Cerita Lebaran


Hari pertama lebaran. Sungguh sangat menyenangkan. Meski juga menyedihkan-- tidak bersama keluarga di Sinjai. Di hari pertama itu. Saya sungguh dalam suasana baru. Begitu juga harapan baru. Bersama keluarga kecil-- di Bara-barayya Utara.


Dihari itu, saya langsung diperkenalkan toleransi yang kuat. Bapak mertua saya. Memiliki seorang teman-- non muslim. Etnis Tionghoa pula. Banyak dari kita cukup menghindar. Tidak sedikit mengumpat. Kepada mereka yang manusia juga.


Namanya Baba Hi-- begitu Bapak memanggilnya. Nama aslinya Ferry Chananta. Umurnya tidak terlalu jauh dari Bapak. Dulu, katanya mereka teman sepermainan. Jika libur, Bapak mengunjungi rumah Baba Hi. Di daerah pecinan-- sekitar Jalan Sulawesi.


Rumah Baba Hi sangat luas. Sayang, sudah dijual. Kini sudah jadi rumah toko. Juga rumah tinggal. Jadinya ada 24 rumah tinggal dan rumah toko. Kebayangkan, betapa luas rumah itu-- dulu. Menurut Bapak, di area rumah Baba Hi dulu ada lapangan olahraga-- basket.


Awal mula Bapak dan Baba Hi berteman. Ketika orang tua Bapak bekerja untuk orang tua Baba Hi-- di pabrik kacang. Milik keluarga. Pabrik kacang ini merupakan salah satu yang tertua di Makassar. Gudangnya cukup besar. Dan laris manis di pasaran.


Semua orang pada sesungguhnya sama saja. Entah berbeda suku, agama atau warna kulit. Juga soal kaya dan miskin. Semua sama-- manusia. Punya otak untuk berpikir. Punya hati untuk merasa. Tapi kita sepakati yang umum. Dalam hal ini Baba Hi kaya. Memiliki uang lebih.


Sedang Bapak, hanya orang biasa. Dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang pekerja. Tapi hubungan orang tua Bapak dengan orang tua Baba Hi sangat akrab. Itu juga tercermin dari hubungan Bapak dan Baba Hi. Bahkan hingga sekarang.


Jika imlek tiba. Bapak selalu diajak ke rumah Baba Hi. Nadanya cukup memaksa-- wajib datang. Setiba di rumah. Sudah tersedia banyak makanan. Baba Hi tahu dan paham. Bapak itu seorang muslim. Maka makanan yang disajikan berbeda dari kebanyakan tamu lain-- harus halal.


Karena itu, juru masak dipanggil khusus. Seorang beragama muslim. Tolerasi yang kuat bukan. Minuman juga disediakan juga yang halal. Setelah itu, makan bersama. Seusai itu, tiba acara puncak. Pembagian ampao. Isinya tentu berbeda-beda.


Ampao untuk Bapak. Bisa dikata khusus. Tidak sama dengan ampao lain. Isinya juga kadang berbeda-- lebih besar. Siapa pun yang datang bersama Bapak. Dipastikan dapat ampao. Tidak akan ketinggalan. Entah itu anaknya. Juga pernah keponakan Bapak.


Jika lebaran tiba. Bapak balik membalas. Dipanggil Baba Hi dan keluarga ke rumah Bapak-- silaturahmi. Jika tidak datang. Maka makanan akan dikirim. Oleh Bapak sendiri. Atau perantara orang lain yang dipercaya. Tapi kebanyakan Bapak yang antar sendiri.


Makanan yang diantar itu, yang terbaik. Semur daging. Atau opor ayam. Ketupat atau burasa juga. Kue kering juga tak ketinggalan. Biasanya kue es. Atau khas lebaran lain-- nastar atau putri salju. Tiap tahun begitu. Tidak pernah absen sejak mereka saling kenal.


Jika Bapak sedang kurang sehat. Maka Bapak biasanya mempercayakan kepada anak laki-lakinya. Makanya semua anak Bapak dikenal sama Baba Hi. Siapa yang tidak kenal. Jika minimal 2 kali setahun pasti mereka bertemu-- lebaran dan imlek.


Dari kisah ini. Saya yakin begitu kuat. Bahwa sikap toleransi tidak diucap. Tapi dilakukan-- dengan keterbukaan pikiran. Bukankah perbedaan itu begitu indah. Sekaligus sangat menyenangkan. Jika dikelola secara sadar dan seimbang-- perbedaan akan diterima.


#akumencintaimu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Merefleksi Kembali Tujuan Pendidikan