Ponari: Legenda Hidup Para Dukun
Tahun 2009 bisa dikata sebagai tahun keemasan perdukunan. Di tahun itu,
di Kampung Kedungsari Desa Balongsari-- Jombang, Jawa Timur. Seorang anak
laki-laki biasa. Usianya masih 10 tahun. Namanya Muhammad Ponari. Mendadak terkenal seantero negeri. Itu kerena
berkat batu petir. Manjur mengobati banyak penyakit.
Penemuan batu itu bermula saat hujan deras. Juga petir
menyambar-menyambar. Ponari yang masih anak-anak bermain hujan. Ketika petir itu
menyambar. Hampir mengenai Ponari. Dan sebuah batu jatuh. Lalu mengenai
kepalanya. Batu itu memancarkan cahaya. Maka diambillah batu itu.
Suatu ketika, seorang anak perempuan di kampungnya sedang sakit.
Mendengar itu, Ponari datang berkunjung. Sekaligus membawa batu petir temuannya.
Ponari tamu tidak diundang-- datang sendiri. Ponari mencelupkan batu petirnya
ke dalam air. Lalu diminumkan kepada perempuan itu. Ajaib, sembuh.
Pasca kejadian itu. Warga di kampung Ponari selalu datang ke rumahnya--
jika sedang sakit atau merasakan sakit. Dari situ, Ponari mulai dikenal warga.
Lalu dari mulut ke mulut. Ponari semakin terkenal. Dibicarakan dan
didiskusikan. Tentang keajaiban batu petirnya.
Ketika itu tidak seperti sekarang. Sosial media belum ramai. Belum ada
Instagram. Juga tiktok. Tapi ketenaran Ponari dan keajaiban batu petirnya
melampaui itu. Setiap hari pengunjung ramai. Ribuan orang datang. Tidak hanya
dari Jombang dan Jawa Timur. Tapi banyak juga dari daerah lain.
Ponari mengalahkan popularitas artis mana pun. Dan pejabat manapun. Orang
yang datang ke rumahnya. Terus bertambah setiap hari. Bahkan sampai belasan ribu
orang. Berdesak-desakan dan antri berjam-jam. Juga ada yang bermalam. Itu menjadi
lumrah di kampung Ponari.
Bahkan, karena sangat ramai. Ada pasien yang meninggal-- terinjak
pasien lain. Jumlahnya jika tidak salah ada 5 orang. Saya tidak dapat
membayangkan. Jika saat itu media sosial seperti sekarang. Mungkin akun Ponari
sudah centang biru. Dan pengikutnya belasan juta. Wkwkwkw
Dari situ, Ponari mengangkat derajat keluarga. Jika dulu hidup di rumah
sederhana dengan ukuran 4x6 meter. Kemudian mampu membangun rumah permanen.
Cukup besar dan lapang untuk keluarganya. Dari sejumlah sumber. Keluarga Ponari
mendapat uang dari pasien sebesar Rp. 1,3 miliar.
Uang sebesar itu tidak pernah dipikirkan keluarga Ponari. Sebab itu
jumlahnya sangat besar. Barangkali puluhan juta rupiah saja sulit untuk mereka
pikirkan. Tapi, sekali lagi. Uang itu nyata. Pemberian pasien seikhlasnya. Dari
Rp.10.000 hingga recehan.
Selain bangun rumah. Keluarga Ponari juga menyumbangkan uang itu untuk
pembangunan masjid di kampungnya. Juga membeli lahan persawahan yang digarap
keluarganya. Barangkali niatnya setelah pensiun lahan itu akan digarap. Atau
untuk bahasa sekarang “investasi”.
Tidak hanya keluarga Ponari yang kecipratan rezeki. Warga dikampungnya
juga. Diperkirakan uang yang beredar di kampung Ponari antara ratusan juga
hingga Rp.1 miliar-- setiap hari. Perputaran uang itu karena banyak sebab. Penjual
makanan dan minuman. Tukang ojek. Tukang parkir. Hingga jasa penginapan.
Karena itu, kampung Ponari yang dikenal miskin. Mendadak menjadi
kampung kaya. Banyak warga yang terkena imbasnya secara positif. Sebelum Ponari
menerima pasien. Penghasilan warga sangat kecil. Setelah banyak pasien.
Penghasilan meningkat berkali lipat. Bahkan memunculkan beberapa perkejaan
baru.
Saya menduga IDI dulu iri ke Ponari-- pasien berkurang. Sebab pasien
yang datang ke Ponari adalah segala penyakit. Jika berobat ke dokter.
Kadang-kadang harus berlapis-lapis. Dari spesialis satu ke spesialis lain.
Sedang Ponari tidak. Cukup sederhana-- datang, antri, bawa air, batu petir
dicelup-- sudah selesai. Wkwkwk
Lihatlah sekarang. dr. Terawan vs IDI. Seperti tidak ada habisnya.
Musababnya cukup sederhana. Soal izin pengobatan. Itu soal cuan bukan? Perseteruan ini menambah panjang drama
di negara ini. Yang entah berakhir pada titik mana nantinya. Tapi semoga
berakhir bahagia seperti film-film FTV. Wkwkw
Belum lagi soal fasilitas kesehatan-- tidak merata di seluruh daerah.
Karena itu, fenomena Ponari itu seharusnya menggelitik pemerintah. Warga yang
ingin sehat tidak harus berurusan begitu ribet. Belum lagi soal administrasi.
Buktinya di Bulukumba lalu. Warga meninggal dilokasi perekaman e-KTP-- syarat
ikut BPJS. Taek kan.
Selain IDI, dukun lain juga barangkali iri. Kepercayaan kepada Ponari
mengikis pasien di tempat lain bukan. Itu tentu mengurangi juga penghasilan.
Apalagi, ketenaran Ponari sangat luar biasa. Pasien tidak hanya datang dari
Pulau Jawa. Tapi juga banyak dari luar Pulau Jawa.
Tapi, entah karena apa. Keajaiban batu Ponari mulai menurun-- dari hari
ke hari. Hingga memasuki tahun 2010. Bahkan pada pertengan tahun 2010, jumlah
pasien tidak lagi membludak. Tercatat di bulan Mei di tahun itu. Jumlah pasien
yang diterima Ponari hanya belasan orang.
Dan terus menurun hingga Ponari akhirnya pensiun. Tidak lagi menerima
pasien. Apalagi, informasi kemujaraban batu petir Ponari terus disoal.
Diberitakan jika ada pasien Ponari yang meninggal. Lalu, ada pula pasien yang
mengaku tidak sembuh. IDI bahkan juga ikut berkomentar. Hihihi
Kabar terkini, Ponari telah menikah. Sudah memiliki seorang anak. Tapi,
batu petirnya masih tetap disimpan. Jika nanti dapat wangsit lagi. Barangkali
itu bisa berguna. Setidaknya menjadi alternatif warga-- mendapatkan kesembuhan.
Selain itu, Ponari kini bekerja di gudang distributor air kemasan.
Penghasilannya sekitar Rp.2,1 juta setiap bulan. Diakuinya, penghasilan itu
cukup untuk keluarganya. Sementara, istrinya tidak bekerja. Hanya mengurus anak
dan rumah.
Ponari kembali menjadi orang biasa. Tidak lagi terkenal. Juga tidak lagi
dielu-elukan. Yang tetap tinggal adalah kenangan. Tentang pasien yang sembuh.
Tentang keluarga yang derajatnya ditingkatkan. Tentang warga yang mendapat
rezeki-- berjualan, tukang parkir, tukang ojek, jasa penginapan dan lain-lain.
Terakhir, tentang pemerintah yang tidak kunjung belajar; fasilitas
kesehatan masih kurang, biaya kesehatan sangat mahal, ribetnya administrasi
kesehatan, dan anggaran kesehatan yang dikorupsi. Bangcat memang.
#akumencintaimu
Komentar
Posting Komentar