Peringatan Niccolo Machiavelli

Tidak ada kebebasan yang tidak diperjuangkan. Rupanya memang demikian adanya. Hari ini kita membuktikan sendiri. Bagaimana kebebasan berekspresi masih menjadi sesuatu yang abstrak di era demokrasi. Terutama dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Padahal dasarnya telah tegas dan jelas dalam konstitusi negara. Yakni dalam pasal 28 UUD 1945.

 

Ruslan Buton misalnya. Kini harus dibui karena narasinya. Ketika ia mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Tapi kemudian hal itu dinilai melanggar undang-undang yang diteken oleh Presiden RI pertama, Bung Karno yakni Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Tidak hanya itu, Ruslan Buton juga dijerat Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE.

 

Dilain pihak, undang-undang ITE banyak dinilai kontroversial. Disebabkan, dalam pengaplikasiannya lebih banyak tafsir penegak hukum daripada tafsir hukumnya. Maka dari itu, tidak salah jika undang-undang ini banyak menjerat mereka yang kritik terhadap pemerintah. Pemerintah yang hari ini seperti bekerja untuk dirinya sendiri.

 

Jurnalis senior, Farid Gaban juga tak luput bidikan. Padahal, Farid hanya mempertanyakan mekanisme kerjasama program KUKM HUB dengan Blibli. Farid mempertanyakan mekanisme pemilihan Blibli. “Apakah karena Blibli menang tender?”. Juga mempertanyakan alasan kementerian tidak membuat aplikasi penjualan online sendiri.

 

Apa yang disampaikan oleh Farid dalam cuitannya di twitter itu adalah murni bentuk kritik. Sebuah hal yang biasa terjadi dalam negara demokrasi. Sebab kritik pada dasarnya adalah ekspresi mengingatkan. Tentu saja terkait dengan kaidah-kaidah aturan yang berlaku. Pelapor sendiri pun tidak terkait. Ini ada apa?

 

Selanjutnya ada nama Diananta Sumedi. Mantan Pimred Banjar Hits kini mendekam dipenjara di Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Musababnya karena menulis berita terkait penyerobotan tanah. Sungguh ini sangat mengerikan. Sebab secara konstitusi, jurnalis dalam menjalankan tugasnya telah dilindungi oleh undang undang nomor 40 tahun 1999.

 

Mengerikan lagi, salah saorang jurnalis detik.com yang meliput Presiden Joko Widodo di Bekasi, diintimidasi. Bahkan diancam dibunuh. Hal yang sama juga dialami oleh pembicara dan panitia diskusi akademis di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Kupikir, hal semacam ini telah berakhir pasca reformasi 1998. Tapi rupanya tidak.

 

***

 

Machiavelli adalah seorang penulis Italia. Tepatnya ia lahir dan besar di sebuah kota bernama Florence pada 1469. Pada usia 22 tahun, Machiavelli meraih posisi tertinggi pada layanan sipil. Tapi kemudian, tahun 1512 pemerintah resmi Florance digulingkan oleh Medici. Machiavelli pun dipecat dan tahun berikutnya ditangkap dengan tuduhan menggulingkan Medici.

 

Setelah itu, Machiavelli menghabiskan waktunya untuk menulis buku. Dan yang paling terkenal The Prince (Pangeran) yang ditulis pada tahun 1513. Karya Machiavelli ini menjadi salah satu karya yang berpengaruh pada pemikiran politik. Bahkan hingga saat ini. Konon kabarnya, Napolean tidur dengan buku The Prince dibalik bantalnya.

 

Oleh karena itu, tidak salah jika Michael H. Hart dalam bukunya 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia menempatkan Machiavelli sebagai salah satunya. Hal ini tidak lain karena Machiaveli adalah salah satu dari sedikit penulis yang karyanya dipelajari secara seksama oleh filsuf dan politisi setelah kematiannya. Gayanya yang radikal adalah keunikannya.

 

Salah satu faktor yang membuat Machiavelli banyak dikenang karena keberaniannya mengungkap kebenaran dibalik kekuasaan. Dalam The Prince, Machiavelli memanisfestasikan sesuatu yang tidak lazim. Kata Machiavelli, manusia adalah makhluk yang tidak pandai berterima kasih, pendusta, penipu, takut bahaya, dan rakus. Sungguh sangat menghentakkan.

 

Karena itu, kata Machiavelli, pemimpin yang diperlukan untuk manusia adalah "yang ditakuti" bukan pemimpin yang dicintai. Cinta mudah putus, gampang pula diputusan, karena sifat manusia yang gampang berubah. Ini sungguh penyampaian yang tidak lazim. Dan jika dilihat situasi dan kondisi hari ini, maka bisa jadi kalimat akan menjadi fakta.

 

Kalimatnya yang lain dari Machiavelli, ideologi hakikatnya adalah pengetahuan mengenai cara menyembunyikan kepentingan, mendapatkan, serta mempertahankan kekuasaan dengan segala tipu daya. Radikal bukan. Jika saja hari ini Machiavelli hidup di Indonesia, mungkin sudah diciduk atas tuduhan yang sama terhadap Ruslan Buton atau Farid Gaban hingga Diananta.

 

Sebab kalau mau jujur, hari ini peringatan Machiavelli ini bisa jadi benar adanya. Apalagi gaya pikir Machiavelli sangat orisinil. Ia menumpahkan segala kemungkinan apa yang di dalam diri manusia. Terutama ketika manusia itu berkuasa. Bahwa ketika manusia memiliki kekuasaan, ia dapat menjadi sesuatu yang lain. Menjadi penipu, misalnya.

 

Penguasa yang paling banyak keberhasilannya, kata Machiavelli adalah penguasa tidak mau ambil pusing untuk menepati janji, tapi tahu bagaimana memanipulasi pikiran orang dengan cerdik. Agar tidak dikritik dan dimintai pertanggungjawaban. Yah kalau sekarang, mirip-mirip buzzeRp penguasalah dalam memanipulasi opini publik. Entahlah. Hihihi

 

Disisi yang lain, banyak menilai bahwa The Prince adalah buku pegangan penguasa diktator. Tapi, bagi saya Machiavelli bertujuan membuka mata publik. Bahwa apa yang terlihat oleh penguasa dengan segala kekuasaannya, bisa jadi adalah topeng. Topeng untuk menutupi manipulasi. Agar supaya konfrontasi dapat dilunakkan dengan citra kerja yang sebenarnya muslihat.

 

Karena itu, dari Machiavelli kita belajar untuk tidak mudah percaya kepada penguasa. Tapi bukan berarti ini alasan untuk tidak percaya atas apa yang telah dilakukan penguasa sepenuhnya. Kita mesti paham bahwa penguasa adalah manusia. Manusia yang berpeluang untuk melakukan manipulatif yang efektif. Terutama ketika berkuasa dan segala perangkat kekuasaan yang melekat kepadanya.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya