Penjelajah Birahi di Pondok Pesantren

Seorang “ustad” berurusan dengan polisi; di Pinrang. Musababnya ada dugaan melakukan pencabulan. Ini masih dugaan. Tapi barangkali akan terjaring jeruji besi. Itu barangkali. Apalagi jika cukup alat bukti. Maka tentu saja kepolisian wajib proses kasus ini. Persisnya, belum jelas. Dari berbagai berita yang beredar. Kejadian pencabulan itu dilakukan di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes).

 

Bangsat juga. Marwah Ponpes yang kita kenal selama ini sebagai ladang ilmu agama. Malah dicabik-cabik begitu saja. Keamanan pada wilayah yang selama ini dinilai aman, rupanya belum menjamin kepastian. Rupanya manusia bangsat masih dimana-mana. Termasuk di lingkungan Ponpes. Sontoloyo. Kita tentu ingin si bangsat di Pinrang itu diseret ke meja hijau. Lalu dihukum setimpal.

 

Kejadian semacam ini bukan pertama kali terjadi. Semua wajib waspada. Manusia itu penuh topeng, kata Albert Camus. Oleh karena, sebutan “ustad” itu tak menjamin. Ayat yang disampaikan “ustad” kita wajib percayai. Itu hukum agama. Sudah sangat jelas. Dan kepada “si ustad”, jangan percaya begitu saja. Dia manusia biasa. Seperti halnya diri setiap orang; kadang-kadang sangat liar.

 

Seseorang pernah bertanya kepada saya. Bagaimana menurut ta dengan ustad A. Saya katakan, ustad A itu baik. Tapi saya tidak percaya seluruh kata-katanya. Saya harus menyimpan kecurigaan sekecilnya 20 persen kepadanya. Teman lalu kaget. Ia berkata, wah kamu itu gimana, kan ustad A punya banyak pengikut. Hafal banyak ayat dan lain sebagainya. Lalu saya hanya bilang, ustad A manusia biasa bukan nabi apalagi rasul. Jangan berikan kepercayaanmu secara keseluruhan kepadanya; itu sontoloyo.

 

Apa yang terjadi di Pinrang sebenarnya hanya pengulangan. Pengulangan atas ketidakberdayaan kita untuk berpikir secara kritis. Terutama kepada mereka yang sudah punya label “ustad” --bukan berarti saya mengajak untuk tidak percaya ustad. No, point saya bukan itu-- hanya saja sudah terlalu sering rasanya pelabelan itu menipu kita. Tidak sampai sekali atau duakali. Maka wajib waspada. Apalagi jika tak jelas asal usulnya. Tiba-tiba jadi ustad.

 

Peristiwa di Pinrang ini kembali mengingatkan saya kasus yang hampir serupa. Dekat dari rumah.

 

Menunggang waktu lebih satu dekade lalu. Di sebuah kampung kehebohan sedang terjadi. Katanya, seorang “ustad” diduga memperkosa santri. Desas desus itu merebak kemana-mana. Baunya busuk seperti bunga bangkai. Hingga tak terbendung lagi. Berpindah dari kampung satu ke kampung yang lain. Orang-orang gelisah; benar dan salah. Sejumlah orang mencoba menutup itu. Tapi tidak bisa lagi. Bahkan dengan ayat sekalipun.

 

Tak lama, seorang korban mengaku. Jadilah perbincangan dimana-mana. Bahkan sudah sampai pasar. Penjual ikan, penjual pakaian dalam hingga buruh angkut saling berbisik. Ya berbisik. Takut orang lain akan mengetahui. Takut dilabrak dengan ayat. Tentu saja. Ustad yang dicurigai itu begitu lihai membaca dan menghafal ayat-ayat. Pengikutnya banyak. Mereka tentu akan sangat marah. Sebab hanya itu yang bisa dilakukannya.

 

Pada akhirnya bangkai akan tercium juga. Dari satu pengakuan, ke pengakuan lain. Terungkap sudah; dari desas desus menjadi fakta yang disampaikan korban. Tidak hanya satu. Bahkan sampai ada yang diduga menggugurkan kandungan. Bangsat bukan?

 

Dari sejumlah pengakuan itu. Sampai ke pihak kepolisian. Laporan lalu disidik. Barang bukti dikumpulkan. Setelah dirasa memenuhi dua alat bukti yang cukup. Laporan dinyatakan lengkap. Kemudian diserahkan kepada ke pengadilan. Seluruh rangkaian itu tetap dilawan. Mereka yang tentu saja sebagai pemuja si bangsat. Tidak berhenti. Tidak mau menyerah. Bahkan hingga melakukan aksi demonstrasi.

 

Narasi hukum yang telah punya dua alat bukti yang cukup itu tidak diterima. Itu malah dikecam sebagai persekongkolan jahat untuk menjatuhkan reputasi si bangsat. Reputasi yang katanya selama ini dibangun atas dasar kecintaan kepada agama; dakwah dan mengajak kepada kebaikan. Agar mendekatkan diri kepada Tuhan. Bangsat bukan main bukan-- mereka seperti sama saja secara tidak langsung.

 

Tapi, hukum tetaplah hukum. Semua orang sama di mata hukum. Entah rakyat maupun ustad penghafal ayat. Semua sama. Kau bantah dengan aksi pun tetap sama. Pengadilan tentu saja tak gentar. Narasi dan demonstrasi dibalas dengan fakta dan bukti. Lalu hukuman tentu dijatuhkan. Si bangsat dan para pemujanya tetap kukuh. Walau sebagaian yang lain sudah tertunduk malu. Pujaannya terbukti. Dan bersalah. Si bangsat dihukum. Islam sontoloyo, kata Bung Karno.

 

Ops sorry, tadi salah ketik. Maksud saya, hukum tetaplah hukum; untuk mereka yang berduit. Atau minimal seperti Harun Masiku. Hahaha

 

#akumencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya