Bjorka
Dua pekan terakhir ini,
Bjorka menjadi perbincangan hangat jagat maya. Terutama di media sosial. Kata
itu kemudian dikenali sebagai hacker yang menyerang sejumlah lembaga negara. Salah
satu korban dari Bjorka adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo). Pihak Bjorka mengaku telah memiliki 1,3 miliar data nomor HP dan
nomor KTP masyarakat Indonesia.
Data yang diduga telah
bocor itu pun membuat netizen marah kepada Menkominfo, Johnny G. Plate.
Kemarahan itu lantas dilampiaskan disejumlah media sosial. Salah satunya yang
sangat aktif adalah twitter. Bahkan, dua pekan terkahir ini, nama hacker Bjorka
trending topik. Apalagi, netizen kembali mengingat tahun 2017 ketika Kominfo
mewajibkan setiap warga untuk menggunakan NIK untuk registrasi kartu.
Ketika itu, Kominfo mengeluarkan
Permen nomor 12 tahun 2016 tentang registrasi pelanggan jasa telekomunikasi.
Salah satu hal yang diiming-imingi pemerintah adalah keamanan data warga. Meski
Permen itu sempat ditentang oleh ELSAM karena dinilai akan mengganggu privasi
warga negara. Tapi, tetap saja program itu dijalankan. Lalu hasilnya sekarang
seperti dugaan semua orang; bocor dan diperjualbelikan hacker.
Anehnya, Kominfo seperti
mau cuci tangan atas bocornya data warga tersebut. Kominfo kemudian berdalih
jika bocornya data warga itu harusnya menjadi tanggungjawab Badan Siber dan
Sandi Negara (BSSN). Hal itu disampaikan oleh Menkominfo kepada Tempo, 7
September 2022. Lempar tanggung jawab ini bisa jadi menjadi bukti jika Kominfo tidak
serius menangani masalah ini.
Ketika tidak ada yang mau
bertanggungjawab atas kebocoran data ini, yang terjadi kemudian adalah warga
menjadi korban-- hak privatnya dikebiri, melalui kebijakan pemerintah yang
seperti amburadur karena tidak dengan persiapan yang matang. Dari kasus ini
kita bisa menilai, jika pemerintah seakan-akan memaksa warga untuk ikut aturan
melalui sebuah kebijakan tapi kemudian lepas tangan ketika terjadi masalah
kemudian hari.
Tidak hanya itu, komentar Menkominfo
soal permintaannya kepada hacker Bjorka untuk berhenti menyerang menjadi
gunjingan tersendiri. Apalagi, ketika Bjorka kembali membobol situs resmi Kominfo
lalu menuliskan kalimat yang seperti membalas komentar itu dengan kalimat “stop
being an idiot”. Ini kemudian menjadi bahan olok-olokan kepada Kominfo oleh
sejumlah netizen.
Masalah yang semacam ini
tidak hanya terjadi pada Kominfo. Sejumlah lembaga lain juga merasakan hal yang
serupa seperti data PLN, Indihome, KPU. Terbaru, data BIN dengan label rahasia
juga dapat dibobol oleh Bjorka. Sungguh suatu yang gila bukan. Tapi anehnya,
sebagaian netizen juga seakan memberikan dukungan kepada Bjorka sementara yang
dilakukan itu adalah sebuah kejahatan cyber.
Barangkali, bentuk
dukungan kepada Bjorka ini adalah bentuk ketidakpercayaan publik terutama
netizen kepada pemerintah. Apalagi, sejumlah netizen bahkan terang-terangan
mendukung Bjorka untuk membongkar sejumlah data terkait peristiwa yang masih
menjadi misteri di negeri ini. Tiga diantara yang diminta netizen adalah kasus
pembunuhan aktivis HAM Munir, Supersemar dan kasus KM 50.
Permintaan itu pun dibalas
oleh Bjorka salam sebuah akun twitter. Bjorka mengaku jika banyak netizen men-tag-nya
tentang tiga kasus tersebut. Dan beberapa jam lalu, Bjorka men-spill identitas
pembunuh Munir. Dia adalah Muchdi Purwoprandjono. Sebenarnya, Muchdi bukan nama
asing dalam kasus pembunuhan Munir. Muchdi pernah ditangkap dan diseret ke
pengadilan tapi kemudian Mahkamah Agung membebaskannya.
Jika memang Bjorka mampu
membuka data soal kematian Munir. Harusnya yang dibuka bukan data soal Muchdi tapi
data yang ada di Mahkamah Agung terkait percakapan Muchdi dan Pollycarpus. Jika
saya tidak salah ingat ada sekitar 40 atau 41 rekaman percakapan antara Muchdi
dan Pollycarpus yang tidak pernah dibuka ke publik. Padahal ada dugaan jika
dalam percakapan itu Pollycarpus laporan ke Muchdi terkait pembunuhan Munir.
Tim Pencari Fakta (TPF)
kasus Munir pernah mengajukan ke Mahkamah Agung untuk membuka rekaman
percakapan itu tapi ditolak. Sejumlah dokumen TPF terkait kasus Munir sendiri disimpan
di Istana Negara sejak tahun 2005. Tapi tidak ada angin tidak ada hujan,
sebelas tahun kemudian data itu dinyatakan hilang tahun 2016. Padahal janji
Presiden Jokowi ketika itu akan menuntaskan kasus HAM masa lalu.
Oleh karena itu, jika
Bjorka benar-benar jago coba buka data itu. Atau data soal kasus lain yang
menyita perhatian publik seperti KM 50 atau Supersemar. Jika hanya spill kasus
Munir atau spill data Kominfo, lebih baik Bjorka berhenti saja. Karena jika hanya
begitu, itu sama saja Bjorka hanya cupu alias hanya cari perhatian netizen Indonesia. Atau jangan-jangan Bjorka hanya alat pengalihan isu dari kasus Sambo dan kenaikan harga BBM? Jika memang demikian, maka bagi saya, Bjorka tidak lebih dari seorang yang pengecut.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar