Dari Rekayasa Kasus ke Reformasi Polri
Sebulan lebih kita disajikan tontonan bak sinetron. Judulnya “Polisi
Tembak Polisi”. Tempat kejadian perkara di rumah dinas mantan Kadiv Propam
Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo. Kasus ini bermula ketika kasus kematian Brigadir
J diungkap ke publik tiga hari pasca kejadian. Kecurigaan pun muncul; banyak
proses dalam tiga hari itu dapat direkayasa. Atau barangkali banyak skenario
yang sedang dijalankan.
Indikasinya adalah ketika pihak keluarga tidak diperkenankan untuk
melihat jenazah Brigadir J juga begitu lamanya proses kasus ini baru diungkap
mengundang atensi publik. Media juga terus melakukan sejumlah up date terbaru
mengenai kasus ini. Sejumlah wartawan bahkan terjun langsung di TKP. Sayang,
wartawan yang sedang bekerja itu katanya juga dihadang oleh polisi berpakaian
preman.
Publik pun semakin curiga. Ini ada apa? Pertanyaan itu terus mengemuka.
Lalu pelan dan pasti, sejumlah fakta mulai terungkap. Salah satunya
ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka. Seluruh skenario yang selama ini
dicurigai publik terkuak. Termasuk kecurigaan terhadap Ferdy Sambo yang dalam
kasus ini sebagai pelaku utama; merancang skenario hingga upaya penghilangan
barang bukti.
Penangkapan dan penahanan Ferdy Sambo berikut sejumlah anggota Polri
aktif lain yang diamankan dalam kasus ini membuat saya bingung; apakah saya
harus bersuka-cita karena kasusnya diungkap atau saya harus bersedih karena
institusi yang selama ini kita banggakan begitu lemahnya dalam penanganan suatu
kasus. Sebab ini juga menjadi bukti jika Polri sedang tidak baik-baik saja.
Jika selama ini kita masih menaruh curiga maka sekarang sulit lagi
untuk mengatakan itu. Sebab rasa curiga yang selama ini dipendam publik dibuka
sendiri oleh Polri. Dan mirisnya itu dilakukan oleh Divisi Propam yang tidak
lain adalah polisinya polisi-- sebuah ironi-- divisi tempat publik mengadu jika
ada anggota polisi yang tidak professional dalam memberikan pelayanan kepada
rakyat.
Maka sudah sewajarnya jika Presiden Jokowi kemudian mengatensi kasus
ini agar diungkap kepada publik secara terang-benderang. Apalagi, sebelum kasus
bergulir Polri sudah babak belur dengan sejumlah persoalan. Dan tentu Pak
Presiden Jokowi tidak ingin hal itu terus berlanjut. Marwah dan kepercayaan
publik harus ditarik kembali ke pangkuan institusi ini-- sama ketika institusi
ini dikepalai oleh Jenderal Hoegeng yang bersahaja itu.
Mengembalikan Polri sebagai pengayom masyarakat memang bukan perkara
yang mudah. Sebab rekayasa kasus semacam ini tidak hanya terjadi dilevel tinggi
Polri. Bahkan ini juga terjadi pada kasus yang kecil ditingkat Polsek. Kemarin
seorang teman bercerita-- meski informasi ini tetap perlu diverifikasi.
Katanya, dulu ada anggota keluarganya ditangkap karena narkoba. Sepekan
kemudian dibebaskan dengan tebusan sejumlah uang.
Kasus lain, misalnya rekayasa kasus yang menimpa Dedi tahun 2014.
Seorang tukang ojek di Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur. Dedi dituding
ikut mengeroyok sopir angkot hingga tewas. Dedi lalu diseret ke pengadilan dan
dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Dedi bersama kuasa hukumnya lalu naik banding
dan terbukti tidak bersalah. Dibebaskan setelah 10 bulan menghuni di LP
Cipinang, tepatnya 30 Juli 2015.
Dalam rentang waktu penahanan atas kasus yang tidak pernah dilakukan
Dedi itu, anaknya meninggal. Musababnya karena kekuarangan gizi. Bahkan, Dedi
juga tidak diizinkan untuk melihat anaknya untuk terakhir kalinya. Dedi baru
mendapat izin setelah mendapat jaminan dari pengacaranya. Itupun yang
disaksikan hanya pusara daripada darah dagingnya. Apa mau dikata, keadilan
telah terampas secara keji.
Kasus lain yang tidak kalah mengejutkan adalah rekayasa kasus pembunuhan
yang dilakukan oleh anak dibawah umur tahun 2013. Salah satunya diantaranya
adalah Ucok yang ketika ditangkap masih berumur 13 tahun. Ucok dan
teman-temannya dipaksa mengaku melakukan pembunuhan. Suatu perbuatan yang sama
sekali mereka tidak tahu yang kemudian hari terbukti dan dinyatakan tidak
bersalah ketika mengajukan banding ke MA tahun 2016.
Kesalahan yang dilakukan oleh polisi harus ditanggung oleh Ucok dan
teman-temannya. Hak Ucok untuk mendapatkan pendidikan berdasarkan amanat
konstitusi harus dibuang. Cita-cita yang sudah lama diidamkan harus pupus
begitu saja. Tidak hanya itu, orang tuanya juga mau tidak mau terkena imbas;
kerjaan terbengkalai, uang habis untuk biaya membala anak yang dicintainya.
Setelah bebas, Ucok bersama teman-temannya meminta keadilan kepada
negara. Bersama kuasa hukumnya dari LBH Jakarta, Ucok meminta ganti rugi atas
perlakuan negara kepada dirinya bersama teman-temannya. Gugatan diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, gugatan itu ditolak mentah-mentah
oleh hakim lantaran permohonannya telah dianggap kadaluarga. Hakim barangkali
lupa jika hak Ucok sekolah karena dipenjara tidak akan pernah kadaluars sampai
kapan pun.
Kasus kontroversial polisi terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Penembakan terhadap demostran di Kendari, penembakan terhadap warga penolak
tambang di Sulteng, pengroyokan dan penganiayaan terhadap mahasiswa yang
melakukan aksi unjuk rasa, intimidasi terhadap warga penolak tambang dan kebun
sawit, penyerangan terhadap masyarakat Wadas di Jawa Tengah dan sejumlah kasus
lain-- terakumulasi menjadi kemarahan publik dalam kasus “Polisi tembak Polisi”
yang direkayasa oleh Ferdy Sambo.
Karena itu, dari kasus Ferdy Sambo kita tentu berharap Polri terus
berbenah agar harapan dapat terus dinyalakan. Terutama didalam internal Polri
sendiri. Transparansi dan keterbukaan sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Penghilangan CCTV seperti pada kasus KM50, kebakaran karena puntung rokok,
rekayasa kasus Dedi, dan kasus lain tidak boleh lagi terjadi. Pengungkapan
mesti berbasis penyelidikan yang jujur dan adil.
Apalagi, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo punya visi misi
yang sangat bagus-- presisi. Sisa kita tunggu pengaplikasian dari ide yang
cemerlang itu. Sebab percuma idenya cemerlang jika tidak dilaksanakan dalam
tindakan. Lagian masyarakat butuh bukti. Nakana to mangkara ka, butti parallu
dekkeng. Maka siapapun yang terlibat dalam kasus kematian Brigadir J wajib
ditindak sesuai dengan hukum.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar