Transfer Politisi


Terus terang, jika ada yang terkejut atas putusan Danny Pomanto mundur dari Nasdem; itu menggelitik saya. Lah kan hampir tiap tahun kita mendengar itu. “Kader partai kuning mundur” atau “Kader partai biru transfer” atau narasi lain yang membanjiri media online dan cetak. Jadi jangan suka “kaget-kaget” atas hal-hal yang sudah jadi lumrah itu. Hati-hati kena struk; itu lebih berbahaya.

Lebih baik “kaget-kaget” kepada hal yang sebetulnya sangat perlu dikagetkan. Contohnya mengapa di depan kantor wakil rakyat di dekat Fly Over itu, berjejer kawat berduri. Pagarnya dibuat tinggi lagi tangguh. Kan itu rumah rakyat, ya kan? Jika memang rumah rakyat, ya harusnya lebih terbuka kan ya? Tidak ekslusif apalagi antipati kepada rakyat. Jadi tolong, yang penting-pentinglah “kaget-laget”-nya.

Danny Pomanto sebagai seorang politisi, memilih hengkang atas kesadaran pilihan politik perlu dihargai. Kalau tidak mau menghargai; tidak apa-apa juga. Diam dan nikmati dramanya. Jika pun memilih untuk tidak suka; itu tidak apa-apa juga. Itu pilihan. Apabila tidak tahan untuk tidak menghujat; ya tidak apa-apa juga. Untuk menetralkan itu, baca kembali buka buku-buku politik; biar tercerahkan.

Idealnya, transfer politisi antar parpol tidak dapat boleh dibenarkan secara moral. Sebab bisa jadi ini menjadi pertanda sistem politik sedang tidak baik-baik saja. Berkaca pada sejarah politik di Indonesia; 70-an tahun ke belakang, ketika ideologi partai betul-betul menjadi landasan perjuangan. Maka sulit transfer politisi ini akan terjadi. Tidak seperti “politik gado-gado” sekarang ini.

Hari ini, transfer politisi antar partai itu seperti melihat plat B di wilayah plat DD; ada dimana-mana dan dimana-mana ada. Mau tutup mata sulit. Mau tutup telinga juga sulit. Dan anehnya, kita mulai menganggap itu biasa dan tidak “kaget-kaget”. Sebab, seringkali kolega kita sendiri yang mempertontonkan itu. Mau komentar, eh itu teman kita juga. Jadilah kita terbiasa. Dan murahan.

Tahun 2018, Toto Sugiarto, Direktur Eksekutif Riset Indonesia memberi gambaran mengenai transfer politisi ini. Toto menyebut jika transfer politisi ini terjadi karena mencari pegangan. Karena itu, menurut Toto, transfer politisi ini tidak dapat disebut sebagai negarawan. Sebab lebih cenderung memuaskan hasrat dan libido politiknya. Untuk kasus Danny ini, setiap orang berhak memberikan interpretasi.

Yang pasti ada hal menarik dari transfer politisi. Salah satunya eskalasi pemilih yang akan berpindah. Ukurannya jelas saya kira. Danny Pomanto yang dua kali menjadi orang nomor satu di Kota Makassar; punya basis yang jelas dan loyalis yang mumpuni. Kuat dugaan para loyalis ini juga akan memilih transfer. Namanya juga loyalis; artinya kan sami'na wa atho'na. Arti lainnya barangkali, tegak lurus bersama pucuk pimpinan tertinggi negeri.

Riset yang dikeluarkan Saiful Mujani Research Center (SMRC) Oktober 2022 lalu memberikan gambaran yang lebih gamblang. Data yang ditemukan sebesar 31% dari total pemilih di Pemilu 2019 transfer ke partai lain. Jadi wajar jika ada yang tersakiti dari hengkangnya Danny Pomanto. Ini ibarat lagi “sayang-sayangnya”, eh malah di ghosting. Sakitnya tuh disini; tunjuk dada sebelah kiri.

Seorang politisi senior, kawan saya, dalam sebuah warung kopi, pernah memberi kelakar soal ini. Katanya, transfer politisi antar partai itu seperti manusia yang berpacaran. Sakit atau tidak, diakui atau tidak, ketika putus di tengah jalan itu tidak akan menghapus kenangan. Apalagi jika mereka telah bercinta. Itu akan tetap bersemayam sampai akhir hayat. Hahaha.

Terakhir, teruntuk siapapun; yang bergembira, yang sakit hati, yang tidak perduli ataupun yang lainnya atas peristiwa transfer politisi ini. Mari kita refleksi diri atas peringatan Bapak Politik, yang mulia Niccolo Machiavelli. Kata Alena Blio, untuk tujuan kekuasaan, ketakutan selalu tepat untuk digunakan daripada cinta. Karena itu, mari kita nikmati saja drama ini. Dan jangan lupa seduh kopinya.

#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya