Sampai Kapan Kita Pelihara Keterbelahan
Pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Keterbelahan arus pemilih
terus menjalar hingga hari ini. Bahkan ketika Pilkada DKI tahun 2017 membuat
keterbelahan menjadi lebih rumit. Sebab arus pemilih Pilpres 2014 berubah
menjadi arus pemilih di Pilkada DKI.
Gonjang-gonjing wacana keterbelahan itu terus berputar tanpa henti. Atau
mungkin tepatnya tidak ingin dihentikan. Bahkan ada yang memprediksi akan sampai
pada Pilpres 2024 mendatang. Kedua kubu terus-terusan saling intip dan saling
serang. Kadrun dan cebong bertikai tiada kata berhenti.
Pertikaian ini tidak akan bernilai apa-apa dan tidak bermanfaat
apa-apa. Kecuali bagi mereka yang dibalik layar pertengkaran itu. Mereka yang menggiring
opini publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka yang dengan ceria
mengabaikan hati nurani dan masa depan kebangsaan.
Dilain pihak, pemerintah seperti acuh dan tidak mau tahu atas situasi kritis
ini. Pemerintah seperti tidak memandang penting. Karena barangkali orang-orang
dibalik mereka itu adalah bagian juga dari pemerintah. Dengan tentu punya
maksud dan tujuan tertentu. Entah karena elektabilitas dan popularitas atau
karena pelanggengan kekuasaan.
Presiden sebagai posisi tertinggi juga tidak memiliki kepekaan pada isu
ini. Meski dibeberpa kesempatan telah menyampaikan untuk menghentikan
keterbelahan dari dua kubu. Misalnya dengan melakukan rekonsiliasi. Akan tetapi
itu dinilai tidak lebih dari sebagai sekedar pidato atau himbauan. Sebab pada
prakteknya keterbelahan masih terus terjadi.
Warga pada lapisan bawah terus menerus dicekoki pertikaian yang membuat
dialektika menjadi tumpul. Tidak sedikit kerugian dari keterbelahan arus bawah
ini. Bahkan sampai pada titik nyawa harus melayang karena tingkat penerimaan akan
perbedaan itu menjadi sulit ditemukan.
Kelompok islam yang selama ini berada digaris perjuangan Prabowo
Subianto baik di Pilpres 2014 maupun di Pilpres 2019 terus-terusan diusik
bahkan diobok-obok dengan berbagai justifikasi. Tidak sedikit dari Ormas yang
dibubarkan secara paksa tanpa melalui pengadilan. Ini kemudian membuat kelompok
ini semakin keras memberikan perlawanan.
Pada Pilkada DKI 2017, kelompok ini juga ditengarai menjadi bagian dari
suksesi terpilihnya Anis Baswedan yang tidak lain adalah mantan Menteri
Pendidikan diperiode pertama Presiden Jokowi. Yang ketika itu kelompok ini
dinilai sebagai bagian dari kekalahan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok yang terjungkal akibat pernyataannya soal ayat al maidah 51.
Akibatnya, muncullah istilah islam monas yang diidentikkan pada gerakan
jutaan orang dari seluruh Indonesia untuk mendesak penangkapan kepada Ahok. Istilah
islam monas lalu bergeser menjadi kelompok yang dinilai radikal. Utamanya kepada
para dedengkot penggeraknya yang kemudian berbuntut pembubaran sejumlah ormas.
Kontestasi 2024 mendatang juga tidak bisa dipisahkan dari pertikaian
ini. Kubu Anis misalnya, sampai kini terus-terus dilabelin sebagai calon
presiden yang disokong oleh kelompok radikal yang secara tidak langsung
dijadikan wacana penjegalan. Dilain pihak, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto
yang jelas-jelas dulu disokong kelompok ini malah dipandang sebagai pihak yang “berlawanan”.
Pemeliharaan dan pertikaian dari dua kubu yang tidak ada ujung
pangkalnya ini, bagi saya kemudian melunturkan simbol kebangsaan yakni bhineka
tunggal ika dan cita-cita luhur bangsa Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Sementara dunia terus mengalami perubahan. Krisis pangan, perang fisik
di Ukraina, perang teknologi dan perang dagang antara Tiongkok dan Amerika, penemuan
energi terbarukan dan krisis iklim adalah masalah yang mesti dihadapi ke depan
sebagai bangsa.
Jika hanya fokus pada pertikaian itu, ke depan bukan tidak mungkin
Indonesia hanya akan jadi negara sampah dan negara pengikut. Dan prediksi mengenai
potensi Indonesia menjadi negara yang besar di masa yang akan datang hanya
utopia semata-- macan Asia akan tertidur selamanya.
Padahal secara dampak dari perubahan dunia itu sudah sangat terasa. Misalnya
tentang krisis iklim. Banjir rop di Semarang dan Jakarta, tenggelamnya sejumlah
wilayah di bagian Utara Jawa, banjir dan tanah longsor di berbagai wilayah, hingga
ketidakjelasan musim harusnya menjadi peringatan betapa penting pemerintah ikut
ambil bagian dari masalah krisis iklim ini.
Mitigasi dan edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan sangat
diperlukan. Coba bayangkan, pada pertengahan abad 19 jumlah karbon di udara sekitar
285 ppm setiap 1 juta molekul udara. Dan kini sudah naik menjadi 450-an. Itu berarti
kenaikan sekitar 2 kali lipat. Dan ini sangat nyata sekali untuk menjadi ancaman
keberlangsungan hidup di masa mendatang.
Jika berkaca pada Kesepakatan Paris mengenai krisis iklim dimana
Indonesia. Diputuskan untuk mengurangi karbon 50 persen tahun 2030, 25 persen
tahun 2040, dan 25 persen tahun 2050. Rasanya sulit ditepati bagi Indonesia
jika tidak dilakukan tindakan mulai dari sekarang. Pekerjaan rumah yang harus
dan wajib menunggu untuk diselesaikan.
Pertama, aspek yang menjadi perhatian adalah soal kebijakan. Dari sisi
ini, rasanya sulit untuk dapat diwujudkan dengan hadirnya undang-undang omnibus
law yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020 lalu. Undang-undang yang banyak
dikecam ini sungguh sangat merugikan lingkungan dan hanya menguntungkan para
oligarki di lingkaran pemerintah.
Kedua, aspek teknologi. Saat ini Indonesia jauh tertinggal dari negara
lain. Misalnya terkait pengembangan energi terbarukan seperti nuklir sehingga
tidak lagi bertumpu pada energi fosil dan emisi karbon yang sangat merusak
lingkungan. Memang kita sadari pengembangan nuklir di Indonesia terganjal dengan
kesepakatan negara-negara Asean. Tapi bukan berarti mundur untuk berinovasi
menemukan titik temu kelahiran keseimbangan energi seperti nuklir.
Faktanya bahwa resiko energi nuklir sebagai sumber energi secara statistik
sangat jauh jika dibandingkan dengan energi yang menggunakan fosil dan emisi
karbon. Jika dilihat dari angka kematian akibar nuklir hanya berkisar 4000
orang setiap tahun sedangkan kematian akibat fosil dan emisi karbon itu bisa
mencapai 7 juta orang.
Jika kedua hal itu tidak dapat dilakukan bangsa ini. Maka tentu masih
ada alternatif lain yakni pemenuhan hak masyarakat adat untuk mengelola sumber daya
alam yang dibarengi dengan mitigasi dan edukasi. Dan Indonesia sungguh sangat kaya
akan hal ini. Dari Sabang sampai Merauke Indonesia memiliki berbagai masyarakat
adat yang memegang tradisi untuk menjaga keseimbangan alam.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Professor Chris Bennett tentang bagaimana
masyarakat adat menjaga alam dan lingkungannya diungkap bahwa ada keseimbangan
dan keberimbangan pengelolaan alam yang berkelanjutkan untuk kemanusiaan pada
masa mendatang. Dan ini semua akan dapat kita wujudkan ketika pertikaian dua
kubu ini dihentikan lalu bersama-sama mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Komentar
Posting Komentar