Cerita-cerita Baba Hi (Bagian 2)



Tahun 80-an hingga 90-an. Merupakan puncak kejayaan Baba Hi. Itu disampaikan secara tersirat. Ketika saya berkunjung ke rumahnya-- pasca lebaran lalu. Di tahun-tahun itu, pabrik kacang milik keluarganya sedang jaya-jayanya.


Tidak heran jika segala keperluan Baba Hi terpenuhi. Cukup bahkan mungkin lebih. Tapi, hidup tidak tentang yang nyaman-nyaman saja. Pasti ada yang lain juga-- sebalik dari rasa nyaman itu. Selayaknya memang demikian bukan. Apa-apa pasti ada pasangannya. Jika ada putih, pasti ada hitam. Begitu seterusnya.

 

Maka ketika masuk tahun 2000-an. Pabrik mulai mundur. Asap penggorengan pelan-pelan tidak mengepul lagi. Sudah pasti pemasukan juga berkurang. Persaingan pabrik kacang juga begitu. Keluarga Baba Hi bukan lagi satu-satunya. Kini sudah bermunculan yang lain juga. Mencoba peruntungan.

 

Lagian, pabrik kacang tidak terurus baik. Baba Hi dan keluarganya tidak fokus. Salah satu kendala karena kakinya. Akibat dari kecelakaan di Jakarta. Sebab sekitar 10 tahun terakhir. Baba Hi dan keluarga fokus ke penyembuhan. Pasca operasi pertama di Jakarta lalu. Tidak ada prospek yang berarti.


Apalagi, dokter memvonis Baba Hi tidak dapat berjalan seumur hidupnya. Itu tidak disampaikan langsung. Tapi melalui perwakilan keluarga. Akibatnya, Baba Hi merasa tertantang. Dia ingin sembuh total. Maka segalanya dilakukan. Termasuk berobat hingga keluar negeri.

 

Suatu waktu, kata Baba Hi. Dirinya ke Shanghai. Tujuannya untuk sembuh. Agar dirinya bisa berdiri dan berjalan lagi. Mungkin karena itu juga. Semangat hidupnya sangat luar biasa. Sebab rasanya sulit menerima. Jika dulu kita mampu berdiri dan berjalan. Tapi kini sudah tidak lagi.

 

Di Shanghai, Baba Hi dan keluarganya mengeluarkan uang sangat banyak. Pokoknya ingin perawatan yang terbaik. Tapi sayang, itu tidak membuahkan hasil. Musababnya, pada operasi pertama di Jakarta. Tulang belakang Baba Hi dipotong.

 

Seharusnya, kata tim dokter di Shanghai. Itu harus dilakukan pemeriksaan dengan benar. Maka dicurigailah terjadi kesalahan diagnosa. Lalu terjadi pemotongan tulang itu-- seharusnya tidak dilakukan. Memang aneh, kata Baba Hi. Hasil pemeriksaannya di Jakarta tidak diberikan.

 

Baba Hi dan keluarganya bahkan sudah ngotot. Tapi tidak diberi juga. Alasan dokter itu, menurut Baba Hi, telah dijadikan bahan kuliah. Sehingga tidak boleh dibuka. Ketika itu, Baba Hi naik pitam. Menurutnya, dokter yang mengoperasinya tidak berhak mengklaim itu. Apalagi itu terkait dengan dirinya.

 


Apa mau dikata. Sekuat apapun dilakukan untuk meminta hasil pemeriksaan lengkap itu. Begitu kukuh juga pihak dokter untuk tidak memberinya. Karena sudah mulai bosan meminta. Maka hasil itu tidak digubrisnya lagi. Tapi kemudian itu menjadi salah satu yang disesalinya.

 

Sepulang dari Shanghai. Baba Hi masih percaya diri akan sembuh. Selain berobat secara medis. Baba Hi juga berobat secara alternatif. Dimana ada info mengenai sanro sakti. Disitu Baba Hi datang. Dia keliling tidak hanya di Makassar. Bahkan, sanro sakti se-Sulsel mungkin telah ditemuinya.

 

Baba Hi pernah ke Mandar. Ketika itu Mandar masih bagian dari Sulsel. Belum terpisah seperti sekarang. Di sana, Baba Hi dijampi-jampi. Kakinya ditiup dan disembur air. Tidak ada perubahan. Masih saja kakinya tidak dapat digerakkan.

 

Setelah itu, ada info mengenai sanro di Pallangga, Kabupaten Gowa. Kata Baba Hi, sanro punya syarat aneh. Karena kakinya tidak bisa berjalan. Maka harus ada persembahan. Lima ekor ayam harus dikorbankan. Ayam itu juga tidak sembarang. Harus yang baru menetas.

 

Syarat itu pun dipenuhi. Didatangkanlah lima ekor anak ayam. Bulunya masih sangat halus. Juga begitu lucu. Setelah itu, anak ayam dipotong kakinya. Katanya, agar penyakit Baba Hi pindah ke kaki ayam itu. Mendengar cerita itu. Saya tertawa, terbahak. Baba Hi juga ikut tertawa.

 

Ada-ada saja ini sanro. Memang penyakit bisa ditransfer. Lagian ayam itu tidak punya bluetooth. Wkwkwk

 

Lagi dan lagi. Tidak ada perubahan. Kaki Baba Hi masih tidak kuat menahan beban badannya. Baba Hi mulai pasrah. Sudah berkeinginan untuk menerima. Tapi, info soal sanro sakti datang lagi. Kadang-kadang memang begitu. Info soal sanro sakti sangat cepat bertebaran. Apalagi jika ada keluarga atau kerabat yang berkunjung.

 

Sanro ini ada di daerah Kabupaten Takalar. Sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Makassar. Syaratnya lebih tinggi dari sanro sebelumnya. Harus mengorbankan seekor kambing. Karena motivasi ingin sembuh. Baba Hi tidak pikir panjang. Syarat itu disanggupi.

 

Maka berangkatlah ke Takalar. Sesampainya di rumah sang sanro. Baba Hi disambut cukup meriah. Banyak orang disitu. Kambing yang di bawa Baba Hi langsung diseret ke sanro. Di dalam sebuah ruangan. Agak gelap dan pengap. Sanro itu membacakan mantra.

 


Sekitar 30 menit baru keluar. Katanya telah dapat wangsit. Kambing yang dibawa Baba Hi harus dilepaskan-- barangsiapa yang mau mengambilnya tidak masalah-- termasuk jika si sanro mau. Itu sebagai wujud kebebasan. Agar kaki Baba Hi bisa kembali normal. Dapat berdiri dan berjalan seperti kambing yang dilepaskan itu.

 

Apa yang terjadi kemudian. Kaki Baba Hi masih lumpuh. Pada titik itu, Baba Hi tertawa. Sambil bercerita jika barangkali sanro itu hanya butuh kambing peliharaan. Wkwkwkwk

 

Sekitar 3 tahun setelah sanro yang terakhir itu. Seorang teman Baba Hi mengabarkan. Jika ada sanro dari Palembang. Sangat sakti. Tanpa ba bi bu. Baba Hi langsung menyanggupi. Dia ingin sanro itu terbang dari Palembang ke Makassar.

 

Segala kebutuhannya akan dipenuhi. Mulai dari tiket, tempat tinggal, hingga makan dan minum. Tidak hanya itu, Baba Hi juga menyanggupi, untuk menafkahi keluarga sang sanro yang berada di Palembang.

 

Setelah tiba di Makassar. Sanro itu lalu mulai mengobati Baba Hi. Segala macam perlengkapan dipenuhi. Termasuk syarat-syarat aneh yang tidak perlu disebutkan. Semua disanggupi dan diadakan-- segera dan cepat. Tapi tetap tidak ada perubahan.

 

Karena itu, Baba Hi mulai berpikir. Barangkali dirinya salah jalan-- memakai jasa sanro. Harusnya pakai pendeta agar didoakan. Maka dicarilah pendeta yang dinilai cocok. Keluarga juga termasuk sibuk mencari. Dan akhirnya ditemukanlah pendeta yang dinilai cocok.

 

Tiap seusai beribadah. Kaki Baba Hi didoakan sang pendeta. Dimintakan kepada Tuhan ada disembuhkan. Tapi barangkali itu sudah takdir. Telah digariskan bahwa Baba Hi lumpuh sampai akhir hayatnya. Sebab meski telah didoakan. Sudah cukup lama. Tapi tidak sembuh juga.

 

Terakhir, Baba Hi kembali ke pengobatan medis. Dia berangkat ke Singapura. Untuk melakukan cek up kembali. Hasilnya tetap sama. Tidak ada lagi langkah medis yang dapat membantu.

 

Baba Hi lalu berpikir. Mengulang masa lalunya dengan berfantasi. Lalu mengimajinasikan masa depannya kelak. Agar dirinya mau menerima dirinya sendiri-- sebagai manusia yang lumpuh dan duduk dikursi roda.

 

Setelah 10 tahun lebih pencarian. Berobat medis dan alternatif. Baba Hi mulai menyadari sesuatu. Di harus tetap hidup. Dan menjalani kehidupan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebab itu anugrah pemberian-Nya. Jika tidak, Baba Hi telah meninggal ketika kecelakaan maut itu. Tapi tidak. Baba Hi diberikan kesempatan.

 

Kesempatan yang berat. Selain soal kakinya, Baba Hi juga harus menerima kenyataan-- pabrik kacang harus dijual. Rumah orang tua di daerah pecinan Makassar juga harus direlakan. Belum lagi penipuan yang dialaminya-- membuatnya semakin mengecil. Juga sadar diri.

 

Tapi tunggu, kebiasaan dulu tidak pernah dilupakannya. Termasuk sebagai teman untuk Bapak Mertua saya. Juga tetap berbagi walau jumlahnya kecil. Itu dilakukan sampai kini. Kepada Bapak Mertua saya. Tiap lebaran, ada ampao. Begitu juga ketika imlek tiba. Ketika Bapak Mertua saya sakit beberapa waktu lalu. Baba Hi menelfon. Memberikan semangat juga mengirim amplop.

 

#akumencintaimu

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Don’t Stop Komandan

Fahri Hamzah Bukti Demokrasi Telah Mati

Mau Enaknya, Tidak Mau Anaknya