Cerita-cerita Baba Hi (Bagian 1)


Tentang apa yang ada di depan. Tidak ada yang tahu. Entah akan hidup. Atau jangan-jangan telah mati. Kita hanya menjadwal pada rencana-rencana. Juga harapan-harapan. Begitu tidak sampai. Barangkali ada jalan lain. Sebuah jalan yang akan membimbing jadi lebih baik.


Begitu juga dengan Baba Hi. Diawal-awal remajanya. Begitu menyenangkan. Tidak kekurangan. Entah sandang maupun pangan-- lebih dari cukup. Orang tua berkecukupan. Dengan kepemilikan pabrik kacang. Yang hasil produksinya tidak besar. Tapi dapat memenuhi kebutuhan-- sekunder dan primer.


Ketika saya tiba di rumahnya. Sekitar pukul 10.00 pagi. Saya disambut istri Baba Hi. Membuka pintu pagar. Dan mempersilahkan masuk. Setelah itu, masuk ke ruang utama. Sambil memanggil Baba Hi dengan panggilan Pak. Dari ruang yang dibatasi dinding. Baba Hi menjawab singkat “ya”.


Tidak berapa lama. Baba Hi keluar menggunakan kursi roda. Ini pertemuan pertama saya. Wajahnya seperti keturunan Tionghoa. Strukturnya bulat. Kulit terang. Mata agak sipit. Ketika melihat saya. Raut wajahnya sangat menyenangkan. Rasanya begitu hangat.


Di depannya, ada sebuah meja. Disitu ada tiga toples. Isinya kue dengan berbagai macam. Ada nastar juga kacang. satunya lagi, kue kering-- saya tidak tahu namanya. Saya dipersilahkan makan kue-kue itu. Sangat ramah dan bersahaja. Saya membalas senyuman itu. Lalu mengajukan tangan untuk bersalaman.


Saya menyerahkan satu kantong plastik. Berwarna hitam dengan ukuran cukup lumayan. Itu titipan Bapak mertua saya. Isinya; semur daging, opor ayam, ketupat dan burasa’. Karena mertua saya kurang sehat. Maka saya diminta yang mengantar. Bersama adik ipar saya.


Tradisi itu sudah berlangsung puluhan tahun. Tiap lebaran. Juga tiap imlek tiba. Saling mengunjungi. Saling berbagi makanan khas. Barangkali tidak pernah absen.


Setelah beberapa menit. Minuman tiba. Ada cocacola dan sprite. Saya memilih yang sprite. Sejujurnya tidak begitu suka minuman kaleng. Tapi karena haus. Di perjalanan tadi cukup panas. Maka tidak apa. Saya ambil lalu minum. Kemudian memberanikan diri untuk bicara lebih dekat.


“Ini kaki ta kenapa?” tanya saya.


Pertanyaan itu disambut antusias. Baba Hi tersenyum tipis. Tidak ada keraguan di matanya. Itu bisa jadi karena Baba Hi telah menerima dirinya. Menerima kekurangan. Juga takdirnya. Hidup di atas kursi roda.


“Ini karena kecelakaan” jawabnya singkat.


Saya tidak berhenti disitu. Pertanyaan saya lanjutkan. “Kapan?” kata saya penasaran.


Dengan setengah tertawa. Baba Hi mulai bercerita. Katanya, hidupnya sudah lebih tua di atas kursi roda itu. Jika dibandingkan hidup di atas kakinya sendiri. Umurnya kini sudah 59 tahun. Ketika kecelakaan. Umurnya waktu itu masih 27 tahun. Masih sangat muda.


Itu berarti sudah 32 tahun-- hidupnya dijalani dari atas kursi roda. Sejujurnya saya kaget. Saya kira kursi roda itu baru dipakainya sekitar lima tahunan. Tapi rupanya sudah seumuran dengan saya. Saya tidak dapat membayangkan-- apa jadinya jika hidup saya jalani di atas kursi roda itu.


Baba Hi mengaku jika lukanya itu didapat dari sebuah kecelakaan mobil-- di Jakarta. Di dalam mobil itu ada lima orang. Semuanya adalah keluarga. Mobil yang ditumpanginya menabrak mobil tangka-- tidak dijelaskan tangka apa. Mobil itu lalu terbang di atas mobil tangka. Setelah tiba di tanah. Terguling, entah berapa lama.


Tiga dari lima penumpang meninggal. Satu diantaranya adalah Baba Hi yang terluka parah. Yang lain adalah sepupunya. Tapi kemudian meninggal di rumah sakit. Hanya sejam bertahan hidup. Kata Baba Hi dengan nada suara agak bergetar.


Ketika itu, Baba Hi bercerita-- dirinya sadar. Luka yang didapatnya itu dari terpaan mobil. Karena masih sadar. Baba Hi mencoba menggerakkan badan. Tapi tidak bisa. Dia hanya bisa berteriak. Setelah itu, dalam hati dia berkata. “Tulang belakang saya patah”.


Tidak lama setelah itu. Banyak orang datang membantu. Baba Hi masih merasakan kehadiran orang-orang itu. Orang-orang yang begitu baik-- tidak saling mengenal. Begitu antusias mengulur tangan. Sudah seharusnya memang demikian.


Lima orang korban dibawa ke rumah sakit berbeda. Baba Hi sendiri di bawa ke RS Sumber Waras. Di rumah sakit plat merah itu. Berdasarkan cerita Baba Hi. Tidak mendapat perawatan yang layak. Alasannya tidak ada yang mengenal. Syukurnya, sebelum sepupunya meninggal. Nomor telepon keluarga telah diberikan.


Tidak lama, keluarga datang. Barulah mendapat perawatan yang layak. “Maklum Indonesia” kata Baba Hi. Dia menggerakkan jari-jari tangan sebelah kanan. Ibu jari digesekkan ke jari telunjuk. Tiga jari yang lain dikepal. Tahu kan maksudnya-- fulus sayang fulus. Semua berjalan lancar dengan fulus.


Proses administrasi berjalan beriringan dengan proses operasi. Segala sesuatu berjalan begitu cepat, kata Baba Hi. Sangat lancar jaya. Perawat dan dokter sangat baik. Begitu perhatian. Operasi pertama pun dilakukan hari itu. Biayanya mahal bos-- Rp.29.000.000. Itu tahun 1990. Saat itu, 1 dollar masih Rp.2.000-an.


#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya