Membaca Ulang Soedjatmoko, Melahirkan Kembali Indonesia



Memulai tulisan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Asia Justice and Rights (AJAR) dan Future Indonesia telah mengenalkan seorang tokoh bangsa kepada saya dan generasi muda lain di seluruh Indonesia. Generasi yang kita harap cepat dalam segala hal, termasuk dalam aspek keterbukaan pengembangan ilmu pengetahuan yang mengedepankan keseimbangan alam dan kemanusiaan di atas segalanya. Seperti cita-cita mulia dan diidam-idamkan oleh Soedjatmoko di masa hidupnya.

 

Dari sini, pengakuan seharusnya dan sewajibnya saya katakan. Jika tidak demikian, rasa-rasanya saya tidak pantas untuk menuliskan pikiran-pikiran Soedjatmoko yang begitu brilian. Bahwa saya baru pertama kali ini saya membaca tentang Soedjatmoko-- sebuah fakta yang barangkali patut saya tertawakan kepada diri sendiri. Sebab, selama pergulatan kehidupan saya, dari mengenyam pendidikan dasar hingga saat ini bekerja di sebuah kampus swasta, inilah pertama kali saya bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Soedjatmoko. Barangkali, ini juga prestasi dan apresiasi saya kepada Asia Justice and Rights (AJAR) dan Future Indonesia.

 

Artikel yang dibagikan dalam website https://membacasoedjatmoko.com/ sebagai dasar mengetahui alur pikir Soedjatmoko, saya menemukan sebuah imaji darinya yang melampaui waktu. Dan barangkali itu baru sebagian kecil dari pikiran-pikiran Soedjatmoko yang bersentuhan langsung dengan saya. Namun rasanya itu sudah lebih cari cukup bagi saya untuk mengetahui bagaimana Soedjatmoko membawa kita untuk menatap masa depan dengan perencanaan yang matang dan seimbang. Ditambah pula dengan keterbukaan pikiran atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keselarasan atas kemanusiaan.

 

Indonesia sangat beruntung memiliki Soedjatmoko dimasa ketika hati dan pikirannya masih satu padu untuk membawa kepada arah yang benar tidak hanya pada apa yang dimimpikan Indonesia tapi juga pada apa yang seharusnya dilakukan. Pikiran-pikirannya yang maju dengan daya keseimbangan yang begitu kuat antara harapan dan kenyataan membuatnya sangat dihormati sebagai intelektual yang sayangnya hari ini pelan ditinggalkan. Percakapan-percakapan kita hari ini terlalu fokus pada apa yang dimiliki-- lokal dan nasional tapi tidak mempercakapkan tentang apa yang akan dan seharusnya dimiliki-- internasional. Imbasnya, hal ini mengarahkan pada eksplorasi yang sempit dimana pikiran imajinatif dan kreatif dinafikkan untuk dihidupkan.

 

Percakapan tentang politik misalnya, hari ini kita seakan-akan dipaksa bahwa hal itu hanya akan berujung pada kursi jabatan tertentu. Yang pada prosesnya tidaklah begitu penting untuk menemukan kredibilitas dan kapasitas seorang yang terpilih dijabatan tersebut. Hal ini diperparah dengan munculnya media sosial yang begitu cepat meleburkan diri dengan munculnya istilah influencer dan atau buzzer yang membuat telaah kritis semakin mudah tumpul dan atau ditumpulkan. Dengan kata lain, percakapan-percakapan itu seperti dikontrol oleh sebuah kekuatan yang bertujuan untuk mendikte, mengarahkan dan menunjukkan publik untuk patuh secara terpaksa. Jika tidak, kekuatan itu akan menggulingkan dengan segala macam serangan yang membabibuta.

 

Sekitar satu dasawarsa terakhir ini, percakapan publik dimonopoli wacana yang tidak mengembangkan cara berpikir yang maju dan imajinatif untuk menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang memiliki sejarah dan budaya yang kuat. Tentang pecakapan makan bubur-- diaduk atau tidak atau saya dan kelompok saya lebih Pancasila daripada Anda dan kelompok Anda dan sejumlah wacana lain menurunkan kualitas kebebasan berpikir kita untuk menjemput masa depan seperti cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam Undang Undang Dasar 1945-- mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan pada Pancasila.

 


Monopoli percakapan itu juga membuat eksistensi oligarki yang “bergandengan tangan” secara terbuka dan tanpa rasa malu dengan sejumlah politisi, birokrat dan partai politik kian menyesakkan ruang-ruang publik dan mengakibatkan disharmonisasi harapan-- dari rakyat, dan kenyataan-- kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Keputusan atas lahirnya undang-undang yang sangat kontroversial seperti omnibus law pada 2020 lalu misalnya, yang kemudian banyak ditentang publik tidak berarti apa-apa-- hanya menguap lalu pelan-pelan hilang, menunjukkan betapa berkurangnya cara berpikir yang imajinatif untuk menemukan keseimbangan dan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara. Saya kira, cara berpikir yang instan dan pengendalian wacana publik ke dalam satu arah itu bertabrakan dengan pikiran dan nurani Soedjatmoko yang menginginkan keseimbangan dan keteraturan dalam mencapai konsensus kebaikan bersama antara rakyat, negara, dan dunia internasional.

 

Ditambah lagi persoalan tidak beresnya penegakan hukum yang sangat amburadul yang mengakibatkan ketidakstabilan sosial masyarakat membuat rasa kemanusiaan diambang ketidakpastian. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas seperti makanan sehari-hari dalam ranah publik kita. Kezemrautan dasar daripada kehidupan yang harmonis bernegara ini berimbas kepada banyak sektor kehidupan. Tidak terkecuali pendidikan yang tidak lain adalah sarana utama dalam memanjakan jalan menuju kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

 

Atas dasar daripada itu, membangkitkan kembali pikiran monumental Soedjatmoko adalah hal yang sangat masuk akal dan sebaiknya disegerakan. Pengalaman dan dedikasinya untuk bangsa dan negara Indonesia sudah seharusnya dijalarkan pada setiap generasi agar memberikan keluasan makna akan arah menuju bangsa yang tercita-citakan sesuai amanat UUD 1945 dan Pancasila. Mengaktifkan pikiran terbuka-- lokal ke nasional lalu ke internasional, dalam memahami dan mengenali diri sendiri sebagai manusia yang utuh dalam keberlangsungan kemajuan bangsa Indonesia untuk terlibat secara aktif dalam mendeteksi arah dan perkembangan kawasan dan dunia.

 

Sebab satu hal yang pasti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ditakdirkan untuk terlibat dalam segala macam pergulatan dunia-- mengontrol rempah-rempah dunia dan memprakarsai Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 yang cemerlang itu dalam menentang kolonialisme barat. Adalah bukti yang sangat otentik jika bangsa Indonesia mampu berdiri di kakinya sendiri, seperti kata Bung Karno. Oleh karenanya, kerelaan untuk menginternalisasi pikiran Sodjatmoko, akan menjadi pondasi yang sangat kuat dalam membangun dan membangkitkan Indonesia menuju masa keemasan 2045 mendatang.

 

Beberapa pertimbangan yang barngkali dapat dijadikan dasar agar kelahiran kembali Indonesia dapat segera terwujud. Pertama, pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan wajib terlaksana secara berkelanjutan. Hal ini dapat melahirkan aset muda bangsa yang akan mengendalikan dan memajukan negara pada masa yang akan datang. Ketebalan pengalaman melalui organisasi dan kekebalan imun intelektual melalui pendidikan baik formal maupun non formal akan menjadi modal yang dapat melahirkan pikiran-pikiran progresif untuk kemajuan bangsa. Kedua, kepemilikan rasa toleransi dan pluralisme yang kuat dapat merekatkan segala macam bentuk perbedaan pikiran, suku, budaya, agama, maupun sikap dan pandangan politik dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Mianggas sampai Pulau Rote, dalam satu kesatuan yang padu dan utuh. Sikap ini juga dapat mengontrol dan menyeimbangkan “rasa dominan ekslusif” dari setiap perbedaan itu agar tidak agresif dalam pengerahan kekuatan yang dapat meretakkan bangsa dan negara.

 

Ketiga, menguatkan literasi multisektor seperti lingkungan, ekonomi/keuangan, kemanusiaan, dan teknologi harus disegerakan agar dapat menjadi titik temu penyelesaian konflik yang banyak terjadi diberbagai daerah. Tidak hanya kepada publik tapi juga kepada pejabat dan pemerintah agar pengambilan keputusan dapat lebih seimbang. Keempat, ketersediaan alur dan arus informasi yang berimbang. Poin ketiga yang berkaitan dengan media dan pers ini akan sangat berperan penting dalam upaya edukasi publik agar sikap dan tindakan dalam mengambil keputusan senantiasa memiliki dasar filosofi yang kuat tentang apa dan bagaimana membawa bangsa ini secara kolaboratif menuju panggung dunia.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya