Menguji Independensi Mahkamah Konstitusi

Pengesahan undang-undang Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 lalu mengundang reaksi yang tidak sedikit. Bahkan penolakan terhadap undang-undang busuk itu sangat massif diseluruh wilayah tanah air. Tapi, apa yang terjadi kemudian adalah pengabaian aspirasi dari rakyat tersebut.

 

Lolosnya undang-undang itu kini mulai terasa dampaknya. Sayang dampak yang dimaksud adalah dampak yang membuat hak rakyat semakin diabaikan. Termasuk pemenuhan sejumlah ha katas kepemilikan tanah di berbagai daerah. Buktinya konflik agraria terjadi dimana-mana. Dan negara seakan buta akan hal itu.

 

Konflik itu agraria sendiri tidak lepas dari sejumlah kooporasi yang kepemilikannya terkait langsung dan tidak langsung dengan sejumlah pejabat negara. Baik di tubuh pemerintah maupun di DPR. Bahkan DPR kini tak kurang dari 200 anggota yang merupakan pebisnis yang memiliki kepentigan atas undang-undang busuk itu.

 

Ketika parlemen jalan kemudian digerakkan oleh mahasiswa. Ini kemudian dituding ditunggangi oleh kelompok tertentu. Hingga tudingan jika para mahasiswa itu dibayar dengan menaikkan tagar mahasewa seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Ketika massif aksi tentang kelangkaan minyak goreng dan wacana penundaan pemilu.

 

Sementara Presiden Jokowi lebih memilih jalur normal di tengah ketidaknormalan demokrasi. Pasca pengesahan undang-undang busuk law misalnya, Presiden Jokowi meminta para pengkritik undang-undang itu untuk membawanya ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya itu adalah bagian dari proses hukum yang disediakan negara.

 

Apa yang diminta oleh Presiden Jokowi itu adalah hal yang tidak salah. Akan tetapi, hal ini rasanya sulit diwujudkan. Pengesahan undang-undang cilaka itu hampir bersamaan dengan revisi undang-undang Mahkamah Konstitusi yakni 1 Oktober 2020. Itu berarti hanya berselang satu bulan dengan pengesahan undang-undang cilaka. Revisi undang-undang ini adalah DPR-- Dewan Pengkhianat Rakyat.

 

Satu hal yang krusial didalam revisi undang-undang nomor 8 tahun 2011 itu yakni pasal 59 ayat 2 dihapus. Poinnya mengenai kewajiban pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi. Artinya bahwa dulu keputusan Mahkamah Konstitusi itu sah dan mengikat. Dan sekarang tidak lagi.

 

Data fakta terkait Mahkamah Konstitusi dimana keputusannya dipatuhi sebagian sekitar 5,5 persen dan 22,01 persen tidak dipatuhi. Jika ada yang menegaskan jika pemerintah Presiden Jokowi itu taat hukum maka mintalah untuk merenung kembali. Atau sekalian minta berkaca agar melihat buruk rupanya sendiri.

 


Belum lagi sejarah tentang hakim Mahkamah Konstitusi yang terikat skandal. Misalnya Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2013. Ketika itu Akil ditangkap bersama Chairun Nisa dan seorang pengusaha bernama Cornelis. Barang bukti yang diamankan tidak kurang dari Rp.2 miliar.

 

Empat tahun berselang. Hakim Mahkamah Konstitusi lain, Patrialis Akbar juga ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan. Hakim Mahkamah Konstitusi yang dikenal baik itu rupanya tergiur juga dengan dollar. Jika dirupiahkan mencapai Rp. 2 miliar lebih.

 

Terbaru, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman menikahi adik Presiden Jokowi, Idayati. Hubungan kekeluargaan antara eksekutif yang diwakili oleh Presiden Jokowi dan yudikatif yang diwakili oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman adalah sebuah kebangkrutan integiritas dan moral.

 

Sebab kedua pejabat yang menduduki posisi terpenting di tubuh pemerintah ini salit bertaut yang sangat sarat akan kepentingan. Bahkan, sejumlah kalangan menilai bahwa ini adalah bentuk adanya kecenderungan nepotisme. Sebab sangat memungkinkan terjadinya konflik kepentingan.

 

Disisi yang lain, kita terus-terusan dicekoki doktrin untuk percaya pada negara dan hukum. Sedang integritas para pejabat dan para penegak hukum tidak dapat mencerminkan sikap yang dapat dipercayai. Dan anehnya semua elemen bangsa seperti tidak dapat berbuat apa-apa. Ini ada apa? Ha?

 

Perlu kita tahu bersama bahwa peningkatan harta kekayaan adik ipar Presiden Jokowi itu bertambah Rp.21 miliar. Dan itu hanya berselang satu tahun. Bayangkan betapa luar biasanya. Rasanya sulit bagi kita untuk percaya tapi jika tidak percaya, kita bisa apa? Teriak minta Ketua Mahkamah Konstitusi mundur? Masuk kiri, keluar kanan.

 

Ke depan, Mahkamah Konstitusi akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus disegerakan. Dua diantaranya adalah gugatan Presidential Threshold 0 persen dan gugatan Ibukota Negara di Kalimantan Timur. Dua gugatan sangat sarat akan kepentingan untuk Presiden Jokowi ke depan.

 

Untuk dua gugatan itu saja, Ketua Mahkamah Konstitusi dapat dengan mudah kita tebak arahnya. Karena itu, sebaiknya Anwar Usman mundur dari posisinya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi demi kepentingan publik dan citra penegakan hukum.

 

Jika tidak, baiknya bubarkan saja itu Mahkamah Konstitusi. Kemudian buat lembaga yang lebih independent yang didalamnya terdapat orang-orang dengan kapabilitas dan independensi yang lebih baik. Diisi dengan tokoh-tokoh yang lebih progresif semacam almarhum Artidjo Alkostar dan almarhum Baharuddin Lopa.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya