Kemiskinan dan Ketidakadilan di Tallo

Pertengahan tahun 2017, saya menemukan sebuah kelompok manusia. Tidak, saya tidak menemukan. Saya yang ditemukan. Mereka menamakan diri Ruang Abstrak Literasi. Kelompok manusia yang sederhana. Berbuat baik dan melakukan hal baik. Dari mereka, saya menemukan tempat baru. Bahkan, rumah baru; Tallo. Sebuah kawasan kumuh yang diabaikan. Barangkali juga dikucilkan.

Dulu, Tallo adalah kawasan mahkota. Tapi itu dulu. Ketika rumah Karaeng Patingalloang masih berdiri kokoh. Tidak hanya di Makassar. Batavia hingga Eropa mengenal baik kawasan ini. Musababnya, karena keterbukaan akan ilmu pengetahuan. Dan kini, itu hanya cerita. Bak dongeng pengantar tidur. Sisa kawasan makam raja-raja yang menjadi legasi. Penghubung dua era; keemasan dan keterpurukan.

Tallo jauh dari kerlap-kerlip kota metropolitan; lebih dekat kepada kemiskinan. Lalu, apa itu murni karena warga Tallo? Ini sebuah pertanyaan yang menarik. Jika ingin jujur, pertanyaan itu tidak layak diadakan. Sebab dari pertanyaan itu telah ada kuasa dan kehendak. Yang mungkin akan melahirkan jawaban tidak sejalan dengan pertanyaan itu sendiri; murni.

Kita hendaknya bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah kejayaan Tallo dimasa lalu dan kejatuhannya kini terjadi begitu saja? Atau karena ketidakmampuan penggunaan “kuasa dan kehendak” itu tadi? Bahwa faktanya di Tallo hanya dipandang sebagai wilayah kumuh atau miskin. Yang memang secara eksis benar terjadi demikian. Mata mungkin melihat tapi hati barangkali tidak dapat diabaikan.

“Berapa pemilih di rumahmu?” kata mereka datang silih berganti. Dari rumah ke rumah.

“Ta pilih ma, saya siap berjuang bersama warga Tallo” rupa yang berbeda datang kemudian.

Apakah tidak marah nuranimu jika hak yang layak kau dapatkan tapi kemudian diabaikan; tanah dimana warga berdiri, lahan membangun rumah, laut tempat mencari rezeki tidak diberikan kesempatan untuk mengelola. Atas dasar logika tidak dapat dikelola karena miskin. Lalu diserahkan kepada mereka yang punya uang; dibangun rumah susun dan laut ditimbun. Marahkah kau?


“Wilayah ini kumuh, perlu rehabilitasi. Kita akan bangunkan Rusun bagi warga”

“Makassar menuju Kota Dunia, makanya kita harus bersolek. Kita akan timbun laut. Nelayan akan kita berikan uang (baca: pinjaman) untuk bangun usaha”

Jika sekali waktu berkendara di Tol Reformasi, coba luangkan barang semenit saja bertemu warga. Tanyakan alas hak tempat mereka membangun harapan itu. Punyakah mereka? Jawabannya tidak. Mengurus itu di Tallo hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. Mereka harus berduit. Jangankan punya duit, itu juga belum menjamin. Kau bayar, surat-surat tak akan kunjung datang.

Lalu, dengan dasar penglihatan sekilas itu, kau sebut warga Tallo miskin? Kusarankan berhenti pakai kata itu. Lawan dari kemiskinan bagi warga Tallo bukan kesejahteraan tapi keadilan. Ya, warga Tallo miskin bukan karena mereka tidak kaya. Mereka miskin karena ketidakadilan sulit ditemukan di Tallo.

“Ada warga ditembak oknum petugas. Meninggal”

“Kasusnya belum ada penyelesaian, padahal bukan warga itu pelakunya. Hukum ini dimana? Dengan cara apa kami mendapatkannya?”

“Karaeng, istirahatlah dengan tenang. Kini keturunanmu yang melanjutkan. Tapi jika kau melihat ini, Karaeng. Jangan bersedih. Orang-orang sudah melek teknologi. Segala informasi mudah didapat Karaeng. Sedikit lagi mereka akan menyamaimu. Bahkan bisa melebihimu; tunggu seratus atau seribu tahun lagi” surat kaleng terdampar di Pantai Tallo, yang kini berlumpur itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya