Ma’nene dan Tradisi Membangunkan Mayat di Toraja

Awal Agustus lalu, seorang kawan mengabari jika akan berkunjung ke Toraja. Kawan ini tidak sendiri, ada kawannya juga dari Jakarta yang akan menemani. Saya tentu menyambut dengan antusias. Untuk mobilitasnya di Toraja nanti, saya diminta untuk mencarikan tempat sewa motor. Saya lalu menyanggupi itu. Besoknya, saya memberi sejumlah kontak beberapa penyewaan motor.

 

Percakapan itu terus berlanjut hingga kawan ini tiba di Makale, Kabupaten Tana Toraja. Malamnya, kita mengatur jadwal untuk bertemu sambil bernostalgia. Sebab kawan ini pernah satu kantor dengan saya di Kantor Berita Harian Rakyat Sulsel. Namanya Kifli. Kifli lebih dulu tiba di sebuah warung kopi, dekat pinggir sungai yang membelah Kota Makale.

 

Di warung kopi itu, Kifli rupanya tidak sendiri. Dia juga janjian untuk bertemu Arnas, fotografer kece yang kini bekerja untuk Kantor Berita Antara. Kifli dan Arnas satu organisasi di PFI. Tapi, ini kali pertama saya bertemu dengan Arnas. Perawakannya tinggi besar, gondrong dan anti sabun pencuci muka (hahaha). Menurutnya, jurnalis itu anti hal yang seperti itu.

 

Di sela-sela diskusi itu, Kifli juga kembali memastikan jika Andri juga akan hadir. Andri ini juga anggota PFI, kini bekerja untuk kantor saya dulu bersama Kifli, Harian Rakyat Sulsel. Sebelumnya, ketika diskusi awal tentang rencana ke Toaraja, Dia juga telah menyampaikan. Tapi kali ini dipastikan jika Andri juga ikut ambil bagian. Tidak sendiri, Andri bersama seorang kawannya yang juga anggota PFI lainnya, Niaz.

 

Andri dan Niaz datang dua hari kemudian. Naik bus dari Kota Makassar. Tiba di tempat saya sekitar jam 6 pagi. Arnas yang sebelumnya balik ke Enrekang, juga sementara dalam perjalanan. Rencananya pagi itu akan berangkat bersama. Kifli dan temannya dari Jakarta menunggu di Kota Rantepao. Arnas tiba hampir jam 8 pagi. Semuanya lalu bersiap, mengecek barang kembali dan berangkat.

 



Hari pertama, saya tidak ikut. Berhubung karena di kampus sedang ada rapat mendadak. Padahal sebelumnya saya menyampaikan akan ikut ambil bagian. Maklum, saya belum pernah menyaksikan Ma’nene secara langsung. Hari kedua, juga sama. Kegiatan di kampus rupanya masih berlanjut sehingga saya kembali hanya menyaksikan hasil foto kawan-kawan yang sudah terbit dibeberapa media. Termasuk media internasional; AFP.

 

Pada hari ketiga, hampir saja saya tidak ikut. Beruntung, sekitar jam 8 pagi, saya mendapat kabar jikalau kegiatan dikampus ditunda ke hari berikutnya. Segeralah saya menyampaikan niat itu ke Arnas. Mengemas segela perlengkapan dan berangkat. Sebelum masuk Kota Rantepao, kami singgah di sebuah toko membeli roti untuk sarapan. Juga beberapa cemilan yang barangkali nanti dapat dimakan jika waktu makan siang tiba.

 

Setelah semua beres, kita lanjut perjalanan langsung ke lokasi, ke Tangatondo, Pangalla. Perjalanan ke sana memakan waktu lebih dari satu jam. Di ujung Kota Rantepao setelah melewati jembatan, belok kiri terus mengikuti kelokan sungai. Jalan itu membawa ke Kecamatan Tikala, lokasi Ma’nene pada hari pertama dan kedua. Di Tikala, perjalanan dilanjutkan sekitar 1 jam ke Pangalla.

 

Ketika tiba, kegiatan Ma’nene sudah berlangsung. Saya yang berboncengan dengan Andri sangat antusias. Ini kali pertama menyaksikan kegiatan adat yang sangat mengharukan nama Toraja di seluruh dunia. Untuk sampai di lokasi, saya menapaki jalan setapak, membelah area persawahan. Rupanya, di sana sudah ramai. Pemilik hajatan sudah melakukan prosesi adat sekitar 50 persen. Karena mayat yang akan dibersihkan sudah dijemur.

 

Dua diantaranya bahkan sudah berdiri dan diikatkan pada sepotong bambu yang sudah ditancapkan ke tanah. Para keluarga sangat bahagia. Mereka bersuka cita membersihkan tubuh keluarga para leluhurnya dengan kuas dan perlatan lainnya. Setelah semua dibersihkan, pakaiannya kemudian diganti dengan yang baru. Lalu dipakaikan. Para keluarga juga terlihat sangat bahagia.

 


Satu mayat berjenis kelamin perempuan masih dibaringkan. Ini dilakukan untuk mengeringkan beberapa bagian yang masih basah. Menurut penuturan pihak keluarga, mayat ini meninggal tahun 2020. Salah satu anak daripada mayat ini baru tiba dari Yogyakarta. Ketika Sang Ibu meninggal, dirinya tidak sempat bertemu untuk terakhir kalinya. Semua karena covid-19, kata perempuan berkulit putih itu kepada saya.

 

Saya merasa ini adalah moment yang emosional. Seorang anak bertandang ke kuburan, lalu membangunkan mayat Sang Ibunda untuk digantikan pakaiannya. Barangkali, ini juga penebus atas ketidakhadiran sang anak pada sisi ibundanya ketika hendak meninggalkan alam dunia menuju alam baka. Atau jangan-jangan ini adalah makna dari Ma’nene itu. Entahlah.

 

Ketika seluruh prosesi adat sudah selesai. Para keluarga lalu berkumpul dan berfoto bersama dengan para leluhur yang kini telah jadi mayat itu. Semua kerabat bersuka cita dan bergembira. Tidak ada sedikitpun kesedihan diwajah mereka. Pengabdian dan penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal telah dilakukan. Ada rasa lega dan bangga di tengah kegembiraan itu.

 

Sesi foto pun diakhiri dengan bersama-sama memasukkan kembali mayat ke dalam peti jenazah. Lalu bersuka cita mengembalikan kembali ke dalam kuburan. Seusai seluruh proses selesai, para keluarga yang datang dari perantauan biasanya mengunjungi keluarga yang ada dikampung untuk bersilaturahmi. Karena itu, kegiatan Ma’nene tidak hanya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal tapi juga kepada keluarga yang masih hidup.

 

Kegiatan Ma’nene sendiri dilaksanakan oleh masyarakat Toraja sekali dalam satu tahun yakni hanya pada bulan Agustus. Tapi ada beberapa wilayah di Toraja yang melaksanakan Ma’nene tiga tahun sekali. Alasan dipilihnya bulan Agustus karena Ma’nene hanya bisa dilakukan setelah musim panen. Kepercayaan masyarakat Toraja, jika Ma’nene digelar sebelum masa panen maka sawah akan diserang hama.

 

Makna dari adat Ma’nene bagi masyarakat Toraja bukan hanya penghormatan dan penghargaan kepada leluhur. Tapi juga bermakna keberkahan atas penghormatan dan penghargaan berupa hasil panen yang melimpah. Hal ini berdasarkan catatan sejarah awal mula adat Ma’nene itu sendiri. Ketika seorang pemburu bernama Pong Rumasek masuk hutan di pegunungan Balla. Pong lalu menemukan jasad manusia.

 


Karena kondisi jasad yang memprihatinkan. Pong kemudian membawa jasad itu untuk dikenakan pakaian yang layak lalu dikuburkan kembali. Atas tindakannya itu, Pong mendapatkan banyak berkah. Hasil panennya sangat melimpah dari biasanya, bahkan lebih cepat. Tidak hanya itu, ketika pergi berburu ke hutan, Pong juga dengan mudah mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Maka diturunkanlah adat tersebut kepada anak cucunya.

 

Oh iya, untuk para pembaca yang budiman. Selama saya mengikuti kegiatan adat Ma’nene ini tidak pernah sedikitpun saya mencium aroma tidak sedap. Saya tidak tahu, apakah itu karena ada bahan tertentu dari alam yang dioleskan pihak keluarga ke tubuh mayat atau obat kimia lain. Tapi, jujur tidak ada bau sama sekali. Bahkan, mayat yang masih agak basah pun tidak ada.

 

Jika tidak salah ingat, seluruh prosesi adat Ma’nene ini berakhir sekitar pukul 13.00. Saya bersama kawan-kawan tiba disebuah Tongkonan warga untuk beristirahat sekitar pukul 13.15. Arnas, Nias, dan Andri sibuk memilih foto yang akan mereka kirim. Saya menyiapkan beberapa cemilan untuk dimakan bersama. Andri menyampaikan kabar baik, fotonya tayang di AFP. Tidak hanya satu, tapi beberapa. Termasuk diminta untuk buat foto story.

 

Sedang Nias masih menimbang akan mengirim ke mana foto-foto kerennya. Katanya, jika tidak dikirim pun itu akan menjadi portofolionya. Tapi tunggu, dua hari lalu saya melihat foto-foto Nias tayang di IDNtimes. Arnas, juga mendapat kabar baik, fotonya juga sudah tayang di Antara. Bahkan, katanya, foto-fotonya juga diambil oleh beberapa media nasional untuk ditayangkan seperti detik.com dan media lainnya.

 

Saya, hasilnya cerita yang Anda nikmati ini. Terima kasih kawan-kawan semua. Tahun ini perayaan 17 Agustus rasanya lebih bermakna dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab saya dan kita semua merayakan hari ulang tahun republik yang ke-77 dengan melakukan perjalan luar biasa; mengenal lebih dekat Adat Ma’nene Suku Toraja. Semoga tahun berikutnya lebih baik. Aminn.

 

#akumencintaimu


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya