Ade Armando Dihakimi Massa


 

Jelang magrib. Di Kota Makassar. Saya asik buka-buka sosial media. Mau tahu perkembangan terkini. Tentang aksi 11 April. Di Jakarta maupun di kota lain. Rasanya menarik demo kali ini. Pengguna jalan tidak ada keluhan. Sama sekali. Khususnya di Makassar.

 

Beberapa waktu lalu. Di salah satu jalan protokol di Makassar. Seorang Ibu-ibu memberikan dukungan. Kepada mahasiswa yang sedang orasi. Katanya jangan berhenti. Semangat berjuang. Sambil mengangkat tangan kiri. Video itu pun viral. Ya wajarlah. Minyak goreng mahal. Haha

 

Saya pantau facebook. Tulisan saya soal demo pagi tadi. Cukup diminati. Ada beberapa dukungan. Juga ada yang dibagikan. Semoga bermanfaat. Setelah itu buka twitter. Mau lihat isu apa yang trending. Disitu tertera nama. Ade Armando.

 

Ada apa gerangan. Kok nama Ade yang nomor 1. Kalah demo BEM SI. Saya coba klik. Muncullah berita Ade dikeroyok massa. Di depan DPR RI. Saya scroll lagi. Muncul sejumlah video. Video pertama tampak Ade sedang diwawancara. Maklum, Ade dikenal cukup vokal. Juga disebut-sebut sebagai buzzeRp. Tapi, Ade juga tolak tiga periode.

 

Video selanjutnya. Ade tampak senyum. Ketika sedang dicemooh Ibu-ibu. Tidak jelas bagaimana itu bermula. Ade tampak masih tenang. Tapi sudah mulai panas. Tidak kondusif. Saya menikmati itu sambil makan kolak pisang. Saya berbuka dengan yang manis-manis. Hehe.

 

Tidak berhenti disitu. Video lain pun muncul. Sepertinya masih kelanjutan video ke dua-- yang nonton tadi. Massa sudah berkerumun. Mengelilingi Ade. Tampak sejumlah orang menengahi. Juga menahan amarah orang-orangan. Yang entah datang dari mana.

 

Dari belakang. Seorang laki-laki memukul kepala Ade. Orang yang sedang mengamankan berbalik. Kaget, barangkali. Sambil memegang kepala Ade. Mungkin cukup sakit. Lalu ada dorongan. Dari depan. Seorang laki-laki berkopiah putih. Seperti kerasukan.

 

Laki-laki itu memukul Ade. Ade lalu membalas. Setengah mati. Sekuat tenaga. Tapi apa mau dikata. Jumlah orang-orangan terlalu banyak. Ada lemparan kardus. Yang mangamankan Ade tidak sanggup lagi. Pukulan sudah bertubi. Mendarat tepat di muka Ade. Kanan, kiri, depan dan belakang.

 

Raut muka Ade tampak marah. Tapi mau apa. Dirinya sudah lemas-- barangkali. Jadi pasrah. Darah bercucuran. Warnanya merah menyala. Tapi api Ade terlampau kecil. Dan api orang-orangan marah terlampau besar. Ade lalu tumbang. Di tengah kerumunan.

 

Video lainnya. Tampak kaos Ade ditarik. Celananya dilucuti. Menyisakan celana dalam-- setengah telanjang. Lalu Ade tak tampak lagi. Hanya orang-orang berkerumun. Ade seperti hilang diantara orang-orang itu. Hanya suaranya sesekali terdengar. Meringis.

 

Pekikan lailahaillallah terdengar. Serentak dari mulut orang-orangan marah itu. Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Kolak di depan saya tidak habis. Mau muntah rasanya. Ibu mertua saya. Sedang dari tadi memperhatikan. Menegur saya. “Kenapa tidak dimakan kolaknya?”

 

Saya terhentak. Lalu menenangkan diri. Video itu tidak dapat saya pikirkan. Bagaimana mungkin kalimat lailahaillallah dipakai sekejam itu. Merampas hak asasi orang lain. Dan membuatnya kehilangan darah.

 

Masih dalam video itu. Tampak sudah banyak orang. Mengelilingi Ade. Membantu menghalangi amarah orang-orangan. Semacam tameng manusia. Begitulah seharusnya. Lagian, apa bangganya menjadi suci. Jika mesti menista orang. Atau bahkan melukai. Sungguh itu tidak masuk akal.

 

Video lainnya. Ade sudah tampak berdiri. Dibopong bapak polisi-- dikiri dan dikanan. Ade tampak tak bisa bergerak. Ia berjalan tapi tergopoh-gopoh. Rambutnya basah-- mungkin keringat. Atau juga siraman ludah orang-orangan marah tadi.

 

Terlihat celana Ade sudah hilang. Tersisa celana dalamnya. Itu juga tidak karuan-- kasihan. Sudah banyak bapak polisi yang mendampingi. Mereka juga kena marah. Hantaman dan tendangan melayang. Tidak membalas. Hanya lari. Dari kerumunan orang-orangan itu.

 

Saya tahu Ade. Sangat licin. Kasusnya yang diduga menista agama tidak jalan --di kepolisian. Ade memang sering melawan arus. Terutama soal nalar-nalar pikirnya. Tentang agama. Sebagian orang tidak suka. Jika boleh jujur. Saya pun tidak suka.

 

Tapi bukan berarti saya harus membenci. Lalu mencaci. Apalagi memukul dan melukai. Tidak. Saya tidak ingin begitu. Main hakim sendiri sangat sulit bagi saya. Biarkan proses hukum itu berjalan. Jika toh macet di tengah jalan. Ada jalur lain. Telah disediakan konstitusi.

 

Ini juga seharusnya jadi pelajaran. Kepada bapak-bapak polisi. Jika menangani satu kasus. Harus adil. Dan terbuka kepada publik. Jika kasus di SP3 harus disampaikan terbuka. Lalu memberi pelajaran kepada pelapor. Juga kepada warga. Bukankah salah satu tugas bapak polisi-- melindungi dan mengayomi.

 

Disisi lain. Ade juga mesti instrospeksi diri. Atau paling tidak bercermin. Tentang sikap dan perilakunya selama ini. Mungkin apa yang disampaikan baik. Tapi ketika cara. Atau metodenya tidak tepat. Sesuatu yang baik itu akan ditangkap lain. Apalagi jika warga yang kurang literasi. Ditambah lagi, penuh amarah.

 

Ketika saya posting video Ade di story. Banyak yang berkomentar. Ada yang senang. Ada juga bilang kasian. Itu semua hak. Dan baiknya ditempatkan pada porsinya masing-masing. Agar seimbang. Tidak miring ke kiri. Atau miring ke kanan.

 

Bukankah hidup memang demikian. Terlalu kiri rasanya tidak enak. Mau kemana-mana rasanya tidak tenang. Terlalu ke kanan juga tidak enak. Pertanggungjawabannya susah. Lagian, semua sikap. Semua kata. Semua tindakan. Akan kembali kepada pemiliknya-- diri sendiri. Begitu juga dengan Ade. Dan kali ini mungkin waktunya.

 

#akumencintaimu


Catatan : tulisan ini pernah saya posting di facebook

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya