Tragedi Sepakbola di Malang

Kematian karena pertandingan olahraga adalah kebiadaban. Tapi, apa mau dikata, jika peristiwa demi peristiwa terus menjadi tontonan. Sedang penyelenggara dan kita semua masih abai. Penyelenggara seperti tidak serius menangani kasus demi kasus dan kita semua terus-terus “berulah” dan tidak mau merubah, entah sikap diam terhadap kekerasan di arena olahraga atau tindakan kita yang hanya menyaksikan kekerasan itu terjadi.

 

Apa yang terjadi di Malang kemarin adalah sebuah akumulasi, yang harusnya sejak dulu kita berhenti sejenak lalu menoleh kepada sejarah. Sebab di negeri ini, tragedi dalam olahraga sepakbola hampir tiap tahun terjadi. Baik kerusuhan supporter yang berujung saling melukai hingga hampir dan atau kehilangan nyawa atas ketidaksigapan dan ketidaksiapan penyelenggara.

 

Pada tahun ini saja, sudah ada dua peristiwa dalam olahraga sepakbola yang menyebabkan kematian. Pertama, tanggal 17 Juni 2022 pendukung Persib Bandung, Bobotoh terjatuh lalu meninggal di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Komite Disiplin (Komdis) PSSI memang telah melakukan investigasi pada insiden itu, tapi hasilnya apa? Hanya berupa rekomendasi? Layakkah jika nyawa dibayar berupa lembaran kertas rekomendasi itu?

 

Kedua, peristiwa 1 Oktober di Stadion Kanjuruhan, Malang. Setidaknya, informasi terbaru ada 127 orang meninggal. Rinciannya, 2 merupakan anggota Polri, 34 penonton meninggal di dalam Stadion Kanjuruhan, 93 penonton meninggal di rumah sakit. Tragedi sepakbola Malang dipastikan pecahkan rekor dunia dengan korban meninggal terbanyak kedua. Mengalahkan tragedi Hillsborough tahun 1989 dengan korban 96 orang diposisi ketiga dan di bawah tragedi Estadio Nacional, Peru, tahun 1964 dengan korban 328 orang.

 

Olahraga Harusnya Menyatukan Anak Bangsa

 

Ajang olahraga sepakbola harusnya menjadi tontonan yang aman, terutama di stadion. Apapun yang dikira dapat memicu perisitiwa kerusuhan mestinya dilarang masuk stadion. Termasuk para penonton atau supporter rusuh, wajib diperketat. Misalnya, supporter yang sebelumnya pernah terbukti melakukan kerusuhan diberikan sanksi tidak boleh datang ke stadion. Apalagi, jika pernah terlibat pembunuhan supporter lain.

 

Perketatan terhadap supporter yang semacam itu dapat memberikan kenyamanan dan keamanan kepada supporter lain yang tujuannya hanya untuk memberikan dukungan kepada tim kesayangannya, entah kalah atau menang. Contoh yang kongkrit di Inggris, pihak pengamanan langsung bergerak cepat jika ada supporter yang dinilai provokator. Dan jika ada supporter terbukti rusuh maka dilarang nonton di stadion seumur hidupnya.

 


Lagian, sajian olahraga sepakbola harusnya menjadi ajang bersatunya seluruh anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita luhur para founding father yakni Bhineka Tunggal Ika. Dalam buku yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan “Ganefo Olimpiade Kiri di Indonesia” pada halaman 40 mengungkap jika Soekarno menyebut olahraga merupakan cara untuk menarasikan kekuatan bangsa.

 

Karena itu, fanatisme buta dalam sepakbola wajib dihilangkan. Sebab itu hanya mendangkalkan akar pikir kita sebagai anak bangsa. Sebagai fans yang sejati, harusnya supporter menerima setiap konsekuensi pertandingan; kalah dan menang. Kita semua wajib menjaga akal sehat. Apa gunanya fisik sehat karena olahraga tapi kita bermental krupuk.

 

Jika dipikir, menyudahi lalu menyadari hal semacam ini sangat sulit. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin jika semua mau berbenah. Kupikir satu langkah sederhana memulai ini, menasehati supporter arogan yang hanya mau menerima timnya menang. Jika sudah, tapi tidak diindahkan, baiknya hindari. Dalam beberapa kesempatan saya sering melakukan itu meski kadang yang diperdebatkan tentang klub luar negeri; Barcelona vs Real Madrid.

 

Evaluasi Total Penyelenggara

 

PSSI sebagai induk sepakbola tanah air mesti dilakukan evaluasi secara total. Peristiwa di Malang adalah sebuah tanda jika penyelenggara dalam hal ini PSSI sedang tidak baik-baik saja. Lagian, ini bukan peristiwa pertama olahraga sepakbola yang memakan korban. PSSI tidak bolah hanya berhenti pada pengusutan kasus tapi juga mesti ada orang yang bertanggungjawab dari tragedi ini.

 

Berkaca dari kasus-kasus yang lalu, Komite Disiplin (Komdis) PSSI masih sangat lembek dalam memberikan hukuman. Misalnya pada kasus Haringga Sirila tahun 2018, secara khusus kepada Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) dan security officer, Komdis hanya menghukum larangan ikut dalam kepanitiaan pertandingan Persib Bandung selama 2 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000.

 


Kemudian kasus kedua, terjatuhnya supporter Persib tanggal 17 Juni 2022 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Komdis PSSI lagi-lagi tidak tegas. Sebab kuat dugaan hanya memberikan sanksi kepada Persib untuk pindah kandang. Dua kasus ini hanya contoh segelintir keputusan Komdis PSSI yang dinilai tidak tegas memberikan kedisiplinan kepada klub, panitia, dan lain-lainnya atas pelanggaran yang dilakukan.

 

Karena itu, kasus ini harusnya menjadi awal revolusi di tubuh PSSI. Sebab rasanya, PSSI hari ini dan beberapa tahun ke belakang memang tidak pernah tidak luput dari kontroversi. 127 nyawa melayang di Malang dan nyawa lainnya dibeberapa kasus harusnya menjadi bukti jika kepengurusan PSSI mesti dilakukan perombakan besar-bersaran. Termasuk Ketua PSSI, Mochamad Iriawan harusnya bertanggungjawab penuh dengan mundur.

 

Saya kira, dengan mundurnya Mochamad Iriawan dari jabatannya akan menunjukkan sikap yang satria. Sebab peristiwa di Malang adalah bagian dari tanggungjawab yang diberikan oleh para insan sepakbola seluruh Indonesia. Barangkali ini juga akan mengobati sedikit kesakitan keluarga para korban bahwa nyawa keluarga mereka dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Juga untuk menutup muka dari sorotan sepakbola internasional.

 

Rombak Sistem Kemananan

 

Sejumlah video yang tersebar terkait peristiwa kerusuhan supporter di Malang menunjukan jika pihak kemananan menggunakan gas air mata. Bahkan tidak hanya satu, tapi sejumlah sumber menyebut jika gas air mata yang ditembakkan oleh pihak keamanan belasan hingga puluhan. Meski data itu tetap wajib dilakukan verifikasi lagi.

 

Di luar dari jumlah gas air mata yang ditembakkan pihak keamanan ke arah tribun penonton, penggunaannya saja sudah melanggar aturan yang dikeluarkan oleh federasi sepakbola dunia; FIFA. Larangan penggunaan gas air mata itu tertuang pada Bab III tentang Stewards. Tepatnya di pasal 19 “Dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa".

 


Patut dipertanyakan keberadaan dan penggunaan gas air mata tersebut. Apakah hal itu telah melalui diskusi dengan PSSI sebagai organisasi yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pertandingan sepakbola di seluruh Indonesia? Jika itu sesuai dengan instruksi maka tentu PSSI wajib bertanggungjawab dan selayaknya memang Ketua PSSI mundur. Alasannya sederhana, pelanggaran konstitusi tertinggi organisasi sepakbola.

 

Apalagi, salah satu penyebab terjadinya banyak korban dari tragedi di Malang ini karena gas air mata. Dimana dalam beberapa video yang tersebar, gas air mata sengaja di arahkan kepada tribun penonton. Akibatnya, penonton yang tidak terlibat kerusuhan dan hanya datang untuk mendapatkan hiburan diakhir pekan juga mesti terkena dampak. Banyak yang panik, berhamburan hingga saling injak dan kekurangan oksigen.

 

Sepakbola tanah air sangat berduka atas peristiwa di Malang. Kita berdoa semoga para korban mendapat tempat terbaik disisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita berharap juga peristiwa ini menjadi pembelajaran penting untuk seluruh elemen sepakbola, klub, supporter, pihak kemananan, dan PSSI. Nyawa lebih berharga dari sepakbola maka sepatutnya keselamatan nyawa wajib dinomorsatukan pada tiap pertandingan.

 

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya