Tidak Ada Perayaan Hardiknas untuk Anak-anak Tallo

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati tiap tanggal 2 Mei merupakan hari bersejarah. Hari dimana seorang tokoh bangsa lahir, R.M Suwardi Suryaningrat. Atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Anak bangsa yang kemudian diasingkan karena tulisannya “Andai Aku Seorang Belanda” itu mempelopori pendidikan sebagai semangat untuk melepaskan diri dari cengkraman koloniaisme Belanda.

Karena itu, peringatan Hardiknas tidak sepatutnya hanya dirayakan secara seremonial saja. Tapi lebih dari itu, harus ada refleksi yang mendalam mengenai pendidikan hari ini. Sebab kita semua barangkali percaya jika suatu bangsa yang besar dan makmur harus ditopang oleh dasar yang sangat krusial; pendidikan. Tanpa pendidikan sebuah bangsa hanya imaji yang memuakkan.

Satu hal yang patut menjadi sorotan dari kompleksnya masalah pendidikan yang sangat eksplisit diterangkan dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31. Pada ayat (1) berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Lalu ayat 3 menjelaskan lebih lanjut "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".

Karena itu, dua pertanyaan penting sebagai refleksi tiap perayaan Hardiknas adalah “apakah tiap anak di negeri ini sudah terpenuhi haknya untuk sekolah?” dan “apakah pemerintah telah mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?”. Jawaban dari dua pertanyaan itu tidak dapat ditemukan hanya dengan melaksanakan upacara.

Data statistik yang dikeluarkan oleh Pemprov Sulsel selama tiga tahun terakhir, angka partisipasi murni pendidikan di Sulsel tahun 2020, untuk tingkat SD, SMP dan SMA berada pada angka 97,98, 76,16, 60,32. Data tahun 2021 untuk tingkat SD, SMP dan SMA berada pada angka 98,26, 77,02, dan 60,35. Data tahun 2022, untuk tingkat SD, SMP dan SMA berada pada angka 98,41, 77,42, 60,44. Itu artinya, kenaikan angka partisipasi murni pendidikan dalam tiga tahun di Sulsel pada tiap tingkatan maksimal hanya berada pada angka 1,0.

Faktor Ekonomi

Memang harus diakui jika masalah akses pendidikan bagi anak usia sekolah sangat kompleks. Tapi satu hal yang patut menjadi perhatian adalah mengenai akses terhadap sekolah. Tidak semua daerah atau wilayah di Sulsel memiliki akses yang mudah terhadap sekolah. Banyak faktor yang dapat menjadi penghambat, misalnya daerah terpencil. Tapi, apakah untuk wilayah kota menjadi lebih mudah? Saya kira itu tidak dapat menjamin.

Sebagai contoh di Kelurahan Tallo, Kota Makassar. Angka partisipasi sekolah di wilayah ini cukup rendah. Selain karena faktor ekonomi, akses terhadap sekolah juga dapat menjadi kendala yang cukup signifikan. Untuk akses terhadap SD, kupikir tidak ada masalah karena di Kelurahan Tallo memiliki SD yang cukup memadai. Sementara untuk tingkat SMP dan SMA, kelurahan ini hanya memiliki satu sekolah yakni SMP dan SMA Bhayangkara. Sekolah ini berbasis swasta yang pengelolaan dan SDM-nya berdasarkan wawancara dengan sejumlah alumni tidak maksimal. Belum lagi sekolah swasta itu tidak ada yang gratis.

Berbeda dengan sekolah negeri yang secara fasilitas, pengelolaan dan SDM lebih baik. Hanya saja untuk akses terhadap sekolah SMP dan SMA negeri untuk anak-anak Tallo cukup sulit. Untuk SMP negeri misalnya, jarak terdekat yakni SMPN 37 sekitar 3 KM. Sementara untuk SMA negeri yang terdekat yakni SMA 4 atau SMK 5 yang jaraknya sekitar 4,6 dan 4,5 KM. Akses untuk angkutan umum dari Tallo ke tiga sekolah ini cukup sulit. Sehingga mau tidak mau harus pakai kendaraan pribadi untuk menjangkaunya.

Mari kita simulasikan pengeluaran anak-anak Tallo untuk menjangkau sekolah terdekat ini. Angkutan umum untuk anak sekolah berdasarkan aturan terbaru sebesar Rp.5.000 sehingga untuk pulang dan pergi 2xRp.5.000 sehingga menjadi Rp.10.000. Dalam satu pekan pengeluaran yang harus dikeluarkan sebesar Rp.60.000 dan dalam satu bulan dikurangi hari libur tiap pekan yakni sekitar Rp.260.000.

Sementara itu, secara umum anak-anak Tallo tergolong anak-anak yang kurang mampu secara ekonomi. Hal inilah yang kemudian membuat banyak anak-anak Tallo yang berhenti sekolah di tengah jalan. Berdasarkan wawancara dengan anak-anak Tallo usia sekolah SMA, hampir seluruhnya menyatakan tidak melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi.

Hal ini pula diamini oleh sejumlah orang tua yang memiliki anak yang putus sekolah di Tallo. Berdasarkan hasil wawancara pada 4 wilayah yang ada di Kelurahan Tallo, hampir selurunya menyatakan kurang secara ekonomi. Empat wilayah ini yakni Mangarabombang, Biring Je’ne, Gampacayya dan Kara’ba. Diakuinya, umumnya warga mencari nafkah sebagai nelayan, buruh harian lepas dan buruh pabrik.

Jika kita asumsikan penghasilan tiap kepala keluarga di Tallo yang secara umum bekerja sebagai buruh harian misalnya sebesar Rp.700.000 tiap pekan, maka tiap bulannya akan menghasilkan sebesar Rp.2.800.000. Untuk memenuhi kebutuhan 4 orang anggota keluarga maka itu akan sulit. Biaya makan 1 orang dengan tiga kali makan dengan harga yang sangat minimalis sebesar Rp.5.000, maka dalam 1 bulannya itu harus mengeluarkan sebesar Rp.450.000. Jadi untuk satu keluarga pengeluaran tiap bulan untuk makan sebesar Rp.1.800.000; itu sudah lebih dari setengah penghasialan dalam sebulan.

Itu jika hitungannya jika hanya dua anak. Sedangkan dalam beberapa fakta di lapangan dan hasil wawancara, warga Tallo bahkan sampai ada yang memiliki anak hingga 10 orang. Maka untuk membiayai angkot untuk menjangkau sekolah sudah dipastikan tidak dapat terpenuhi.



Ketidakadilan Layanan Pendidikan

Tidak hanya itu, masalah lain yang juga sering dialami oleh anak-anak Tallo dalam mengakses pendidikan adalah ketidakadilan layanan. Dalam beberapa wawancara bersama warga, anak-anak Tallo sulit untuk mendapatkan beasiswa yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, layanan untuk mendapat Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi anak-anak Tallo tidak semua dapat menikmatinya. Ada yang dapat ketika masih SD dan ketika masuk SMP tidak lagi diberikan. Alasannya berbagai macam.

Layanan untuk mendapatkan pendidikan alternatif atau pendidikan khusus bagi anak-anak Tallo juga hampir dipastikan tidak ada dari pemerintah. Padahal dari segi aturan pelaksanaan pendidikan semacam itu telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK).

PLK ini adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan yang tidak mampu dari segi ekonomi. Hanya saja, saya tidak tidak tahu apakah Permendikbud ini diketahui dan dilaksanakan oleh Pemprov Sulsel atau tidak. Padahal dari dari petunjuk teknis dan pelaksanaannya sangatlah detail didalamnya.

Misalnya, bagaimana tahap identifikasi layanan kebutuhan anak-anak. Apakah diperlukan layanan pendidikan kejar paket atau layanan pendidikan berbasis komunitas. Untuk layanan kejar paket, dalam beberapa wawancara pernah dilakukan pendataan kepada sejumlah orang tua yang memiliki anak putus sekolah di Tallo. Tapi, realisasinya tidak siginifikan bahkan ada beberapa warga mengaku hanya didata dan kemudian tidak ada tindaklanjut.

Untuk layanan sekolah berbasis komunitas, pernah dilaksanakan di Tallo. Tapi pelaksananya bukan dari pemerintah melainkan dari sejumlah mahasiswa yang berasal dari luar Tallo yang ikut prihatin dengan pendidikan di Tallo. Pelaksanaan sekolah berbasis komunitas ini berlangsung cukup lama yakni 2017 hingga 2020.

Hasil riset saya mengenai sekolah berbasis komunitas di Tallo tahun 2019 menunjukkan data yang positif. Bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara pelaksanaaan sekolah berbasis komunitas dengan peningkatan daya literasi dan pendidikan anak di Tallo. Hal lain yang menarik dari riset itu adalah selama pelaksanaan sekolah berbasis komunitas itu, angka kriminalitas dan perang kelompok di Tallo menurun sangat signifikan.  

Dengan demikian, perayaan Hardiknas tidak berarti apa-apa bagi anak-anak Tallo. Mereka butuh kerja nyata pemerintah untuk mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan sesuai UUD 1945. Harapan dan cita-cita anak Tallo itu dapat menjadi kenyataan jika ada kolaborasi seluruh pihak, terutama pemerintah baik Sulsel maupun Kota Makassar. Anak-anak Tallo juga punya potensi yang perlu diberikan ruang untuk berkembang.

Sebab anak-anak Tallo dan lingkungannya bukan tidak mungkin dapat menjadi contoh pada masa yang akan datang tentang pengelolaan pendidikan yang berkelanjutkan. Karena secara potensi itu ada, mulai dari lokasi Makam Raja-raja Tallo, wilayah pesisir, lorong wisata, kesenian, kampung di atas air dan pariwisata.

Tapi seluruh potensi itu akan sirna bergitu saja jika tidak dikelola secara baik dengan melakukan investasi pada pendidikan. Dan barangkali Karaeng Patingngalloang, Tallo dan sejarahnya dimasa lalu selamanya akan terkubur begitu saja. Dengan begitu harapan Ki Hajar Dewantara tentang kemerdekaan yang membiarkan anak-anak bangsa mencari segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri menjadi sia-sia belaka. Khususnya untuk anak-anak Tallo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya