Tualang Prof Chris Bennett Menemukan Indonesia

Chris Bennett lahir di Ingris. Menghabiskan masa kecilnya di negara Ratu Elizabeth. Juga sering menyeberang ke Prancis untuk menghabiskan masa mudanya. Chris mengaku sebagai manusia gado-gado. Turunannya berasal dari Inggris, Prancis, Irlandia, dan Swiss. Tapi berkewarganegaraan Inggris.

 

Untuk karir akademik Chris dimulai di Inggris yakni di Exeter dan di Manchester. Konsennya mengenai ilmu fitopatologi. Konsentrasi tanaman atau pohon. Setelah menyelesaikan kuliahnya. Chris lalu mengikuti kata hatinya. Menurutnya, itu sebuah cita-cita. Yang bagi saya itu pilihan yang sangat beresiko.

 

Chris memilih bertualang. Bertualang yang tidak biasa karena dilakukan dengan jalan kaki. Jaraknya tidak main-main. Dari Amerika Utara hingga Amerika Selatan. Meski perjalanan itu sepenuhnya tidak dengan berjalan kaki. Karena hal itu sangat tidak memungkinkan. Tapi sungguh itu adalah hal yang luar biasa.

 

Perjalanan itu ditempuh Chris selama 1,5 tahun. Selama perjalanan itu, Chris bersentuhan dengan banyak orang. Banyak karakter wilayah. Dilewati dengan berbagai metode dari jalan kaki, naik kuda, naik perahu, bus, truk dan lain-lain. Jika di Indonesia, perjalanan Chris ini mirip dengan yang dilakukan oleh Ricky Santoso.

 

Pengalaman ini membuat Chris berpaling dari negara sendiri-- Inggris. Pertemuan dengan banyak orang baru. Interaksi dengan wilayah yang asing. Dan sekumpulan cerita selama perjalanan itu membuatnya berhenti memikirkan Inggris. Chris tidak akan kembali ke sana untuk penghidupannya.

 

Ketika perjalanannya berhenti di Ushuaia. Sebuah kota di Negara Argentina. Dekat dari Antartika. Chris memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan itu. Karena itu, Chris memutuskan untuk mencari pekerjaan agar dapat melanjutkan perjalanannya. Katanya, itu bagian dari kata merantau bagi orang Indonesia.

 

Dalam pencariannya itu, Chris bertemu dengan seseorang yang berasal dari negaranya. Kenalannya dalam perjalanan itu mengajaknya untuk kembali ke London. Dengan suatu kabar baik akan diberikan pekerjaan untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan perasaan yang begitu emosional. Chris kembali ke Inggris.

 

Dibuatlah sebuah janji dengan teman barunya itu. Dalam sebuah jamuan, Chris lalu ditawarkan untuk sebuah urusan pekerjaan. Sangat jauh dari Inggris. Di Benua Asia, tepatnya di Asia Tenggara-- Indonesia. Dikenalkanlah Chris dengan Sumatera. Salah satu pulau terluas di dunia.

 

Pekerjaan itu pun diterima Chris dengan senang hati. Apalagi niatnya untuk tidak hidup di Inggris dapat terwujud. Meski dilain pihak, Chris sangat awam dengan Sumatera. Chris bahkan tidak mengenal Indonesia. Negara dengan kepulauan terbesar di dunia. Tapi itu tidak membuatnya ciut sedikitpun. Bahkan tertantang.

 

Di Sumatera, Chris yang ketika itu masih berusia 21 tahun bersentuhan langsung dengan masyarakat Minang di Kota Solok. Dengan karakter khas Indonesia, ramah dan kental dengan adat dan budaya. Di sini, Chris diminta untuk mengatasi masalah penyakit pohon cengkeh. Inilah alasan utama Chris diminta datang ke Indonesia.

 

Dengan bekal ilmu dari universitas yang telah diperolehnya, Chris lalu berhasil menemukan akar masalah dari pohon cengkeh tersebut. Tidak kurang dari lima tahun tinggal di Indonesia. Chris lalu mengakui jatuh cinta dengan Indonesia. Karena merasa cocok dengan iklimnya, makanannya, orangnya, dan segala hal tentang Indonesia.

 

Dari sini pula, Chris lalu mulai akrab dengan ekonomi dan antropologi. Terutama ketika bekerja dengan orang dari Universitas Harvard. Secara jujur, perubahan karir Chris dari konsen kepada pohon lalu lari ke ekonomi dan antropologi karena 99 persen belajar dari masyarakat Indonesia. Wow.

 


Chris kagum dengan etos kerja dan kesabaran orang Indonesia. Sangat antusias dengan konsep gotong royong. Dan tentu sangat bahagia belajar dengan adat dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Lebih menarik lagi, Chris juga mengakui sangat beruntung diterima oleh orang Indonesia. Terutama masyarakat Minang pada awal karirnya.

 

Kemudian setelah itu, Chris juga fokus pada aspek lingkungan. Yang menurutnya itu lebih luas dari penyakit pohon, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia. Chris lebih lagi mengkritisi secara terang-terangan terkait pengelolaan lingkungan. Chris bahkan pernah menulis tentang Local Endowments dan dibawakan dalam sebuah forum akademik.

 

Menurut Chris itu adalah bagian dari panggilan jiwanya. Atau dengan kata lain itu adalah jihadnya untuk meyakinkan semua orang Indoensia tentang kepentingan dari kearifan lokal. Terkhusus kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan. Katanya, itu adalah hal yang luar biasa dan patut untuk diperkenalkan.

 

Pada ratusan tempat di Indonesia, Chris telah menulis dan meneliti tentang kearifan lokal ini. Katanya, hal ini sangatlah penting untuk mengelola sumber daya alam secara ekonomis dan juga sayang kepada lingkungan. Meski Chris menekankan juga jika bukan hanya itu yang dapat membuat Indonesia maju.

 

Harus ada keberimbangan antara kearifan lokal dalam mengelola tanah, hutan, air, laut dengan ilmu modern. Hal ini belumlah menjadi arah pembangunan Indonesia. Secara tidak langsung, Chris mengkritik daya bangun pemerintah yang seakan abai pada hal ini. Lebih khusus pengelolaan air, kata Chris.

 

Untuk pengelolaan air, Chris mengaku akan sedikit provokator. Perubahan iklim secara global harus disikapi secara bijak. Boleh secara radikal tapi perlu perimbangan yang matang. Namun, Chris memilih untuk lebih soft walau sedikit nakal. Meyakinkan orang Indonesia tentang masalah itu perlu pada titik dasarnya.

 

Menjelaskan tentang emisi karbon kepada warga itu tidaklah tepat. Maka diganti dengan menjelaskan sumber daya air. Air itu bukan ancaman seperti banjir. Makanya dari hilir sungai sudah mesti dipikirkan tentang pohon dan hutan. Sehingga warga dapat mengerti secara cepat dan tepat tentang efek dari perubahan iklim global.

 

Menuju Indonesia eman tahun 2045, menurut Chris harus dilakukan secara bersama-sama. Terutama dalam perbaikan sistem yang bermuara kepada pemberdayaan masyarakat adat dengan kearifan lokalnya. Sebab dari sini, Indonesia akan menjadi juara dalam menghadapi krisis iklim pada masa yang akan datang.

 

Chris juga mengkritik para pembela lingkungan yang tidak pro investasi. Menurutnya, ekonomi dan lingkungan tidak bisa saling lepas. Keduanya kata Chris saling mendukung satu sama lain. Karena itu, Chris kemudian menggelar seminar dan kelas tentang mitigasi lingkungan kepada warga Indonesia seperti The COP26.

 

Katanya, ini sangat penting untuk keberlasungan hidup bangsa Indonesia ke depan. Bahkan juga berdampak pada tujuan Indonesia Emas 2045. Dan tentu saja mengakui dan menindaklanjuti kesepakatan Paris tentang emisi karbon. Meski kata Chris banyak orang Indonesia hanya mengikat janji tapi kemudian tidak ditepati.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya