Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Penguasa (RKUHP)
Utak atik Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (baca: RKUH Penguasa)
oleh pemerintah terus dilakukan. Bahkan gimmick kecurangan dalam pemulusan
pengesahan undang-undang kontroversi itu terang-terangan terjadi. Publik
sepertinya pengen dikibuli lagi dan lagi. Setelah sejumlah undang-undang
kontroversial lainnya lolos disahkan oleh Dewan Perwakilan (baca: Pengkhianat)
Rakyat (DPR).
Buktinya, draft RKUHP itu sulit didapatkan publik. Pekan lalu bahkan,
draft terbaru yang dimiliki publik adalah draft yang sebelumnya akan disahkan
pada tahun 2019. Seperti yang kita tahu, pada tahun itu pengesahan RKUHP ini
dibatalkan akibat penolakan publik yang sangat luat biasa hampir di seluruh
Indonesia. Hal itu yang kemudian membuat Presiden RI, Joko Widodo memutuskan
untuk menghentikan pengesahan RKUHP.
Kini, rencana pengesahan yang seperti disembunyikan itu kembali
mendapat penolakan dari publik. Sikap diam-diam ini dapat dimaknai sebagai bentuk
“kecurangan” dalam demokrasi yang mana partisipasi publik seharusnya
ditempatkan pada posisi nomor wahid. Namun, nyatanya hal ini tidak dilakukan.
Draft terbaru bahkan tidak diketahui rimbanya sehingga publik sangat sulit
dalam mengakses sejumlah perubahan dalam RKUHP. Termasuk di dalamnya salah
ketik, katanya.
Jajak pendapat terbaru oleh Litbang Kompas mengungkap bahwa 89,3 persen
responden tidak mengetahui rencana pengesahan rancangan undang undang yang dipelopori
oleh pemerintah tersebut. Jajak pendapat terhadap 519 responden secara acak
dari 34 provinsi di seluruh Indonesia melalui sambungan telepon yang dilaksanakan
15-17 Juni 2021. Tingkat kepercayaan data ini diproyeksikan mencapai 95 persen.
Data Litbang Kompas ini semakin membuat publik bingung sekaligus heran.
Sebab seharusnya jadwal pengesahan RKUHP yang sebelumnya telah ditolak secara
serius itu dapat diketahui secara terbuka. Hal ini bertujuan agar partisipasi
dan kritik publik terhadap RKUHP dapat dievaluasi secara berkala. Terutama pada
sejumlah pasal yang dinilai tidak mencerminkan peraturan dalam negara yang menganut
sistem demokrasi.
Dua pasal dari sejumlah pasal yang bermasalah dalam RKUHP adalah pasal
353 dan pasal 354. Di dalam pasal ini jelas sekali dirincikan mengenai ancaman
terhadap demokrasi yakni dalam kebebasan berekspresi yang telah dijamin dalam
konstitusi. Pasal ini mengatur jika perbuatan menghina kekuasaan umum dan
lembaga negara bisa dipidana penjara hingga 3 tahun. Berikut ini bunyi pasal
lengkapnya.
"Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina
kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," pasal
353 Ayat (1).
"Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III," pasal
353 Ayat (2).
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan
tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau
lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih
diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau
pidana denda paling banyak kategori III” pasal 354.
Jika kita bedah 2 pasal ini maka kita akan mendapati tiga hal. Pertama,
kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28E ayat (3) menjadi abstrak dan tidak
lagi tegak marwahnya. Kedua, pasal ini dapat dijadikan sebagai senjata oleh
sejumlah pihak untuk mengkriminalisasi atau membungkam siapa saja yang dinilai
berlawanan dengan kekuasaan.
Ketiga, pasal ini akan membuat ruang gerak publik dalam mengawasi kekuasaan
dan lembaga negara menjadi sumir. Sebab daya pikir kritis publik itu akan
diperhadapkan pada ancaman pidana penjara. Aktivis, akademisi, para
profesional, hingga jurnalis dapat menjadi sasaran empuk dari pasal ini.
Kemudaratan dari dua pasal ini saja sudah sangat kebablasan, belum lagi dengan
pasal-pasal yang lain yang jumlahnya belasan.
Sehingga baik kekuasaan maupun lembaga negara bisa dikata dapat lebih
longgar dalam pelanggaran HAM dasar warga negara yang tidak lain adalah
pembungkaman terhadap demokrasi itu sendiri. Dilain pihak, publik “dipaksa”
tunduk dan patuh terhadap kinerja dan kebijakan yang dibuat oleh kekuasaan dan
lembaga negara. Meski itu sangat jauh dari kata yang diharapkan.
Misalnya, jika kinerja lembaga negara seperti kepolisian yang amburadur
maka publik “dipaksa” terima saja. Seperti hari ini misalnya, anggota Polri
yang terbukti dipengadilan menerima suap lalu dipidana penjara tapi kemudian “dimaafkan”
dan tidak dipecat karena dinilai berprestasi-- maka publik terima saja dan
jangan protes karena dapat dinilai menghina lembaga negara sesuai pasal 353 dan
354 RKUP tersebut.
Oh iya, dalam penjelasan RKUHP untuk pasal 353 dijelaskan bahwa maksud
dari pasal itu adalah agar kekuasaan dan lembaga negara dapat dihormati. Agak
lucu juga penjelasan ini sebab bagaimana mungkin publik dapat memberi rasa
hormat jika kekuasaan dan lembaga negara seperti sarang dramatisasi-- hak
istimewa anggota Polri yang terpidana suap tapi berprestasi lalu tidak dipecat
hingga drama matikan mic Ketua DPR RI. Lucu.
Sebenarnya, tanpa diminta pun publik akan memberi hormat kepada
kekuasaan dan lembaga negara jika bekerja sesuai amanat konstitusi. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat, DPR menghasilkan undang-undang yang baik,
Polri menegakkan hukum secara presisi, lembaga kehakiman tidak main potong
hukuman koruptor, kepala daerah kerjanya jujur. Bukankah binatang sekalipun
tahu caranya memberi rasa hormat?
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar