Toraja Bukan Tempat Sampah

 


Kampus adalah tempat untuk berbagi berdiskusi tentang ide. Setidaknya itu yang saya yakini. Bahkan jauh sebelum saya banting setir profesi; jurnalis ke dosen. Selain karena saya juga penganut generalis seperti halnya Gita Wirjawan dan David Epstein. Karena itu, setelah masuk kampus, saya tetap memegang keyakinan itu. Termasuk dalam pelaksanaan tridharma perguruan tinggi.

Suatu malam di tanggal 6 Mei 2023. Saya dihubungi salah satu mahasiswa saya di kampus. Saya diajak nongkrong seperti kalimat yang tertera di dalam chat. Saya kemudian meng-iya-kan. Tapi, dengan satu persyaratan; harus ada diskusi yang positif. Syarat yang saya ajukan itu lalu disepakati. Dan berangkatlah saya ke sana setelah menyelesaikan beberapa tugas dari kantor.

Lokasi temunya menarik; di pinggir Kolam Makale. Disaksikan patung besar Pongtiku. Seorang pejuang Toraja yang amat tersohor namanya. Penantang terbesar kolonial Belanda di Toraja. Hingga darahnya mengalir disela-sela suburnya tanah di Toraja karena ditembak Belanda. Tentu sejarah itu memberikan arti penting dan semangat yang kemudian melahirkan komunitas bersama 6 mahasiswa; Sandy, Yohari, Wiretno, Robert, Yulius dan Hendro.

Pada malam yang dingin di Kota Makale itu, diputuskan bahwa hasil diskusi akan dibuat dalam gerakan. Maka pembentukan komunitas sebagi biduk geraknya. Kita ingin memulai dari hal-hal kecil untuk hal-hal baik. Dan ide itu terlintas begitu saja. Lalu, semua bersemangat. Kita akan fokus pada satu hal yakni membersihkan tempat wisata di Toraja.

Keriuahan tentang ide membersamai kami. Robert mengajukan pembahasan dilanjutkan pada pertemuan selanjutnya. Tapi, saya bersikeras harus tuntas malam itu juga. Pertimbangannya, ide yang tidak tuntas dan mencapai klimaksnya akan menguap; semua lalu bersepakat. Diskusi dilanjutkan dengan menentukan nama komunitas. Saya minta mereka yang memutuskan.

Perdebatan kecil mewarnai kami. Penentuan nama mesti dipertimbangkan matang. Selain karena dapat mewakili identitas, juga dapat mewakili branding. Keputusan akhirnya adalah Generasi Peduli Sampah. Ide ini dari Sandy. “Disingkat GPS” katanya. GPS dapat dikonotasikan sebagai petunjuk arah. Maka jadilah komunitas itu dibuat. Saya minta Robert bergerak taktis; harus dibuat group WA-nya sekarang juga.

Jadilah pertemuan itu tidak berakhir sia-sia. Ide yang kemudian didiskusikan kini benar-benar ada. Ini seperti kalimat Descartes; filosof besar Prancil itu “aku berpikir maka aku ada”. Tapi, ada ini tidaklah cukup. Ada harus dihidupkan dengan gerakan dan tindakan. Maka besoknya, melalui percakapan di group GPS, gerakan dan tindakan direncakanan.

Karena ini kegiatan perdana, maka tempat yang menjadi tujuan harus mudah dijangkau. Diputuskanlah Wisata Pango-pango. Kegiatan akan dilaksanakan pada hari Minggu, setelah selesai ibadah. Tempat berkumpul di Pasar Seni. Saya tentu saja sangat bersemangat. Sebab hampir dua ini saya di Toraja dan baru kali ini saya berkegiatan bersama mahasiswa. Dan ini di luar kampus dan tidak terkait dengan perkuliahan.

Wisata Pango-pango dapat dijangkau dengan mudah. Akses jalan juga sangat baik. Walau cukup menanjak. Untuk yang baru pertama ke Pango-pango, saya sarankan bersama orang yang pernah ke sana sebelumnya. Terkhusus untuk perempuan yang berkendara sendiri. Ini untuk mengantisipasi jalan yang menanjak itu. Sebab pengalaman pertama saya ke Pango-pango, orang yang saya bonceng harus turun 2 kali dari motor.

Saya tiba di Pasar seni tepat jam 2 siang. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Ketika tiba, belum ada yang datang. Aduh ini sih kebiasaan. Sejujurnya saya paling tidak suka jam karet. Saya menunggu lebih dari 1 jam. Sekitar jam 3 lewat 17 menit barulah semua datang; berlima termasuk saya. Lalu segera berangkat; gas gas. Cuaca ketika itu agak mendung.

Ketika kami tiba di Pango-pango. Cuaca amat sangat dingin. Pengunjung hanya sehitung jari dan mengambil posisi dibeberapa tempat. Beberapa penjual masih setia menjajakan makanan dan minuman ringan. Kami berlima lalu berjalan menelusuri beton menuju area camping. Beberapa sampah plastik sudah terlihat di samping kiri dan kanan jalan.

Di area camping, sampah sangat berserakan. Sialnya, peralatan safety seperti sarung tangan tidak ada yang membawa. Saya lupa dan yang lain juga demikian. Jadilah kami memungut sampah-sampah itu dengan tangan tanpa sarung tangan. Resikonya tentu tangan jadi kotor. Tapi, kita sudah di lokasi, mau tidak mau harus dilakukan. Bukankah ini memang sudah tujuannya.

Selain sarung tangan, kami juga lupa membawa tempat penampungan sampah yang besar seperti karung. Yang kami bawa hanya kantong plastik besar. Dan itu tidak representatif sama sekali. Ini kemudian menjadi pelajaran bagi kami. Sebab kami tidak melaksanakan briefing sebelum berangkat. Kita semua memaklumi. Ini kegiatan pertama dan terus akan berlanjut. Maka tentu akan ada evaluasi. Salah satunya briefing sebelum berangkat.

Kondisi area camping sangatlah kotor. Sampah plastik dimana-mana. Dan ya, sampah plastik ini bukan dibawa orang Toraja. Tapi sekitar 70 persen dari luar Toraja. Kenapa? Karena lebih banyak pengunjung atau wisatawan dari luar Toraja. Karena itu, bagi Anda yang liburan di Toraja, perhatikan sampahnya. Bawa pulang. Ingat, Toraja bukan tempat sampah; bangcad. Jadi pakailah otaknya sedikit.

Setelah area camping bersih, kami lalu bergerak turun ke sebelah kanan. Ini menuju area menjorok ke tebing. Di depan sangatlah indah pemandangannya. Tapi, lagi-lagi sampah berserakan. Kami terus membersihkan sebisa dan semampu kami. Sebab banyak sampah yang sudah tertutup rumput sehingga tidak kelihatan. Lagian peralatan seperti parang tidak kami bawa.

Tidak berselang lama, hujan turun juga. Tapi masih gerimis. Jadi, kami tetap berjalan sambil memungut sampah. Arah kami sekarang menuju tempat parkir pengunjung. Di sana ada area pengumpulan sampah. Belum sampai, hujan semakin deras tiba. Kami lalu bergeser ke arah kiri menuju pondok. Kami berteduh di situ beberapa saat. Dua orang diantara kami adalah pengunjung. Sepasang; laki-laki dan perempuan.

Barangkali 20 menit hujan cukup deras, lalu pelan-pelan berhenti. Kegiatan kami lanjutkan. Sasarannya adalah area pengumpulan sampah di sebelah kanan tempat parkir. Di sana, sampah-sampah itu sangat banyak. Plastik yang kami bawa tidak cukup untuk menampung semuanya. Maka kami putuskan hanya merapikan saja. Agar sampah itu tidak tersebar ketika terkena angin.

15 menit kami merapikan tempat penampungan sampah sementara itu. Setelahnya, kami bergerak ke sisi kiri dan area panggung wisata Pango-pango. Untuk area sisi kiri itu, mengikuti jalur turun yang berkelok-kelok dari Pango-pango. Terdapat banyak rumah-rumah kecil untuk istirahat pengunjung. Arena ini sebenarnya agak sepi untuk camping. Sebab merupakan area punggungan. Makanya tidak cukup strategis untuk mendirikan tenda. Juga tidak memadai untuk melihat pemandangan.

Itulah mengapa sampah agak kurang di area ini. Makanya waktu yang kami butuh tidak begitu lama. Meski pada dasarnya, luasnya sangat jauh lebih besar dari area camping tadi. Yang kami temukan hanya sampah plastik bekas makanan ringan. Juga ada banyak botol-botol minuman bekas. Tentu saja itu sangatlah berbahaya. Apalagi kami beberapa kali mendapati botol-botol itu ada yang sudah pecah. Karenanya harus ekstra hati-hati.

Area terakhir yang menjadi tujuan adalah area panggung. Posisinya berada di tengah. Agak melembah dari area camping di sebalah kanan dan area pungguungan di sebelah kiri. Di area ini terdapat dua wahana yang sangat menarik. Pertama, ada jembatan gantung. Kedua, ada flying fox. Sayang, kedua wahana ini sudah tidak terpakai. Bahkan tidak terawat lagi.

Pada area ini sampah juga sangatlah sedikit. Karena memang area ini tidak ada untuk camping. Hanya ada beberapa kursi memanjang yang menghadap ke satu panggung sederhana. Untuk bagian atas ke arah pandangan parkiran, terdapat rumah kurcaci yang kini juga tidak terawat. Bahkan, kami melihat beberapa diantaranya sudah rusak. Juga tidak lupa, jadi tempat sampah. Sungguh sayang.

Perkiraan kami, ada sekitar 1,5 jam kami membersihkan di Pango-pango. Itu juga sudah termasuk kami berteduh sekitar 20 menit ketika hujan turun. Kami pulang itu sekitar jam 5 lewat. Kami tidak cepat juga tidak lambat ketika turun. Kami ingin menikmati buah yang barangkali itu kebaikan. Bahwa setelah ide itu dipertentangkan. Kini telah ditunaikan sekali kegiatannya. Dan kami merasakan hal yang sama yakni candu. Kegiatan akan terus berlanjut.

#akumencintaimu #terusbergerak

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya