberapa laporan masuk ke kepolisian. Tapi seperti tidak jalan.

 

Berbicara soal kekerasan. Tidak hanya pada fisik. Bahkan secara verbal pun ada. Saya kira baik Desi maupun Abja. Hampir sama. Atau mirip-mirip. Keduanya seringkali tak ikut arus. Untuk keduanya, bagi saya. Tidak soal. Tapi sebagian orang-- kurang literasi dan masyarakat awam. Adalah lawan-- mungkin.

 

Khusus untuk Desi. Dia seperti menggunakan logika ganda. Menolak kekerasan terhadap Ade. Tapi disisi lain. Desi seperti tidak peduli-- mengirim bunga duka kepada korban KM50. “BEBAS! Terima Kasih Sudah Kirimkan Laskar FPI Ketemu Bidadari”. Diposisi ini. Saya melawan Desi. Itu tidak layak. Tidak bermoral.

 

Belum lagi tulisannya soal calon teroris. Kepada anak-anak santri di Tasikmalaya. Dan seluruh kontroversi lainnya. Ini sungguh rumit. Bagi kepolisian. Apalagi, ketiganya diduga sebagai buzzer. Yang lebih condong ke pemerintah. Untuk hal ini, saya diposisi tidak mempersoalkan. Tapi jika hanya memecah belah. Itu lain.

 

Kang Hasan dalam sebuah tulisan di facebook. Cukup gamblang mengurai. Terutama soal posisi bapak polisi. Menurutnya, ada satu problem pada tatanan hukum. Yakni pada posisi aparat hukum. Tidak bisa memilah antara ranah perbedaan pendapat, fitnah dan penghinaan.

 

Kata Kang Hasan, berpendapat bisa dituduh menghina. Atau memfitnah. Sebaliknya, memfitnah atau menghina bisa berlindung dibalik kebebasan berpendapat. Keterangan Kang Hasan ini mengarah kepada subjek. Atau orangnya.

 

Jika orang dengan kedudukan tinggi. Atau didukung banyak orang. Maka cenderung tidak tersentuh hukum. Tapi jika orang itu masyarakat kecil. Maka akan lebih rentan terkena tindakan hukum. Meski yang dilakukannya cukup sepele. Dan ya, nomenanya sudah demikan adanya-- kini.

 

Korupsi uang rakyat. Terbukti dipengadilan. Hukuman dipotong. Hanya karena alasan yang remeh-temeh-- kooperatif dan berprilaku baik. Di Makassar, jurnalis menulis berita. Sesuai kaidah jurnalistik. Dibenarkan Dewan Pers. Tapi dibui. Belum lagi kasus yang lain. Mungkin lebih banyak tidak terekspose.

 

Padahal adil itu sederhana. John Rawls seorang ahli filasafat. Penerima penghargaan Schock untuk Logika dan Filsafat. Dan Medali Kemanusiaan Nasional Amerika tahun 1999. Juga penulis buku A Theory of Justice menulis singkat adil itu. “Tidak ada keadilan tanpa kejujuran”. Dan itu problem semua orang. Barangkali, termasuk diri saya.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya